Bab 9 Help

by Annisa Haroen 11:38,Dec 19,2020
Pagi hari, Nonky mengajak Lesie menemaninya jogging di Sabuga untuk menghilangkan kalori dari makanan yang sudah ia lahap semalam bersama Jemi. Nonky dalam beberapa bulan ini berusaha keras untuk menurunkan berat badan. Sebelum pergi liburan ke Bali. Katanya, sih, demi terlihat seksi dalam bikininya di mata para bule. Cita-citanya adalah menemukan jodoh berkebangsaan asing yang akan dia realisasikan dalam beberapa minggu ini. Bahkan dia mulai mengikuti kelas pilates dan belly dancing untuk menyempurnakan tubuhnya.

Lesie sudah mengenali sifat kelebayan dan keunikan Nonky sewaktu pertama kali mereka bertemu. Kala itu, Nonky yang selalu menjaga rambutnya tetap pendek di bawah telinga, meminta bedak tabur pada Lesie yang Lesie beli karena tangannya terkena alergi debu. Ketika itu kantin sedang ramai. Salah satu dosen berkebangsaan Amerika baru datang dan menyimpan tas kerjanya di meja kantin. Ketika Ia memesan makan, Nonky langsung menaburkan bedak tersebut di tempat duduknya. Lesie awalnya mengira sang Dosen telah membuat Nonky jengkel dengan tugas-tugas kuliah. Sampai ketika dosen itu selesai makan dan berdiri, Nonky langsung menghampirinya.

“Sir, sorry... your....” Nonky menunjuk bokongnya lalu melanjutkan… “exposed to dust.”

“Really?” tanya si dosen keheranan.

“Yeah, Let me get rid of it.” Tanpa basa basi dan meminta izin, Nonky langsung menepuk pantat dosen itu sebanyak tiga kali hingga beberapa orang memperhatikannya. Si dosen yang merasa awkward langsung mengucapkan terima kasih dan beranjak pergi.

Sementara Lesie masih menahan tawa ketika dihampiri Nonky yang akan mengembalikan bedaknya. “Thanks, ya. Gue udah lama pengen pegang bokong seksinya dia. And i’ve got it.” Kata Nonky sambil menggigit bibirnya yang membuat Lesie terbahak. Dari situ, Lesie langsung menyukai Nonky dan mereka pun berteman akrab.

Insiden bedak tersebut selalu membuat Lesie tertawa jika mengingatnya. Akhirnya dia mengetahui bahwa Nonky tidak terlalu serius untuk menggebet si dosen karena menurutnya terlalu kaku seperti sapu lidi, dan Nonky hanya memuja keseksian bokongnya saja sekaligus mengerjai si dosen kaku itu.

Matahari sudah mulai naik. Nonky yang sudah berlari beberapa putaran, terduduk di samping Lesie sambil membuka tutup botol air mineralnya.

“Abis ini langsung ke rumah si Gaby, yuk. Dia semalem telpon gue, katanya baru pulang dari Bali dan bawa pie susu banyak banget.”

“Boleh. Ya udah lo ganti baju, gih, keringetan gitu. Awas, ya, kalo sampe mobil gue bau keringet lo.”

“Dih, sorry ya ga ada sejarahnya badan gue bau,” Jawab Nonky sambil menoyor kepala Lesie.

Setengah jam kemudian, mereka sudah berada di apartemennya Gaby. Gaby yang masih mengenakan kimono tidur berbahan silk-nya, langsung bersemangat ketika melihat kedua temannya datang.Iia menunjukkan cincin yang diberikan oleh Dewa ketika di Bali.

“Bagus, kan?”

“Keren banget! Dia ngajak lo kawin?” tanya Nonky.

“Ya belum, sih… tapi dalam waktu dekat, dia bakalan ikut gue ke Medan buat ketemu orangtua gue,” jawab Gaby dengan mata berbina-binar.

“Kapan, dong, lo kenalin dia sama kita?” tanya Lesie yang penasaran dengan sosok Dewa.

“Gampang lah soal itu. Nanti gue temuin pas acara ulang tahun gue, ya. Eh, lu sendiri gimana? Ceritain dong soal konsultasi lo sama si itu. Ganteng, kan, dia?” Gaby menaikkan alisnya dua kali untuk menggoda Lesie.

“Gitu, deh. Hasilnya dia suruh gue benturin kepala ke pohon supaya amnesia dan ga inget si Tarlan lagi. Ga sopan banget, kan? Masa counselor kayak gitu!”

“Wait! Jadi yang dimaksud si Ben semalem di Brianny Shelsa itu, elu? Cewek cantik tapi oon itu?”

“Dia ga bilang oon, kali!” jawab Lesie sewot.

“Hahahahah... secara ga langsung. Lagian mana bisa memori otak lo ngehapus segala sesuatu tentang si Tarlan, kecuali ya kata si Ben itu. Amnesia atau gila.”

“Emang dia beneran bilang gitu?” tanya Nonky yang membuat Lesie makin kesal dan malu.

“Iya! Ga ada etika banget, kan? Liat aja nanti bakalan gue maki abis dia. Gue bayar dia, kan, buat ngasih gue solusi, hibur gue, bukannya malu-maluin gue kayak gitu. Kejam banget emang.”

“Eh, dia bukan motivator yang bisa manis-manis sama elu. Dia bakalan nampar lo abis-abisan dengan teorinya, demi bikin lo sadar,” ujar Gaby serius.

Lesie mendecakkan lidahnya sambil berjalan menghampiri kulkas utnuk mengambil minuman dingin. Meskipun teori MLT itu benar, Lesie masih tidak terima Ben yang sudah mengoloknya.

***

Suara klakson yang saling sahut menyahut meramaikan padatnya jalan raya pada jam-jam bubar kerja. Lampu kuning belakang mobil mulai dinyalakan oleh pengemudi, menandakan hari yang mulai berubah gelap. Ben menyeruput kopinya sambil memeriksa jadwal untuk beberapa minggu ke depan yang lumayan padat seperti workshop, seminar, konsultasi dan lainnya.

Pekerjaan yang dilakoninya sudah tiga tahun ini membuatnya puas. Ia dan teman-teman menthor lainnya sedikit banyak telah mengubah mindset beberapa orang dalam memandang sesuatu yang sarat makna. Sebuah kata yang mempunyai arti luas yang mampu mengubah hal kecil menjadi luar biasa menyenangkan dan menyakitkan. Cinta. Yang membuat orangtuanya seperti kucing dan anjing, yang membuat banyak orang kehilangan harta hingga otaknya dan juga sempat membuat dirinya hampir menabrakan diri ke pembatas flyover.

Setelah melakukan konsultasi dengan dua orang wanita dan satu pria, Ben meraih jacketnya yang disangkutkan ke sandaran kursi, lalu memakainya sambil berjalan. Ia meraih kunci mobil sambil membayangkan tempat tidur yang hangat dan empuk. Sudah dua hari ini, Ben tidur di kantor karena kesibukannya. Lagi pula, ia malas karena jalur menuju rumahnya sedang ada perbaikan jalan sehingga menimbulkan kemacetan dan menyita waktu selama berjam-jam.

Malam sudah pekat begitu Ben membuka pintu. Beberapa kendaraan terlihat masih berlalu lalang. Ben langsung menuju mobilnya yang terparkir di sudut halaman. Namun langkahnya terhenti ketika melihat seorang wanita yang baru keluar dari mobil dengan pandangan yang menghunus tajam ke arahnya.

“Kamu ga berhak, ya, olok-olok klien-mu sendiri!” sembur Lesie tiba-tiba.

“Maksudnya?” tanya Ben tidak paham.

“Maksud aku, kenapa kamu olok-olok aku di acara talkshow-nya Brianny Shelsa? Itu namanya melanggar privacy orang!”

“Emang yang olok-olokin kamu siapa?”

“Duh, ga usah pasang tampang bego, deh! Jelas-jelas kemaren itu kamu ngebahas cewek yang minta lupain mantannya dan–” Lesie berhenti ketika Ben mengangkat sebelah tangannya.

“Tunggu-tunggu… kalo kamu ngerasa kesinggung, maaf. Tapi klien saya yang punya keluhan pengen-lupain-mantannya itu banyak. Bukan kamu aja. Dan saya ga pernah nyebutin nama klien, jadi ga ada istilahnya ngelanggar privacy orang. Dan satu lagi, kamu bukan klien saya. Inget? Kamu ga pernah bayar apa pun sama saya?”

“Oh, jadi kamu minta bayaran atas saran dan teori kamu yang ngaco itu? Sini nomor rekeningnya, aku transfer sekarang juga,” kata Lesie sambil mengeluarkan ponselnya dari tas.

“Nope. Sorry saya gamau terima uang kamu, karena saya gamau punya klien yang keras kepala kayak kamu. Mending pake aja duit itu buat kesembuhan otak kamu, kalo emang pengen lupain mantan kamu itu,” kata Ben dengan tenang.

“Rese banget, sih, jadi orang!” Lesie merasa jengkel dan merasa tidak ada gunanya untuk terus mencecar lelaki itu. Ia pun berbalik ke arah mobilnya, tetapi seorang wanita tiba-tiba menabraknya. Yang membuat Lesie terperanjat adalah baju wanita itu yang berlumuran darah.

“Mas, tolong saya, Mas..” kata wanita itu mengulurkan tangannya pada Ben. Napasnya terengah dengan suaranya yang lemah.

“Mbak Devi? Mbak kenapa?” Tanya Ben yang juga sama kagetnya dengan Lesie sambil merangkul wanita itu yang bersandar lemah di pundaknya.

“Tolong bawa saya dari sini, Mas, sebelum suami saya datang.”

Ben yang kebingungan, melihat ke arah Lesie yang masih terperangah. “Kamu bisa bawa kita ke rumah sakit? Dia klien saya.”

Lesie yang awalnya ragu, akhirnya setuju karena melihat Ben yang ribet memegang wanita yang bernama Mbak Devi itu. “Ya udah bawa ke mobil aku aja,” kata Lesie sambil menunjuk mobilnya.

Lesie dengan cepat membuka pintu mobil dan menyuruh Ben masuk. Setelah Ben berhasil memasukkan Mbak Devi ke dalam mobil dan duduk di sampingnya, Lesie pun langsung menggas mobil menuju rumah sakit terdekat.

Sementara Mbak Devi tampak berusaha mengumpulkan napas sebelum berkata, “Tolong jangan bawa saya ke rumah sakit.”

“Loh kenapa, Mbak?” tanya Ben heran.

Mbak Devi melongokkan kepalanya ke belakang yang diikuti oleh pandangan Ben. Setelah yakin dengan penglihatannya, ia pun mejawab. “Itu mobil suami saya yang ngejar di belakang. Dia bawa pistol.”


Download APP, continue reading

Chapters

104