Bab 6 Bunga sepatu

by Jenang_gula 10:30,Jan 13,2021
..~Bukan mawar apalagi melati, bukan pula bunga lili. Aku hanyalah bunga sepatu. Besar dan indah, namun tetap tak mampu menarik perhatianmu (Mayang)~..


MOS telah usai dan jam pelajaran yang panjang telah menanti. Eric tetap mengikuti ekskul basket, meskipun belum menjadi kapten tetapi permainannya yang epic digadang-gadang sudah siap menggantikan kapten yang sekarang, dalam kurun satu tahun pasti sudah matang. Eric selalu menjadi perbincangan diantara anak senior yang lebih dulu bergabung di tim kebanggaan sekolah.
Berbeda dengan Mayang, dia sudah meninggalkan latihan tarinya karena berkelahi ternyata lebih cocok menurutnya. Saat kesedihan melanda, memukuli samsak ternyata bisa melegakan perasaannya.
Sekolah yang sekarang memang berbeda dengan sekolah SMP nya dulu. Di sini tidak ada yang membedakan antara kaya dan si miskin, toleransi di sini sangat tinggi. OSIS selalu mengorasikan agar semua siswa berprestasi di bidangnya masing-masing, bukan malah beraksi dan bisa menjatuhkan nama sekolah. Di sini hampir semua murid berlomba menjadi yang terbaik di antara murid yang lain. Puisi dan cerpen selalu mengantre dengan rapi di mading, menunggu waktunya untuk dipajang. Sehari saja tidak mengapeli mading pasti akan ketinggalan hal yang seru
Mayang berjalan mendekati lokernya dengan peluh yang membasahi dahi dan beberapa bagian di tubuhnya. Langkahnya berhenti saat melihat cowok yang memegang botol minuman dingin dan tersenyum ke arahnya. Dengan sedikit canggung Mayang membalas senyuman itu dengan anggukan dan meneruskan langkahnya lagi.
“Kamu suka karate?”, tanya Marco
“Maaf kak, aku takut ada yang salah paham kalau kakak sering mengobrol dengan ku”, jawab Mayang ingin meninggalkan Marco, namun Marco dengan cekatan memegang pergelangan tangan Mayang.
“Eric?”, tanya Marco dengan tatapan mengintimidasi.
“Bukan hanya itu kak, aku tidak pantas berada di samping kakak”
“Hanya aku yang bisa mengatakan itu kalau memang seseorang tidak pantas berada di sampingku”, jawab Marco tanpa melepaskan pegangannya.
“Aku masih belum menginginkan apa pun kak, jangan seperti ini”, Mayang mengatakannya dengan nada yang mengiba dan sedikit memohon.
Marco yang melihat sikap Mayang merasa tersinggung atas penolakan Mayang dan segera meninggalkannya tanya mengatakan apa pun lagi. Minuman yang dibawanya akhirnya dilempar ke tempat sampah, dia tidak pernah merasa terhina seperti ini. Apa yang diinginkan selalu dia dapatkan, dengan uang dan kharismanya siapa yang akan menolaknya mentah-mentah selain Mayang. Marco akan selalu mengingat gadis itu di dalam hatinya.
~
Di tempat lain Eric malah bersenang-senang dengan teman baru nya. Memang Eric adalah sosok yang mudah bergaul asalkan tidak ada yang bersikap berlebihan terhadapnya, merayu saja jangan karena itu akan membuat Eric sangat risih dan pasti akan menjauhinya.
“Lanjut besok lagi ya”, kata Eric sambil melambaikan tangan kirinya ke teman-temannya karena tangan kanan Eric memegang botol minuman yang berbalut handuk. Setelah mendapat anggukan dari teman-temannya Eric berjalan menuju ke ruang ganti untuk membersihkan dirinya.
“Eric tunggu”, teriak Tasya, ketua cheerleaders yang selalu berlatih bersama dengan anggota tim basket.
Eric berhenti dan mengamati Tasya yang semakin mengikis jarak di antara mereka. “Kenapa Tas?”, tanya Eric.
“Aku boleh nebeng enggak pulangnya?”, tanya Tasya setelah berada di samping Eric.
“Aku sama Mayang”, jawab Eric singkat dan berniat meninggalkan tempat itu.
“Setiap hari sama Mayang? Kalian pacaran?”, selidik Tasya.
“Rumah kita deket tapi gak pacaran”, Eric melangkah menuju ruang ganti namun Tasya tetap mengikutinya.
“Sehari aja ya”, rengek Tasya. “Sopir aku gak bisa jemput hari ini, soalnya mama arisannya jauh. Ya?”, imbuh Tasya lagi sambil menyatukan telapak tangan nya di depan dada.
“Gak bisa Tas, udah jangan ikut aku, aku mau ganti baju”, jawab Eric sambil menutup pintu ruang ganti baju meninggalkan Tasya yang cemberut di sana.
Tanpa mereka sadari ada seseorang yang mendengarkan percakapan mereka. Memang tidak heran bila terjadi hal seperti itu, bukankah memang sudah waktunya menjajal cinta kasih meskipun terlalu dini.
~
“Pulang yuk?!”, ajak Eric saat bertemu Mayang di kelasnya.
“Aku mau ikut kegiatan OSIS”, jawab Mayang sambil membereskan peralatan sekolahnya dan memasukkannya ke dalam tas miliknya.
“Kamu ikut OSIS?”
“Iya, kenapa?”
“Ngapain? Kan aku males ikut gitu-gituan”
“Ya mangkanya aku gak ngajak kamu”, jawab Mayang sambil memakai tasnya dan berniat untuk mengikuti rapat yang sebentar lagi akan berlangsung.
“Trus nanti pulangnya?”, tanya Eric yang masih tak suka dengan Mayang yang mengikuti kegiatan tersebut dan akan memakan banyak waktu mereka. Apalagi di sana ada Marco sebagai salah satu anggota yang cukup disegani.
“Aku kan punya uang buat naik angkot, dah kamu pulang saja”, jawab Mayang sambil beranjak meninggalkan Eric. “Dadah”, kata Mayang sambil melambaikan tangan nya saat berada di depan pintu kelasnya.
Eric hanya mengacuhkannya dan menyambar tasnya sendiri. Dia akan tetap pulang meskipun Mayang masih di sekolah karena Eric lelah dan ingin segera beristirahat di rumah.
Saat Eric akan menarik gas motornya, ada seorang siswi yang menghalangi roda motornya dan mengangkanginya. Padahal Eric sangat malas ngeladeni hal seperti ini, dia sangat lelah dan tidak punya gairah dengan hal-hal macam ini.
“Pulang sendiri kan? Aku nebeng ya?”, siswi itu segera naik ke jok belakang motor Eric padahal Eric belum menjawab pertanyaannya, dan menyuruhnya turun bukanlah pilihan yang bangus mengingat mood Eric yang seperti sekarang ini.
~~~
Hari-hari berlalu seperti biasa, dengan pelajaran dan juga ekskul yang sudah tersistem setiap harinya.
Hari ini Mayang pulang tanpa diantar oleh Eric, karena akan ada pertandingan jadi Eric harus berlatih dan mempersiapkan kebutuhannya di sekolah bersama semua teamnya.
“Aku pulang buk”, kata Mayang sambil membuka pintu. Namun tidak ada jawaban dari dalam sana. Mayang meletakkan tas sekolah nya di kursi ruang tamu dan melepas sepatunya. Berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air karena rasa haus setelah berjalan menyusuri gang rumahnya.
Matanya melotot sempurna, nafasnya memburu. Pemandangan seperti ini dia lihat lagi. Diedarkannya pandangannya menyapu seluruh ruang dapur dan perasaannya semakin panik saat tidak menemukan apa yang dia cari. Mayang berpaling dan bergegas ke kamar ibuknya, dilihatnya punggung bergetar itu, mendekatinya dan mengusap lembut punggung seseorang yang selalu menentramkan hatinya saat melihatnya tersenyum. Memeluknya dari belakang dan pecah sudah tangisan yang memilukan itu.
BRAKKKK
“Apa yang kau lakukan disini?”, tanya lelaki yang seharusnya mampu melindunginya dari bahaya apa pun, kini malah menjambak rambut Mayang. Rambut yang dikuncir kuda itu memudahkan pelaku leluasa menarik rambut itu. “Lebih baik kau segera membuatkan aku kopi dan jadilah berguna agar ada yang berbeda antara kau dan wanita bodoh itu”, dihentakkannya kepala Mayang dengan keras sehingga hampir membentur sisi ranjang.
“Pergilah nduk, ibu akan ikut sakit kalau terjadi apa-apa sama kamu”, kata ibu Mayang sambil menyeka air matanya sendiri dan mengangguk ke arah Mayang.
Mayang pun berdiri dan berjalan ke dapur untuk membuatkan kopi bapaknya. Setelah kopi dihidangkan Mayang kembali ke dapur, membersihkan pecahan beling dan sendok yang bertebaran mengelilingi kursi dan juga di kolong meja dapur.
Sesekali Mayang menyeka air matanya. Dia kembali ke masa lalu, dulu bapaknya tidak begini. Beliau sangat menyayangi Mayang dan ibunya, dan juga Rio, adik kesayangannya. Sayang diusianya yang sangat kecil itu Rio harus melawan penyakit yang tidak pernah diinginkan oleh seorang pun. Jantungnya bocor, dan itu mengharuskannya hidup dengan bantuan obat-obatan. Terapi kesana kemari namun hasilnya pun nihil. Biaya yang tidak murah menjadikan sang bapak harus mengutang kepada lintah darat.
Dililit hutang dan gaji sebagai tukang kuli tidaklah cukup untuk menyambung hidup. Akhirnya bapak Mayang mencoba bermain judi dan sering menipu orang sana-sini. Waktu itu semuanya berjalan dengan benar meskipun cara bapaknya mencari nafkah salah, sampai akhirnya Rio dipanggil oleh sang pencipta dan menjadikan bapaknya semakin lepas kendali dan jadilah seperti saat ini.
Bapak Mayang memang sangat menginginkan anak laki-laki dibandingkan perempuan. Lebih bisa dibanggakan katanya, dari pada cuma bisa bermain dengan kompor dan sapu seperti anak perempuan, dan kematian Rio cukup mengguncang hati bapaknya. Rio lahir dengan jalan operasi, dan rahim ibu Mayang juga sudah diangkat karena ada benjolan kista disana. Baik dokter maupun bapak Mayang tidak mau ambil resiko kedepannya, jadilah rahim ibu Mayang mau tak mau harus ikut diangkat.
Selesai membersihkan dapur Mayang kembali untuk melihat ibunya yang masih berbaring di kamarnya. Dilihatnya wajah ayu yang menyejukan jiwa itu, ada beberapa lebam di sana. Mayang pergi ke kamarnya dan menangis seorang diri, keluarga yang sangat disayanginya, kenapa bisa menjadi seperti ini.

Download APP, continue reading

Chapters

66