Bab 10 Maggie Kabur Lagi

by Abarakwan 06:44,Dec 16,2020
Hendrick berjalan mendekat menuju Jaxon yang sedang membantunya mengorek informasi tentang kliennya--Nyonya Mallory--sang terduga penyihir dan penculik anaknya sendiri--berdasarkan pengakuan suami, atau saat ini calon mantan suaminya.

Hendrick berhenti dan mengambil segelas cocktail dan berdiri santai dalam jarak satu meter dari sepasang objek yang ia cari tahu. Tak lama, Jaxon dan Marry berjalan melewatinya dan duduk pada sebuah meja bundar. Marry memegang tangan Jaxon erat dan membawa--atau lebih tepatnya menyeret kawannya untuk duduk di dekatnya.

Marry menaruh tangannya di atas meja, berharap Jaxon memegangnya--sebuah bahasa tubuh yang dihapal seluruh mahluk pria, kecuali Jaxon--atau memang ia pura-pura bodoh karena Jaxon menyimpan tangannya di balik meja.

Beberapa kali ia melihat Marry menggesekkan tubuh bagian depannya ke dada Jaxon, "sungguh perempuan yang tak tahu malu!" Pikir Hendrik, saat ini ia bersimpati dengan kondisi Jaxon. slSedangkan Jaxon yang digoda habis-habisan, pura-pura tidak melihat ke depan dan bertingkah tidak terjadi apa-apa.

"Dia seorang pria yang tegar! Pikir Hendrick, ia sedikit kasihan dengan nasib temannya itu. Tapi apa boleh buat, toh karena Jaxon tidak mau menangani kasu,s akhirnya semua kasus yang ada di limpahkan kemejanya. Jadi setidaknya ini adalah kontribusi Jaxon Untuk firma mereka.

Hendrik memperhatikan dari kejauhan ia bisa melihat wajah Merry tersenyum merah, setiap kali akan berbicara, perempuan itu selalu membasahkan bibirnya dan mencondongkan dadanya menggoda Jaxon.

"Sungguh baiknya kau padaku Jax..!!" Batin Hendrick dan tertawa kecil.

Hendrick berjalan mendekat dan duduk persis di samping meja mereka. Ia mendengar hampir seluruh percakapan seorang idola dan fans beratnya itu dengan seksama. Saat Jaxon mendapatkan seluruh informasi yang dibutuhkan--sosoknya berdiri dari kursi dan mengucapkan selamat tinggal pada Marry. Terlihat wajah Marry yang muram dengan mata sedikit merah-ia menahan tangis.

"Kau meninggalkanku?" Tanyanya pelan kepada Jaxon yang saat ini berdiri merapikan tuxedonya yang sedikit terlipat.

"Bagaimana tawaran mengantarkan ku, aku berjanji akan menjamuku dengan yang terbaik. Kuberikan semua untukmu, termasuk tubuhku yang masih polos!"

"Cuih!!! Omong kosong macam apa itu!" Batin Jaxon memandang jijik kepada perempuan tak tahu malu di depannya.

"Ya... Acara akan segera dimulai!! Mari kita kembali ke kursi yang telah disiapkan panitia," ucap Jaxon santai tanpa senyum, "well... Good night?" lanjutnya dan berlalu--berjalan menuju meja yang telah ditentukan untuk mereka.

Marry masih terlihat memandangi sosok Jaxon yang berjalan memungunginya dengan wajah penuh harap, ia sungguh telah tersihir dengan pesona sang pengacara jenius terbaik di California.

Hendrick berdiri dari kursinya, berjalan pelan ke arah Jaxon berada, dan duduk di sampingnya.

"Kau mendengar semua?" Tanya Jaxon pelan-tanpa menolehkan wajahnya.

"Yep... Hampir semua, kita bahas setelah ini?" Tanya Hendrick dengan wajah datar dan mata terfokus pada pembawa acara penggalangan dana, yang memulai acara.

"Yep... My place. Siapkan rencana untuk Maggie!!" Perintah Jaxon kali ini menoleh ke arah Hendrick.

"Siap!!" Jawab Hendrick sambil mengerling jahil.

Acara penggalangan dana untuk salah satu panti jompo di San Fransissco telah berakhir dan keduanya berjalan cepat keluar dari venue-menghindari bidikan kamera para reporter, "sudah cukup drama hari ini!!" Pikir keduanya.

Saat Jaxon telah memasuki mobil Ford antik milik Hendrick-yang dikemudikan oleh sang supir karena keduanya telah meneguk beberapa gelas alkohol.

"Apa rencanamu?" Tanya Jaxon saat telah tiba di kediamannya di Del.Sol. Avenue, Hendrick berjalan tepat di belakang sang empunya rumah.

"Rencana untuk Maggie-mu atau Molly?" Tanyanya santai.

"Both!" Jaxon setelahnya memanggil nama Maggie berkali-kali, keduanya berjalan menuju dapur karena tak ada suara yang menjawab panggilan Jaxon barusan.

"Where is she?" Gumam Jaxon kesal, ia berjalan cepat menelusuri tangga menuju kamar Maggie-langkah panjangnya memijak dua pijakan tangga sekaligus. Di ketuknya pintu kamar Maggie beberapa kali--tak ada jawaban!!

Sialnya ia, karena kebetulan semua pesuruhnya hari ini diliburkan--Jaxon membuka ponselnya. Menelpon Maggie dan bertanya keberadaannya adalah satu-satunya jalan yang ia punya, karena tak ada satupun orang yang bisa ia tanyai.

"Pick the DAMN phone!!" Umpatnya keras saat beberapa kali sambungan yang ia coba tak menjawab.

"Dimana ia?" Tanya Hendrick yang tiba di depan kamar Maggie. Jaxon mengangkat bahunya tanda tak tahu- wajah datar dan santainya berubah menjadi tegang.

"Kamarnya? terkunci?" Tanya Hendrick lagi dan mencoba membuka pintu di depannya. Pintu kayu berornamen bunga itu terkunci dari luar. "Kau ada kunci cadangan?"

"Yep... tunggu sebentar." Jaxon berjalan menuruni tangga dengan cepat, ia mencari kunci cadangan yang ia simpan di sebuah lemari kabinet di dapur.

"Here it is," ucapnya dan membuka pintu kamar Maggie dengan kunci cadangan yang didapatnya. Maggie sering mengunci kamarnya dari dalam. Ia selalu beralasan membutuhkan privasi.

Pintu yang ditinggalkan penghuninya itu terbuka, Jaxon beserta Hendrick melangkah masuk ke dalam kamar yang di dominasi warna pink salem-warna pilihan Maggie setelah keduanya memutuskan tinggal satu rumah--walau terpisah kamar, yang merupakan syarat dari Maggie.

"Pakaiannya masih ada- semua barangnya pun masih ada!!" Ucap Jaxon saat keluar dari walk-in-closet milik Maggie.

"Mungkin ia pergi ke suatu tempat, namun lupa memberitahumu." Hendrick berusaha menenangkan sahabatnya yang kalut. Otomatis, rencananya membantu Jaxon, yaitu lamaran super romantis untuk Maggie--harus ditunda, sampai sang pujaan hati sahabatnya itu pulang, atau ditemukan.

"Kita bahas saja kasusmu." Jaxon berjalan keluar kamar dan menuruni tangga-ia menjatuhkan dirinya diatas sofa empuk di ruang tamu, "apa rencanamu?"

"Menurutmu? Haruskah ku confront Molly dan memintanya jujur, karena aku tak bisa bekerja dengan klien yang misterius kalau kasusnya ingin kuselesaikan?" Ucap Hendrick emosi dan memelan pada ujung kalimatnya.

"Kurasa seperti itu, kalau memang ia penyihir dan mengetahui keberadaan anaknya saat ini, tuduhan bahwa ia menyembunyikan Sofia positif, benar. Carilah keberadaan Sofia dan pastikan Mallory tak ada dibalik hilangnya sang putri," jelas Jaxon dan meminum susu segar yang tadi diambilnya saat menuju ke ruang tamu.

"Kau memiliki bau Mary, sepertinya akibat adegan gesek - menggesek itu. Bagaimana rasanya diperlakukan seperti itu? Kenapa tadi wajahmu seperti tersiksa? Bukankah seharusnya kau merasakan kenikmatan?"

"Eww.. Aku memang tersiksa! Aku mandi dulu, aku tak mau mendapat mimpi buruk dari Mary. Aku sudah cukup merasa dilecehkan olehnya malam ini."

"Ha..Ha. Baru kali ini ada pria merasa dilecehkan."

"Kau tak tahu perempuan itu. Tangannya menggerayangi tubuhku. Aku merasa dinodai!"

Hendrick tertawa terpingkal-pingkal, sahabatnya pergi ke kamar mandi dan ingin membersihkan sisa kebersamaannya dengan Mary.

Hendrik masih memikirkan apa yang ia dengar dari penyelidikan Jaxon, ia mengulang kembali informasi yang ia dapatkan. Walaupun wajahnya terlihat sedang santai, otaknya sedang berpikir keras mengenai informasi itu. Mallory sebuah nama yang menyimpan terlalu banyak misteri.

Download APP, continue reading

Chapters

99