Bab 5 Pengakuan Cinta Jaxon

by Abarakwan 06:27,Dec 16,2020

"Allison.. Tak pernah memberitahuku!!" Sanggah Maggie pelan. Matanya berarir dan tubuhnya bergetar kecil, ia sangat takut apabila benar-benar dituduh sebagai pembunuh.

"Sungguh!! Aku benar-benar tak bisa mengikuti cara berpikirmu!! Allison adalah rival terberatku Maggie!!" Ucap Jaxon frustasi dan mengacak rambutnya. Sekilas perhatian Maggie tertuju pada gerakan tangan dan lengannya yang berotot.

"Tapi... Apa hubungannya denganku?!" Bantahnya cepat.

"For heaven sake!!" Teriak Jaxon dan bersandar pada punggung sofa, kedua telapak tangannya menutup wajahnya--frustasi. Hendrick yang sedang berdiri memperhatikan lukisan abstrak di ruang tamu apartemen itu, tertawa kecil. Baru kali ini ia melihat sahabatnya--sang pria jenius dan "the untouchable-California-Attorney" frustasi di depan seorang wanita, kawannya positif terkena virus mematikan--Cinta.

Maggie terdiam dan mengerutkan dahinya bingung. Tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Jaxon kepadanya. Kenapa pria di depannya terlihat sangat stress.

"Maggie... Perkenalkan aku Hendrick. Rekan kerja pria menyebalkan ini," ucap Hendrick menghampiri Maggie dan menawarkan tangan untuk dijabatnya.

Maggie mengulurkan tangan dan tersenyum kecil, "sungguh aku minta maaf atas semua kegilaan ini... Dan ini adalah pertemuan pertama kita."

"Mmm... Baik??" Jawab Maggie bingung.

"Mungkin kau belum menyadarinya, dan mungkin juga kawanku ini terlalu bodoh untuk sadar atas apa yang terjadi," lanjut Hendrick dan duduk di samping Maggie, seluruh tubuhnya diputar menghadap wanita muda itu.

"Hendrick!! Hentikan!!" Ancam Jaxon pelan kepada sahabatnya, namun tubuh Jaxon masih bersandar pada punggung sofa.

"Shut it man!! Atau kau menyesal!!" Jawab Hendrick, lalu mengalihkan perhatiannya pada Maggie, "aku adalah sahabat baik Jaxon-pria jenius bersertifikat dari Mensa dan diakui kehebatannya dalam karir hukumnya--namun kutahu pasti, karena kecerdasan itulah ia menjadi bodoh!!" Jelas Hendrick kepada Maggie yang sekarang kembali membuka dan mengatupkan bibirnya tanpa sadar.
"Sungguh maafkanlah kawanku Maggie!!" Jelas Hendrick serius pada sang wanita di depannya, beberapa kali Hendrick menahan diri untuk tak tersenyum, sementara Jaxon telah memasrahkan apa yang akan terjadi. Ia tahu jelas, Hendrick tak akan berhenti berulah.

"Maksudmu?" Tanya Maggie dan sesekali melirik ke arah Jaxon.

"Mungkin kau akan kaget mendengarnya," ucap Hendrick tertawa kecil, Jaxon menatapnya galak, "namun bisa kupastikan, pria jenius tapi bodoh ini mencintaimu," lanjutnya dan mengerling nakal ke arah Jaxon yang akhirnya mengacak kembali rambutnya.

"Aku??" Tanya Maggie tak percaya. Mereka memang pernah tidur bersama, tapi hanya satu kali? Dan karena pengaruh alkohol.

"Oh... Dear Maggie!! Seorang Jaxon tak akan pernah mau bermalam dengan wanita manapun, mungkin kau adalah yang pertama untuknya," jelas Hendrick tertawa keras dan memegang perutnya, ia tertawa terpingkal-pingkal melihat sosok Jaxon yang memejamkan matanya frustasi.

Ia benar-- tebakannya benar--Jaxon is trully-madly-deeply in love dengan seorang Margareth Enja Dennise, sosok saksi utama kematian kliennya sekaligus terduga utama kasus ini.

"Ma... Maksudmu?" Maggie masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Hendrick berusaha pulih dari tawanya dan berdeham kencang.

"Listen... Seorang Jaxon tak akan peduli dengan dirimu saat ini, kalau kau tak merebut hatinya!! Ia akan membiarkan semua penyelidikan berjalan dan itu berarti membawamu ke kantor polisi sejak kalian bertemu di apartemen itu," jelas Hendrick dengan nada serius.
"Namun apa yang terjadi? Jaxon justru mendekatimu dan melindungimu, walau pada akhirnya kau melarikan diri dan pergi ke Allison! Percayalah.. aku sama kagetnya, dan perkataanku berdasar pada perilakunya saat ini."

"Apa yang salah dengan Allison?" Tanya Maggie masih bingung.

"Allison adalah rivalku sejak dulu," Jaxon akhirnya bicara, "ia salah satu mantan pacar Greg Richardson... Atau boleh kubilang, selingkuhan?" Lanjutnya dan memandang penuh penekanan pada Maggie.

"Tapi...."

"Kau terlalu polos untuk mengetahuinya!" Sela Jaxon cepat.

"Dan ... Jaxon menyukai wanita polos," sela Hendrick cepat dan tertawa terpingkal-pingkal. Aksi konyolnya itu berhadiah lemparan bantal dari Jaxon.

"Tapi... Kenyataannya kau pernah berhubungan dengan Greg Richardson, kau tak sepenuhnya polos!" Goda Hendrick dan menatap Jaxon nakal.

"She was a virgin-- Satu-satunya yang Greg lakukan, hanya menciumnya," jawab Jaxon datar menjawab pertanyaan yang belum sempat terucap oleh Hendrick.

Maggie menunduk malu, bagaimana mungkin mereka membicarakan hal ini di depannya.

"Dengarkan!! Allison sengaja mengurungmu di sini, agar terkesan kau melarikan diri dari penyelidikan polisi," jelas Jaxon kembali serius dan menegakkan tubuhnya, "kau adalah kambing hitamnya!!"

"Aku masih tidak mengerti.. Apa hubungan Allison dengan kasus ini," cicit Maggie sambil melirik Jaxon cemas.

Jaxon mendesah kesal, sementara Hendrick tertawa kecil. "Inilah karmamu sobat!! Tak semua orang secerdas dirimu!!"

"Allison, seperti kubilang adalah selingkuhan Greg sebelum dirimu! Sudah kupastikan sendiri kemarin, kalau ialah pelakunya!!" Jelas Jaxon bersandar kembali pada sofa.

"Maksudmu?" Tanya Maggie dengan lebih keras, sementara Hendrick hanya mengangkat kedua alisnya penasaran, bagaimana mungkin Jaxon menyimpulkan pelakunya adalah Allison.

"Saat pertama kali aku ke TKP, aku menyusuri semua bagian apartemen itu, aku menemukan serat pakaian menyangkut di pintu kamar mandimu. Mungkin ia tersangkut saat mau masuk, semua lubang udara di kamar mandi itu sudah di sumpal, kusimpulkan pelakunya menggunakan penyemprot gas amonia dan meninggalkannya terkunci, berharap siapapun yang memasukinya pertama kali akan mati saat menghirup gas beracun itu!" Jelas Jaxon panjang dan lebar.

"Kau mengambil serat itu?" Tanya Hendrick penasaran, sementara Maggie masih mencoba memahami perkataan dua pria dewasa dengan tingkat kecerdasan jauh di atasnya.

"Ya.. Katun murni. Allison alergi dengan semua bahan kecuali katun," lanjut Jaxon dan menatap Hendrick, berharap sahabatnya itu bisa berpikir sepertinya. Sungguh akan sangat melegakan, ia bisa bersantai sementara semua kasus akan di tangani Hendrick.

Harapannya sirna, karena Hendrick masih melipat dahinya bingung.

"Hmm.. baiklah, pada serat itu terdapat bekas lipstik," jelas Jaxon, "kurasa saat pakaiannya tersangkut ia menggigitnya untuk melepaskan pakaiannya dan pergi dari sana."

Hendrick dan Maggie masih menunggu penjelasan Jaxon. "Bekas lipstik itu kubawa ke Lab, dan hasilnya positif." Jaxon berdiri dan pergi ke arah yang diduganya sebagai dapur, mencari kulkas dan membawa tiga buah coke dan membawanya kembali ke dua orang yang masih duduk di atas sofa dengan pandangan kosong. Bingung.
Jaxon memberikan dua buah coke masing-masing, dan ia meminum cokenya sambil menempati sofa tempat ia duduk beberapa menit yang lalu.

"Lisptik itu adalah Mac Limited edition Cinderella, something butterfly--aku lupa, yang hanya bisa kau beli lewat e-bay," ucap Jaxon pada keduanya, "aku meminta salah seorang pegawaiku membeli lipstick itu, dan mengenakannya- agar aku tahu bagaimana warnanya saat dipakai...dan kemarin saat aku bertemu Allison, warna bibirnya terlihat sama dengan warna lipstick itu."

"You really are... A genius man!!" Puji Hendrick, "lalu... bagaimana kelanjutannya?" Tanya Hendrick, terkadang sahabatnya itu bisa memecahkan semua kasus sendiri tanpa bantuannya, sampai ia berfikir keberadaanya di firma itu tak dibutuhkan.

"Aku sudah mengumpulkan bukti, satu-satunya yang harus kulakukan adalah meng-AMAN-kan Maggie, dan dengan keajaiban entah dari mana, wanita yang ingin aku lindungi itu... Lari ke sisi lawan dan berkata aku seorang pria dominan yang akan mengancam keselamatannya," lanjut Jaxon sarkas.

Maggie menunduk malu dan berucap kata "maaf" dengan sangat pelan, sementara Hendrick tertawa puas dengan apa yang dilihatnya, "kalian seperti sepasang kekasih!!"

"Aku ke sini, ingin membawamu kembali ke California sebagai saksi, agar kasus ini bisa berakhir Maggie!!" Jelas Jaxon tegas namun lembut.

"Ba... Baiklah," jawab Maggie tergagap.

"Jangan bilang Allison!! Aku sudah meminta ia diawasi agar tidak keluar dari California," sela Jaxon dan menghampiri Maggie, Jaxon mengulurkan tangannya, "kumohon percayalah padaku!"

Maggie menyambut tangan Jaxon dan mengangguk malu.

***

Kedua sosok pria dewasa berjalan disisi kanan dan kiri seorang wanita muda, menembus padatnya bandara J.F. Kennedy New York di sore hari. Ketiganya telah memesan penerbangan menuju bandara San Fransisco dan akan dilanjutkan menggunakan jalur darat ke Pleasanton--Rumah Jaxon.

Mereka memutuskan untuk tinggal sementara di sana, sedikit menghindar dari kejamnya kota California. Terlalu lelah, Hendrick memilih sebuah taksi dibanding dirinya menyetir ke Pleasanton selama satu jam.

"Where to Sir?" Tanya seorang supir taksi di depan bandara San Fransisco.

"Del. Sol Ave, tak jauh dari Mc.Kinley Park?" Tanya Jaxon memastikan sang supir mengetahui lokasinya, dan dijawab dengan anggukan mantap dari pria keturunan India yang tersenyum ramah pada ketiga penumpangnya.

Ketiganya diam dalam lamunannya masing-masing. Kemarin, pagi-pagi sekali Jaxon sudah menyerahkan berkas pada kawannya yang bekerja sebagai jaksa pengadilan negeri California, namun saat ia mendengar Maggie hilang dan ternyata bersama Allison, ia meminta berkas kasus itu ditahan sementara. Saat ini Maggie aman bersamanya, ia sudah meminta kasus di lanjutkan.

Informasi terbaru yang ia dapatkan, jam 10 hari ini, Allison akan mendapat kunjungan para polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut. Case closed untuknya. Kematian Greg Richardson sudah terpecahkan dan wanita muda yang memikat hatinya sudah berada dalam genggamannya.

Mungkin sekitar dua minggu berikutnya, pengadilan atas kasus ini akan dimulai, dan ia berani bertaruh bahwa ia pasti akan memenjarakan Allison.

Satu-satunya kemungkinan yang belum dapat ia pastikan kebenarannya adalah wanita muda yang saat ini menggenggam erat tangannya, bersedia menjadi istrinya. Rumahnya di Vista Del. Sol. diharapkan dapat membuat Maggie berkata "iya" saat ia melamarnya nanti malam.

Download APP, continue reading

Chapters

99