Bab 5 Ben Alfrend
by Annisa Haroen
11:19,Dec 19,2020
Lesie menggas mobilnya menuju tempat kelas relationship yang diadakan di salah satu hotel di Jl. Asia Afrika. Menurut Gaby, tiket untuk mengikuti kelasnya sudah habis terjual karena terbatas hanya untuk seratus orang saja. Lesie sempat heran, mengapa kelas itu ditanggapi dengan antusias, hingga Gaby menjadi histeris ketika mengirim SMS pada Lesie tadi pagi.
Lo pasti nyesel ga ikut kelas ini. MY GOD COACH-NYA KEREN BANGET LESIE!!!!! Berkharisma, ganteng apalagi yang namanya Ben! Tapi sayangnya mereka unreachable. Gue speechless, Lesie, gue speechless! Oh my God! Am so blessed!
That’s the point! Lesie berpikir, palingan juga coach-coach itu hanya menjual tampang dan mulut manisnya untuk membuat para peserta kelas relationship dengan tema 'Being Lovable' merasa disanjung dan dihargai. Zaman sekarang apa aja bisa dijadikan uang. Well, Lesie ingin melihat sendiri apa yang bisa diperbuat seorang counselor itu untuk membantunya melupakan Tarlan.
Lesie menyetir pelan sambil membuka bungkus cokelat dari minimarket, berharap zat phenethylamine-nya benar-benar bisa membuatnya bahagia. Dia memakan satu batang cokelat itu seperti kerupuk sambil mengomel ketika salah satu motor menyalip mobilnya dan menyenggol kaca spion, sehingga membuat Lesie terlempar ke depan ketika menginjak rem mendadak. Ia lalu mengutuk pengendara motor tersebut jatuh ke dalam got secara tidak hormat.
Ballroom hotel penuh dengan wanita-wanita yang sudah mengikuti kelas relationship. Di depan pintu masuk, terpampang standing banner bertuliskan ‘Being Lovable, Spread The Happiness For The Best Relationship'.
Lesie menunggu Gaby sambil melipat tangannya. Ia memerhatikan wajah-wajah wanita yang keluar dengan berseri-seri, yang mungkin sekarang sudah menjadi ‘lovable’ karena disanjung dengan coach yang menurut Gaby keren but unreachable. Se-cool apa sih mereka? Bisa ngalahin Tom Cruise kah?
Salah seorang lelaki yang memakai kemeja denim hitam keluar dari ballroom sambil menyunggingkan senyum kepada para wanita yang rebutan meminta berfoto. Lesie mengira dia adalah salah satu coach-nya. Dilihat dari ke-antusiasan Gaby tadi, lelaki itu memang pantas dibilang unreachable. Dia memiliki aura yang membuat para wanita speechless hanya dengan melihat kegantengannya. Pantas saja wanita-wanita itu mau membuang uang seharga dompet Longchamp hanya untuk berfoto dengan mereka.
Lesie balas menatap ketika mata lelaki itu tertuju padanya. Ternyata tidak se-unreachable itu. Selama ini Lesie memang selalu menarik perhatian lelaki, dan tidak terkecuali bagi sang counselor ini. Lesie merasa hatinya membumbung tinggi ketika mata lelaki itu kembali tertuju padanya setelah selesai berfoto. Dan tidak sampai di situ, lelaki itu bahkan menghampiri Lesie. Lesie berusaha untuk terlihat tidak tertarik meski jantungnya berdegup dengan tempo yang lebih cepat.
Setelah jarak mereka hanya satu meter, lelaki itu mengulurkan tangan ke arah Lesie. Lesie yang masih melipat tangannya, hendak membalas uluran tangan lelaki tersebut sebelum sadar bahwa lelaki itu hanya bermaksud untuk memberinya tisu.
“Pipi kamu ada nodanya,” katanya sambil lanjut melangkah ke sekumpulan wanita-wanita di belakang Lesie yang menjeritkan nama lelaki tersebut.
Lesie menggertakan rahang, tidak terima atas perlakuan lelaki itu yang sok keren dan sok jual mahal. Dia cepat-cepat membuka tasnya untuk meraih cermin kecil, lalu melihat noda cokelat sialan yang menempel di pipinya. Sudah pasti diakibatkan oleh motor sialan yang menyalipnya tadi.
Lesie segera membuang tisu yang diberi lelaki itu lalu mengambil tisu basah yang selalu tersedia dalam tasnya dan menghapus noda itu cepat-cepat.
“Lesie!” teriak Gaby yang baru keluar dari ruang ballroom.
“Lo udah nunggu daritadi, ya? Eh lo jadi, kan, mau konsul sama coach-nya MLT?”
Lesie menarik tangan Gaby keluar, merasa malu jika harus bertatapan dengan lelaki yang mempermalukannya tadi.
“Setelah gue pikir-pikir, ikut konsultasi cinta itu konyol! Jadi gue batalin.”
“Loh kenapa? Teori mereka itu ga bisa disepelein, Les. Mereka bakalan bikin lo open minded. Ilmu mereka itu berharga, lo ga bakalan tahu sebelum ikutin seminar mereka,” jelas Gaby.
“Jadi lo sekarang udah lovable nih? Lo bisa gebet si counselor yang bikin lo speechless itu, ga?”
“Ga gitu juga kali. Theorinya kan harus dipraktekin dulu, kita harus bikin diri kita berkualitas untuk dapetin cowok yang berkualitas. Kita harus bisa bahagia untuk share kebahagian kita itu dengan pasangan.”
“Can you see me? Bukan maksud sombong, sih, tapi apa yang kurang dari diri gue? Gue punya usaha, gue setia sama cowok gue, gue bisa merawat diri gue biar keliatan oke, dan hasilnya? Cowok kalo udah dari sononya brengsek, mau nemuin cewek sesempurna apa pun pasti masih larak lirik cewek lain. Cowok ga bakalan berubah hanya karena lo ikutan kelas konyol ini dengan coach brengsek itu!”
“Kok elu bisa bilang coach itu brengsek?”
“Emang brengsek! Dia sok mahal, sok cool, sok unreachable biar mancing-mancing penasaran cewek doang.”
“Maksud lo coach yang mana, nih? Lo kok ngomongnya kayak punya dendam pribadi gitu?”
Lesie akan merasa gengsi jika memberitahu Gaby bahwa lelaki itu lebih tertarik memperhatikan noda di pipinya daripada berkenalan dengannya.
“Ga ada apa-apa. Gue ga suka aja dengan cara bisnis mereka. Masa iya hari gini cinta-cintaan aja dijadiin bisnis, sih.”
“Yaaah, yang pasti gue gak nyesel ikut kelas mereka. Gue dapet banyak ilmu yang bisa gue pake demi kehidupan cinta gue yang lebih baik. Welcome to the new world!” kata Gaby sambil membentangkan tangannya.
“Udah deh… makan, yuk! Gue laper.”
“Sama. Boks makan siang gue tadi ketinggalan di dalem. Makan apa ya enaknya?”
“Apa aja deh yang penting bergizi biar otak gue jalan,” kata Lesie sambil menarik tangan Gaby ke arah mobilnya.
***
Lesie mengarahkan mobilnya ke Sugarush Cafe yang terletak di Jl.Braga. Entah mengapa hatinya masih merasa dongkol akibat kejadian tadi. Dia menyadari bahwa kedongkolannya disebabkan oleh kepedeannya sendiri yang menyangka lelaki itu tertarik padanya.
Sementara itu, Gaby mengeluarkan sesuatu dari dalam tas, lalu memperlihatkan kepada Lesie sebuah panties berwarna shocking pink dengan renda putih di sekeliling lingkaran pinggangnya.
“Keren, gak?” tanya Gaby sambil mengedipkan mata.
“Dih, mesum banget sih mereka!”
“Ini ga mesum kali. Tapi so sweet! Gue nerima gift ini langsung dari tangan Ben! Aakkk!!”
Mendengar nama itu, Lesie menghentikan sendok berisi tuna baked rice yang mengarah ke mulutnya. Nama itu adalah sebutan yang diteriaki wanita-wanita pada lelaki yang menunjukkan noda di pipi Lesie tadi.
“Ben?”
“Iya, nama coach-nya Ben. Doi paling ganteng dan berkharisma dari beberapa coach yang ada di sana. Gue yakin, setelah lo liat dia, bayangan si Tarlan lo itu bakalan pecah berkeping-keping.”
Dalam hati, Lesie mengakuinya. Tarlan masih jauh dibanding dengan kharisma lelaki yang bernama Ben itu. Atau mungkin kharisma Tarlan memang sudah hilang di mata Lesie semenjak dia memutuskan hubungannya.
“Emang sekeren itu, ya?” tanya Lesie yang seolah tidak begitu terkesan.
“I can’t describe him. Dia itu sosok yang sempurna. Bikin gue pengen pake panties ini di hadapan dia. Hahahahah.”
“Terus si Dewa mau dikemanain?”
“Ngeceng doang boleh kali, bok! Gue ikut kelas relationship ini juga demi hubungan cinta gue sama Dewa bisa berjalan lebih mulus. Malah gue bakalan nyuruh dia buat ikut relationship management-nya MLT biar kita klop,” kata Gaby sambil menyeruput rainbow mocktailnya.
“By the way, kapan lo mau kenalin cowok lo sama kita?” tanya Lesie.
“Sabar, dia masih sibuk sekarang. Banyak yang mesti diurus, gue aja jarang banget ketemu sama dia.”
“Menurut lo, ehmm... love counselor itu bisa kasih solusi tentang masalah yang gue hadapin, gak?”
“Pastinya, dong! Mereka bakalan mengedukasi elu habis-habisan untuk memandang cinta lebih indah, lebih fun dan lebih enjoy. kalo soal putus cinta, sih, itu udah biasa. Bukan masalah yang harus ditangisin setiap malam. Kalo lu mau, nanti biar gue kasih nomor telpon salah satu counselor regional Bandung. Lo tinggal tentuin aja jadwal sama dia buat konsultasinya.”
“Emang siapa counselor yang megang regional Bandung?”
“Si Ben lah! Ben Alfrend.”
***
Lesie mondar mandir di dalam kamar sambil menggenggam ponsel. Dia masih meragukan untuk menelepon nomor love counselor itu dan bingung harus menaruh muka di mana ketika meminta solusi percintaannya. Bahkan dia tidak tahu rencananya ini memang untuk meminta solusi atau penasaran untuk melihat lelaki berkharisma itu lagi.
Akhirnya Lesie pun memencet sebuah nomor yang diberikan oleh Gaby. Ketika terdengar nada sambung sebanyak tiga kali, terdengar suara seorang operator wanita dari seberang sana.
“Halo, selamat siang dengan Modern Love Theory office ada yang bisa dibantu?”
“Uhm, ya… eh, saya bisa bicara dengan Ben? Ben Alfrend?”
“Baik, akan saya sambungkan, mohon tunggu sebentar.”
“Oke.”
Setelah menunggu beberapa detik sambil mengetuk-ngetukan jari yang di cat dengan warna coral ke meja riasnya, Lesie mendengar suara seorang lelaki.
“Halo."
“Hai. Uhm, gue mau konsul bisa? Konsul masalah hubungan gue, sebenernya udah putus tapi... ya gue mau bayar berapa pun untuk dapet solusinya,” kata Lesie tergagap.
“Oke, untuk konsul kamu bisa dateng ke kantor kita di–”
“Oh, nggak nggak. Uhmm, Kita ga bisa ketemu di luar aja? Cafe misalnya?”
“Oke bisa, kamu bisa email atau chat soal tempat dan waktunya biar disesuaikan dengan jadwal saya. Gimana?”
Lesie menyetujuinya dan mencatat nomor ponsel yang disebutkan Ben.
“Sip, nanti saya chat kamu.”
“Maaf, ini dengan siapa?”
“Lesie.”
“Oke Lesie, saya tunggu konfirmasinya. Selamat siang.”
“Siang.”
Lesie menutup telpon dan langsung meluncur ke tempat tidur. Dia mendekap bantal sambil mengetikkan WhatsApp pada si counselor itu.
Banditblues cafe jam 8 malam besok.
-Lesie-
Lesie menatap dinding yang masih terpampang pigura berisi fotonya ketika diwisuda. Di foto itu, ia sedang duduk sambil menggenggam buket bunga dan Tarlan yang berdiri di belakangnya. Lesie tidak akan menurunkan pigura tersebut sebelum dirinya bisa melupakan Tarlan, sampai akhirnya akan membuang semua barang-barangnya yang berbau mantannya itu secara sukarela.
Lesie sangat berharap pertemuannya dengan si Love Counselor bisa membantu dirinya keluar dari lingkaran setan galau. Ia berdoa semoga si Ben Alfrend mempunyai magic theory yang ampuh atau kalau perlu Lesie akan meminta orang untuk menghapus semua memori Tarlan di otaknya. Seperti Clementine dalam film Eternal Sunshine.
Lo pasti nyesel ga ikut kelas ini. MY GOD COACH-NYA KEREN BANGET LESIE!!!!! Berkharisma, ganteng apalagi yang namanya Ben! Tapi sayangnya mereka unreachable. Gue speechless, Lesie, gue speechless! Oh my God! Am so blessed!
That’s the point! Lesie berpikir, palingan juga coach-coach itu hanya menjual tampang dan mulut manisnya untuk membuat para peserta kelas relationship dengan tema 'Being Lovable' merasa disanjung dan dihargai. Zaman sekarang apa aja bisa dijadikan uang. Well, Lesie ingin melihat sendiri apa yang bisa diperbuat seorang counselor itu untuk membantunya melupakan Tarlan.
Lesie menyetir pelan sambil membuka bungkus cokelat dari minimarket, berharap zat phenethylamine-nya benar-benar bisa membuatnya bahagia. Dia memakan satu batang cokelat itu seperti kerupuk sambil mengomel ketika salah satu motor menyalip mobilnya dan menyenggol kaca spion, sehingga membuat Lesie terlempar ke depan ketika menginjak rem mendadak. Ia lalu mengutuk pengendara motor tersebut jatuh ke dalam got secara tidak hormat.
Ballroom hotel penuh dengan wanita-wanita yang sudah mengikuti kelas relationship. Di depan pintu masuk, terpampang standing banner bertuliskan ‘Being Lovable, Spread The Happiness For The Best Relationship'.
Lesie menunggu Gaby sambil melipat tangannya. Ia memerhatikan wajah-wajah wanita yang keluar dengan berseri-seri, yang mungkin sekarang sudah menjadi ‘lovable’ karena disanjung dengan coach yang menurut Gaby keren but unreachable. Se-cool apa sih mereka? Bisa ngalahin Tom Cruise kah?
Salah seorang lelaki yang memakai kemeja denim hitam keluar dari ballroom sambil menyunggingkan senyum kepada para wanita yang rebutan meminta berfoto. Lesie mengira dia adalah salah satu coach-nya. Dilihat dari ke-antusiasan Gaby tadi, lelaki itu memang pantas dibilang unreachable. Dia memiliki aura yang membuat para wanita speechless hanya dengan melihat kegantengannya. Pantas saja wanita-wanita itu mau membuang uang seharga dompet Longchamp hanya untuk berfoto dengan mereka.
Lesie balas menatap ketika mata lelaki itu tertuju padanya. Ternyata tidak se-unreachable itu. Selama ini Lesie memang selalu menarik perhatian lelaki, dan tidak terkecuali bagi sang counselor ini. Lesie merasa hatinya membumbung tinggi ketika mata lelaki itu kembali tertuju padanya setelah selesai berfoto. Dan tidak sampai di situ, lelaki itu bahkan menghampiri Lesie. Lesie berusaha untuk terlihat tidak tertarik meski jantungnya berdegup dengan tempo yang lebih cepat.
Setelah jarak mereka hanya satu meter, lelaki itu mengulurkan tangan ke arah Lesie. Lesie yang masih melipat tangannya, hendak membalas uluran tangan lelaki tersebut sebelum sadar bahwa lelaki itu hanya bermaksud untuk memberinya tisu.
“Pipi kamu ada nodanya,” katanya sambil lanjut melangkah ke sekumpulan wanita-wanita di belakang Lesie yang menjeritkan nama lelaki tersebut.
Lesie menggertakan rahang, tidak terima atas perlakuan lelaki itu yang sok keren dan sok jual mahal. Dia cepat-cepat membuka tasnya untuk meraih cermin kecil, lalu melihat noda cokelat sialan yang menempel di pipinya. Sudah pasti diakibatkan oleh motor sialan yang menyalipnya tadi.
Lesie segera membuang tisu yang diberi lelaki itu lalu mengambil tisu basah yang selalu tersedia dalam tasnya dan menghapus noda itu cepat-cepat.
“Lesie!” teriak Gaby yang baru keluar dari ruang ballroom.
“Lo udah nunggu daritadi, ya? Eh lo jadi, kan, mau konsul sama coach-nya MLT?”
Lesie menarik tangan Gaby keluar, merasa malu jika harus bertatapan dengan lelaki yang mempermalukannya tadi.
“Setelah gue pikir-pikir, ikut konsultasi cinta itu konyol! Jadi gue batalin.”
“Loh kenapa? Teori mereka itu ga bisa disepelein, Les. Mereka bakalan bikin lo open minded. Ilmu mereka itu berharga, lo ga bakalan tahu sebelum ikutin seminar mereka,” jelas Gaby.
“Jadi lo sekarang udah lovable nih? Lo bisa gebet si counselor yang bikin lo speechless itu, ga?”
“Ga gitu juga kali. Theorinya kan harus dipraktekin dulu, kita harus bikin diri kita berkualitas untuk dapetin cowok yang berkualitas. Kita harus bisa bahagia untuk share kebahagian kita itu dengan pasangan.”
“Can you see me? Bukan maksud sombong, sih, tapi apa yang kurang dari diri gue? Gue punya usaha, gue setia sama cowok gue, gue bisa merawat diri gue biar keliatan oke, dan hasilnya? Cowok kalo udah dari sononya brengsek, mau nemuin cewek sesempurna apa pun pasti masih larak lirik cewek lain. Cowok ga bakalan berubah hanya karena lo ikutan kelas konyol ini dengan coach brengsek itu!”
“Kok elu bisa bilang coach itu brengsek?”
“Emang brengsek! Dia sok mahal, sok cool, sok unreachable biar mancing-mancing penasaran cewek doang.”
“Maksud lo coach yang mana, nih? Lo kok ngomongnya kayak punya dendam pribadi gitu?”
Lesie akan merasa gengsi jika memberitahu Gaby bahwa lelaki itu lebih tertarik memperhatikan noda di pipinya daripada berkenalan dengannya.
“Ga ada apa-apa. Gue ga suka aja dengan cara bisnis mereka. Masa iya hari gini cinta-cintaan aja dijadiin bisnis, sih.”
“Yaaah, yang pasti gue gak nyesel ikut kelas mereka. Gue dapet banyak ilmu yang bisa gue pake demi kehidupan cinta gue yang lebih baik. Welcome to the new world!” kata Gaby sambil membentangkan tangannya.
“Udah deh… makan, yuk! Gue laper.”
“Sama. Boks makan siang gue tadi ketinggalan di dalem. Makan apa ya enaknya?”
“Apa aja deh yang penting bergizi biar otak gue jalan,” kata Lesie sambil menarik tangan Gaby ke arah mobilnya.
***
Lesie mengarahkan mobilnya ke Sugarush Cafe yang terletak di Jl.Braga. Entah mengapa hatinya masih merasa dongkol akibat kejadian tadi. Dia menyadari bahwa kedongkolannya disebabkan oleh kepedeannya sendiri yang menyangka lelaki itu tertarik padanya.
Sementara itu, Gaby mengeluarkan sesuatu dari dalam tas, lalu memperlihatkan kepada Lesie sebuah panties berwarna shocking pink dengan renda putih di sekeliling lingkaran pinggangnya.
“Keren, gak?” tanya Gaby sambil mengedipkan mata.
“Dih, mesum banget sih mereka!”
“Ini ga mesum kali. Tapi so sweet! Gue nerima gift ini langsung dari tangan Ben! Aakkk!!”
Mendengar nama itu, Lesie menghentikan sendok berisi tuna baked rice yang mengarah ke mulutnya. Nama itu adalah sebutan yang diteriaki wanita-wanita pada lelaki yang menunjukkan noda di pipi Lesie tadi.
“Ben?”
“Iya, nama coach-nya Ben. Doi paling ganteng dan berkharisma dari beberapa coach yang ada di sana. Gue yakin, setelah lo liat dia, bayangan si Tarlan lo itu bakalan pecah berkeping-keping.”
Dalam hati, Lesie mengakuinya. Tarlan masih jauh dibanding dengan kharisma lelaki yang bernama Ben itu. Atau mungkin kharisma Tarlan memang sudah hilang di mata Lesie semenjak dia memutuskan hubungannya.
“Emang sekeren itu, ya?” tanya Lesie yang seolah tidak begitu terkesan.
“I can’t describe him. Dia itu sosok yang sempurna. Bikin gue pengen pake panties ini di hadapan dia. Hahahahah.”
“Terus si Dewa mau dikemanain?”
“Ngeceng doang boleh kali, bok! Gue ikut kelas relationship ini juga demi hubungan cinta gue sama Dewa bisa berjalan lebih mulus. Malah gue bakalan nyuruh dia buat ikut relationship management-nya MLT biar kita klop,” kata Gaby sambil menyeruput rainbow mocktailnya.
“By the way, kapan lo mau kenalin cowok lo sama kita?” tanya Lesie.
“Sabar, dia masih sibuk sekarang. Banyak yang mesti diurus, gue aja jarang banget ketemu sama dia.”
“Menurut lo, ehmm... love counselor itu bisa kasih solusi tentang masalah yang gue hadapin, gak?”
“Pastinya, dong! Mereka bakalan mengedukasi elu habis-habisan untuk memandang cinta lebih indah, lebih fun dan lebih enjoy. kalo soal putus cinta, sih, itu udah biasa. Bukan masalah yang harus ditangisin setiap malam. Kalo lu mau, nanti biar gue kasih nomor telpon salah satu counselor regional Bandung. Lo tinggal tentuin aja jadwal sama dia buat konsultasinya.”
“Emang siapa counselor yang megang regional Bandung?”
“Si Ben lah! Ben Alfrend.”
***
Lesie mondar mandir di dalam kamar sambil menggenggam ponsel. Dia masih meragukan untuk menelepon nomor love counselor itu dan bingung harus menaruh muka di mana ketika meminta solusi percintaannya. Bahkan dia tidak tahu rencananya ini memang untuk meminta solusi atau penasaran untuk melihat lelaki berkharisma itu lagi.
Akhirnya Lesie pun memencet sebuah nomor yang diberikan oleh Gaby. Ketika terdengar nada sambung sebanyak tiga kali, terdengar suara seorang operator wanita dari seberang sana.
“Halo, selamat siang dengan Modern Love Theory office ada yang bisa dibantu?”
“Uhm, ya… eh, saya bisa bicara dengan Ben? Ben Alfrend?”
“Baik, akan saya sambungkan, mohon tunggu sebentar.”
“Oke.”
Setelah menunggu beberapa detik sambil mengetuk-ngetukan jari yang di cat dengan warna coral ke meja riasnya, Lesie mendengar suara seorang lelaki.
“Halo."
“Hai. Uhm, gue mau konsul bisa? Konsul masalah hubungan gue, sebenernya udah putus tapi... ya gue mau bayar berapa pun untuk dapet solusinya,” kata Lesie tergagap.
“Oke, untuk konsul kamu bisa dateng ke kantor kita di–”
“Oh, nggak nggak. Uhmm, Kita ga bisa ketemu di luar aja? Cafe misalnya?”
“Oke bisa, kamu bisa email atau chat soal tempat dan waktunya biar disesuaikan dengan jadwal saya. Gimana?”
Lesie menyetujuinya dan mencatat nomor ponsel yang disebutkan Ben.
“Sip, nanti saya chat kamu.”
“Maaf, ini dengan siapa?”
“Lesie.”
“Oke Lesie, saya tunggu konfirmasinya. Selamat siang.”
“Siang.”
Lesie menutup telpon dan langsung meluncur ke tempat tidur. Dia mendekap bantal sambil mengetikkan WhatsApp pada si counselor itu.
Banditblues cafe jam 8 malam besok.
-Lesie-
Lesie menatap dinding yang masih terpampang pigura berisi fotonya ketika diwisuda. Di foto itu, ia sedang duduk sambil menggenggam buket bunga dan Tarlan yang berdiri di belakangnya. Lesie tidak akan menurunkan pigura tersebut sebelum dirinya bisa melupakan Tarlan, sampai akhirnya akan membuang semua barang-barangnya yang berbau mantannya itu secara sukarela.
Lesie sangat berharap pertemuannya dengan si Love Counselor bisa membantu dirinya keluar dari lingkaran setan galau. Ia berdoa semoga si Ben Alfrend mempunyai magic theory yang ampuh atau kalau perlu Lesie akan meminta orang untuk menghapus semua memori Tarlan di otaknya. Seperti Clementine dalam film Eternal Sunshine.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved