Bab 3 Konsultasi Cinta

by Annisa Haroen 11:10,Dec 19,2020
Udara pagi berhembus melewati jendela disertai rintik hujan yang seakan menghalangi sinar matahari. Nonky mengambil sekeranjang stroberi yang diberikan oleh petugas hotel beserta sarapannya. Mereka masih merasakan pening untuk turun ke bawah menikmati buffet. Buah stroberi tersebut, Nonky simpan di antara Lesie dan Gaby yang duduk di sofa.
“Sory ya, Les, harusnya kita jagain lo kemaren. Untung gue cepet nyusul,” kata Gaby.

“Ga apa-apa, kok, lagian salah gue sendiri yang kebanyakan minum sampe gatau kalo ada orang yang mau niat jahat. Tapi beneran, loh, gue ga inget sampe bisa muntahin cowok itu.”
“Hahaahah! Si Jemi ketawa sampe lemes liat muka cowok itu dongkol. Dia aja yang liat gue muntah, terus-terusan ngeluh apalagi kena muntahannya,” kata Nonky sambil menikmati stroberinya.

Gaby sebagai penonton terdepan di kejadian itu, ikut terbahak. Dia mengingat kembali kejadian sewaktu Moris menyerah pasrah ketika Gaby menarik Lesie menjauh darinya. Sedangkan Lesie hanya tersenyum lemah menanggapi cerita teman-temannya.

“Eh, Les, abis check out lo ikut gue ke jakarta aja, yuk. Kita lanjut hang out lagi di sana. Shopping, nonton, berenang, kek,” ajak Nonky yang masih berusaha ingin temannya terbebas dari kegalauan.

Lesie hanya menggeleng sambil berdiri. “Gue males pergi-pergi, Non, apalagi musim hujan gini.”

“Ayolaah, musim hujan malah bikin elu makin mellow. Di sana kan elu ga bakalan kesepian dan yang paling penting, gue bisa mantau kerjaan elu biar ga mogok-mogok kayak kemaren,” ucap Nonky dengan kesal.

“Iya sorry, janji deh nanti nyampe apartemen gue selesein semuanya.” Lesie melahap puding cokelat sambil bersila di atas kasur.

Nonky mengembuskan napas, berharap apa yang dikatakan Lesie memang benar, karena Nonky adalah orang yang profesional dan perfectionis. Tetapi di luar semua itu, Nonky sangat menyayangkan Lesie yang bisa runtuh pertahanan dirinya hanya karena seorang lelaki. Karena di matanya, Lesie adalah gadis yang cantik dan pintar, dia bisa dengan mudah menggaet pria mana pun hanya dengan lewat di depan hidung mereka sambil mengibaskan rambut ala Iza Goulart. Bahkan menurutnya, sekalipun Lesie melakukan twerking ala Miley Cyrus hanya dengan mengenakan panties bergambar petruk, masih banyak lelaki yang akan tergila-gila.

“Gue punya ide biar lo bisa secepatnya lupain si Tarlan,” ujar Nonky yang membuat Lesie menaikkan sebelah alis untuk meminta penjelasan. “Dimulai dengan hapus foto-foto dia di laptop lu dan jangan pake cincin itu lagi.”

Lesie memerhatikan jari manisnya yang dilingkari cincin pemberian Tarlan sebelum kekasihnya itu pergi ke New Zealand. Lesie memang menyadari bahwa setiap melihat cincin tersebut, pikiran soal Tarlan langsung melintas dan membuat hatinya merasa tersayat-sayat. Lesie mengembuskan napas seolah berat untuk melepas cincin itu seperti hatinya yang masih menolak keputusan Tarlan. Dia masih berharap bahwa suatu hari, Tarlan akan menyesali perkataannya dan berlutut lagi di hadapan Lesie.

Nonky yang melihat temannya ragu untuk melaksanakan sarannya, hanya bisa menggelengkan kepala.

“Ayolah Lesie, kalo lu pake semua benda yang berasal dari tangan si Tarlan, sampe zaman tikus manjat bulan juga lo bakalan terus-terusan galau kayak ABG. Bisa ga sih lo nanggepin semuanya secara santai?”

“Ga bisa segampang itu, Non. Gue udah tiga….”

“TIGA TAHUN KEPALA MONYET!! Lo bisa lupain dia dalem sehari doang kalo lu mau keluar dari kamar, cari pergaulan baru, cari kebahagiaan yang bisa lo dapet, tanpa ada campur tangan si Tarlan di situ. Lo bisa, Les, elu itu cantik.”

“JUSTRU ITU KENAPA GUE GA NGERTI KALO TARLAN BISA SEENAKNYA MUTUSIN GUE!”

Nonky terdiam mencoba untuk mencerna pernyataan Lesie. “Jadi lo selama ini kehilangan segala nafsu bukan karena patah hati, tapi karena kesinggung? Gitu?”

Napas Lesie terasa berat. Dia membuang mangkuk plastik pudingnya ke lantai lalu memegang kepalanya yang bertumpu di lutut.

Gaby yang sedari tadi hanya melongo sembari menikmati stroberi-nya mulai angkat bicara. “Gue punya ide. Gimana kalo lu ikut kelas relationship aja?”

Mendengar itu, Lesie langsung mendongakkan kepalanya dan secara bersamaan Nonky juga menengok ke arah Gaby sebelum keduanya tertawa. Gaby mengerutkan kening melihat tanggapan mereka.

“Yakali otak gue kesambet setan sampe harus konsul cinta-cintaan segala. Itu sama aja nurunin harga diri gue,” kata Lesie.

“Wait! Emang beneran ada, ya, kelas relationship?” tanya Nonky.

“Ada, kok. Mereka itu professional. Udah diakui sampe luar negeri segala, udah muncul di televisi pula. Kalo lu mau, minggu besok ikut gue aja dateng ke seminar buat ketemu counselor-nya,” jelas Gaby.

Lesie dan Nonky saling berpandangan skeptis dan kemudian keduanya menggelengkan kepala. Lesie merasa hal itu sangat konyol. Mana bisa masalah cinta dipelajari? karena sejatinya cinta itu datang dari hati, alami, dan tanpa logika. Lesie pun memilih untuk membersihkan diri ke kamar mandi, sementara Nonky meneruskan packing-nya.

***

Nonky akhirnya bisa merayu Lesie dan Gaby untuk menemaninya shopping, mengitari beberapa Factory Outlet di sekitar Jl.Martadinata sebelum pulang ke Jakarta. Baginya, mengunjungi suatu kota tanpa shopping bagaikan mendatangi pantai tanpa bikini. Begitupun dengan Jemi yang seharian tepar di rumahnya dan memilih untuk makan siang bersama mereka. Setelah puas memasuki beberapa outlet seperti heritage, Cascade dan Calamus, mereka pun langsung menuju tempat makan untuk mengisi perut.

“Eh, gue masih penasaran, loh, sama yang lo bilang tadi. Kelas relationship itu. Emang udah kebukti?” tanya Nonky di sela-sela melahap sandwich isi tunanya.

“Iyalah, bulan kemaren temen gue yang di Jogja ikutan. Dia bilang counselornya itu ganteng banget! Terus temen gue dikasih gift panties warna merah gitu kemaren. So sweet abis, kan, mereka?” jelas Gaby antusias.

“Lo ikut seminar gitu sebenernya ngincer counselor-nya apa panties-nya?” tanya Nonky.

“Ilmunya dong! Mereka brainwash abis kita untuk memandang cinta lebih pintar, lebih intelek, lebih berkelas dan tentunya lebih lovable.”

Jemi yang mendengar penjelasan Gaby yang dramatis mulai tertarik untuk turut bicara. “Lo ngomongin apaan, sih? Gue mau dong belajar cinta buat gaet Cinta Laura. Hahahaha!”

“Dih, serius lah. Eh lo kan jomblo menahun? Bisa tuh ikut workshop mereka. Mereka bakalan rubah lo jadi cowok yang berkualitas. Temen cowok gue nih ya, yang dulunya waktu di sekolah culun sampe celananya dipelorotin aja cuman bisa diem, sekarang jadi keren! Tiap hari dikerubunin cewek,” jelas Gaby lagi yang membuat Lesie jengah.

“Dudududuh, udah deh! Mereka itu cuman orang-orang yang nyari duit doang. Lo gak liat kakek nenek kita atau manusia purba sekalipun bisa sampe awet hubungannya dan bahagia sampe mati tanpa harus belajar soal cinta. Cinta itu konteksnya luas. Itu hal yang privacy menyangkut dua hati yang ga bisa diikut campurin sama orang luar.”

Nonky dan Jemi mengangguk menyetujui Lesie.

“Ya udah, kalau kalian gak tertarik ga masalah juga buat gue. Gue cuman ngasih solusi aja buat lo dan apa salahnya dicoba? Yang jelas, kalimat ‘cinta tanpa logika’ itu sepenuhnya sesat. Lo bakalan berkubang dalam kebodohan yang sangat ngebuang waktu lo.”

“Semua kan pembelajaran, Gab. Love is knowledge. We learn from any stupid things! Gue lebih baik belajar dari pengalaman hidup gue sendiri daripada kasih duit gue ke orang-orang itu. Mereka juga belajar kayak gitu dari pengalaman mereka sendiri kali dan gue yakin seberapa pun hebatnya mereka dalam urusan cinta, selama mereka masih punya hati, yang namanya sakit hati atau kecewa waktu putus cinta itu pasti ada.”

Gaby hanya mengangkat pundaknya “It’s your right. Gue tetep tertarik sama seminar mereka. Meski ga dapet apa pun untuk pedoman kehidupan percintaan gue, minimal gue bisa dapetin panties-nya atau ngecengin counselor-nya.”


Download APP, continue reading

Chapters

104