Bab 3 Kematian Greg Richardson

by Abarakwan 06:05,Dec 16,2020
Hendrick membopong tubuh sahabatnya yang besar, susah payah menuju kamarnya. Betapa bodohnya sahabatnya itu, bercinta dengan saksi utama kematian klien besarnya.

Sesaat setelah Jaxon menceritakan perbuatannya kemarin, ia menenggak habis vodka di dalam kulkasnya dan sekarang mabuk tak sadarkan diri. Setelah meletakkan Jaxon di atas kasur, Hendrick berlalu keluar kamar dan mencari ponselnya.

Berawal dari kasus Greg, lalu kompleksitas bertambah dengan keberadaan Maggie, semua menjadi mimpi buruk saat Allison campur tangan dengan menyembunyikan Maggie.

"Lelucon macam apa ini!!" Desah Hendrick sebelum men-dial nomor salah satu sepupunya yang bekerja sebagai intel.

"Joe.. It's me!" Ucapnya kaku," aku butuh bantuanmu, Margareth Enja Dennise or Maggie, 24, rambut cokelat sebahu. Terakhir terlihat kemarin. Kumohon secepatnya Joe."

"Okie..Dokie.." Balas sepupu Hendrick dengan nada datar. Sambungan telepon terputus setelahnya.

Jam 9 malam itu, San Jose terguyur hujan dan Jaxon telah bangun dan mengalami hangover parah, ia berteriak dengan posisi masih berbaring di ranjang Hendrick dan memegang kepalanya yang nyeri bukan main.

"Hendrick!! Give me an aspirin!!" Jaxon berteriak dengan suara serak menahan sakit. Jaxon bukan seorang pemabuk, bahkan seumur hidupnya ia bisa dihitung dengan satu tangan ia mabuk karena alkohol. Ia adalah pria dengan fokus utama karir, sulitnya hidup tak pernah membuatnya menyerah. Terbukti ia telah berhasil berkat kerja keras dan perjuangannya di masa lampau.

"Yea.. Yeah..," terdengar jawaban santai dari luar kamar, tak lama Hendrick datang membawa dua butir aspirin dan segelas air putih. Ia meminta sahabatnya untuk meminum dua tablet itu sekaligus.

"At least... Kau mendapatkan pelajarannya man!! Jangan mabuk setelah kau meniduri saksi kunci kasusmu!" Ejeknya dan menjauh dari jangkauan Jaxon.

Jaxon hanya mendengus kesal, dan kembali berbaring, memijit kepalanya yang masih sakit.

"Joe, sepupuku yang bekerja di Intel telah menyelidiki Maggie. Joe melacak nama Margareth dan Allison, di semua tempat. Terdapat penerbangan menuju JFK atas nama Allison Ford, kemarin pukul 16.00 dan Joe mendata Allison Ford memiliki beberapa Apartemen di New York, tapi setelah ia kemarin meretas CCTV masing-masing apartemen yang dimiliki Allison, jawabanmu ada di Sessanta Apartement, 3rd Avenue tak jauh dari Lincoln Center," jelas Hendrick panjang sementara Jaxon mencoba mencerna setiap kata yang dikatakan sahabatnya.

Hendrick selalu jadi partnernya semenjak kuliah, ia bisa mengisi kekurangan Jaxon dengan baik--walau akan sulit menemukan kekurangan seorang Jaxon Tomàs Reyes. Jaxon dan Hendrick membuat sebuah firma hukum setelah keduanya lulus dari magister hukum mereka di waktu bersamaan.

Jaxon tertawa dan membuka matanya, ia menatap Hendrick dengan tatapan mengejek.

"Akankah Allison sebodoh itu?" Tanya Jaxon mengangkat kedua alisnya.

"Kurasa memang ia bodoh?" Jawab Hendrick dan tertawa, "sebaiknya kita terbang ke JFK dan menuju Sessanta- Maggie pasti sangat senang bertemu denganmu Jax".

"Don't call me that!!" Hardik Jaxon dan memelototi Hendrick. Sementara pria berpakaian santai di depannya hanya tertawa.

Panggilan Jax, terdengar kekanakan dan mengingatkannya pada masa kecil yang suram. Jaxon hanya dikenal sebagai Jaxon.

Setelah Jaxon merasa sakit di kepalanya mereda, ia mereservasi tiket untuk keduanya terbang ke New York. Kedua pria itu berjalan berdampingan menuju pintu keluar rumah khas San Jose yang tentram.

Sesaat sebelum mereka sampai di pintu, ponsel Jaxon berbunyi nyaring dan otomatis membuat keduanya berhenti dan saling berpandangan. Tak ada yang tahu nomor pribadi mereka kecuali orang dalam, dan hanya untuk masalah urgent-hidup dan mati.

"Speak!!" Ucap Jaxon cepat saat ia menekan icon hijau pada ponselnya.

"Aku sudah mengirim email, copy-an, hasil autopsi Mr. Richardson, Sir," jawab Mandy- sekretaris Jaxon dari R&J Law Firm. Mandy yang cantik dan pintar. Beberapa kali Hendrick menggoda gadis itu namun selalu ditolak. Mandy memiliki perhatian khusus dengan Jaxon, yang sampai saat ini tidak diketahui pria berdarah Asia itu.

"Thanks," jawabnya singkat dan memutus panggilan itu.

"Hasil autopsi Greg di emailku," jelas Jaxon dan berbalik menuju sofa ruang keluarga dan memeriksa email lewat ponsel pintarnya.

"What is it?" Tanya Hendrick dan duduk di samping Jaxon.

"Amonia- gas amonia, dan sebelumnya ia mabuk." Jaxon menutup laman email dari ponselnya dan memandang Hendrick dengan dahi berkerut.

"Maggie-lah jawabanmu," ucap Hendrick cepat. Ia langsung mencurigai perempuan yang berstatusnsaksi kunci.

"Wanita itu tak tahu apapun mengenai ini," jelas Jaxon masih berfikir keras. Ia terlalu dimabuk cinta oleh Greg untuk berfikir sekejam itu. Maggie terlihat sangat terpukul dan shock pada saat itu, apakah ia hanya berakting?

"Kau takkan pernah tahu kekuatan cinta! It can be gruesome and evil, sometimes," jelas Hendrick, alisnya terangkat memancing sebuah jawaban dari Jaxon. Ia masih dengan kuat mengira Maggielah pelakunya.

"Bah..." Jaxon tertawa kecil mengejek, "KAU...! Menasihatiku...? Tentang cinta?"

"Kau sendiri yang bilang, Margareth adalah wanita ular-- apa yang sebenarnya terjadi?" Cecar Hendrick, kesal dengan sahabatnya yang selalu berkata penuh teka-teki.

"Hmm... sebelum Greg datang ke apartemen itu, Maggie berpergian ke Walmart sejak pagi. Di pagi hari, sebelum ia berangkat--tak ada masalah dengan kamar mandi itu, karena Maggie menggunakannya, dan ia selamat," jelas Jaxon dengan pandangan mata menerawang. Informasi itu didapatnya setelah membuat Maggie sedikit mabuk.

"Lalu... Bagaimana kamar mandi itu, bisa di penuhi gas amonia?" Tanya Hendrick ikut berfikir keras mengenai asal-usul gas ini.

"Manajemen apartemen memeriksa, tidak ada yang salah dengan pipa atau saluran air di sana, amonia itu tak berasal dari pipa atau saluran apapun yang tersentral di apartemen." Jaxon kembali mendesah lelah. Hari yang sungguh berat untuknya, "ada seseorang yang menaruh gas itu saat Maggie berbelanja pagi harinya, dan orang itu tahu--Greg akan datang siang itu."

"Yaa... Tuhan!! Kita ini pengacara Jaxon... aku baru sadar, kenapa kau hobi sekali bermain detektif-detektifan? Tugas kita hanya membela keluarga Richardson menuntut orang di balik kematian Greg, dan kita hanya perlu menunggu hasil penyelidikan polisi." Hendrick berdiri dan berjalan menuju kulkasnya, vodkanya sudah ditenggak habis oleh sang pria adonis menyebalkan, pujaan para wanita. Lalu ia harus menenggak apa untuk menenangkan pikirannya.

"Maggie..?" Lamun Jaxon dan menyebut nama wanita itu, ia tersadar dari lamunannya, "wanita itu... ia harus berada dalam perlindunganku dalam kasus ini... Kau benar, ialah jawabanku. Demi Tuhan aku akan mendapatkannya!" Ucap Jaxon lalu berdiri dan berjalan cepat ke luar rumah. Tiba-tiba ia tersadar akan suatu hal. Jalan pikirnya terlalu cepat dan tak bisa dikejar oleh Hendrick yang bahkan memiliki background pendidikan yang sama dengannya.

"Where to?" Tanya Hendrick menyusul Jaxon yang sudah duduk di kursi kemudi mobil Ford antik milik orangtua Hendrick yang diwarisi untuknya.

"Airport... Tentu saja, destination JFK- Sessanta Apartement, New York City," balasnya tersenyum sinis kepada Hendrick dan memasang seatbeltnya.

Download APP, continue reading

Chapters

99