Bab 8 Bimbang

by Jenang_gula 10:32,Jan 13,2021
..~Kanan atau kiri. Terlihat mudah bila orang lain yang menjawabnya, tapi tidak denganku karena di sini selalu ada kamu. Di hatiku (Mayang)~..


Mayang memutar gagang pintu dan ternyata tidak dikunci dari dalam. Lampu yang sudah padam dan TV juga tidak menyala Mayang berpikir bapaknya sudah tidur saat ini.
Mayang menuju dapur dan meletakkan bawaannya di atas meja, saat berbalik dia terkejut ketika melihat bapaknya sudah berada di belakangnya dengan bersedekap dada.
“Dari mana?”, tanya bapaknya sambil membuang tusuk gigi yang di gigitnya tadi dan mendekat melihat apa yang dibawa Mayang itu.
“Tadi Mayang keluar dan ketemu Eric”, jawab Mayang yang sudah tidak terlalu takut karena nada bapaknya tidak menunjukkan dia sedang marah saat ini.
Bapaknya menoleh ke arah Mayang dan mengacak rambut putrinya itu, “Pinter kamu, itu baru anak bapak”, setelah mengatakan itu bapak Mayang mengambil piring dan menyendok nasi untuk memakan sate yang dibawa Mayang.
“Ibu sudah makan pak?”, tanya Mayang hati-hati.
“Kamu tanyain dong, kalo bapak yang tanya nanti ibumu marah lagi”, jawab bapak Mayang tanpa menoleh Mayang sedikit pun.
Mayang yang mendengar itu segera berlalu menuju kamar ibunya, dilihatnya ibu Mayang masih di posisi yang sama sebelum Mayang pergi tadi. “Buk..”, panggil Mayang sambil menggoyangkan tubuh ibunya pelan.
Ibu Mayang menoleh dan tersenyum, “ Kenapa nduk?”, tanya ibunya.
“Mayang ambilin makan ya buk?”, rayu Mayang.
Ibunya mengangguk tanda setuju.
Mayang yang melihat itu pun tersenyum, sangat melegakan bisa melihat senyuman ibunya lagi sekarang. “Apa ibu mau makan di dapur saja, tidur dari siang membuat pinggang ibu linu nanti”, bujuk Mayang lagi.
“Iya nduk”, jawab ibu Mayang sambil bangun dari tidurnya dengan di bantu Mayang.
“Duduk di sini ya buk, Mayang ambilin nasi dulu”, kata Mayang saat mereka masuk ke dapur.
“Gak bisa ambil piring sendiri? Sudah gob^^k nyusahin”, kata bapak Mayang yang baru saja menyelesaikan makannya dan meraih bungkusan martabak serta mengambil botol minum di pintu kulkas dan berlalu meninggalkan dapur.
“Bapak?!!”, Mayang yang mendengar itu langsung menoleh ibunya dan mendapati wanita yang disayanginya itu menangis lagi. Mayang mempercepat kegiatannya mengambil nasi dan segera duduk di samping ibunya. “Makan dulu buk”, rayu Mayang sambil mengusap punggung ibunya.
Ibu Mayang segera mengusap pipinya dan tersenyum kembali ke Mayang. Memakannya meskipun sangat susah untuk ditelan karena dia tidak ingin anak kesayangannya khawatir melihatnya belum makan sejak tadi. “Kamu gak makan nduk?”, tanya ibu Mayang karena hanya melihat Mayang menemaninya tanpa mengambil nasi juga.
“Tadi sudah makan buk, sama Eric. Tadi Mayang nganter Eric cari kukis untuk bunda nya, ini juga dari Eric buk”, kata Mayang menghapus suasana kaku yang sudah terbangun sejak tadi.
“Kamu dekat sama Eric?”, tanya ibu Mayang.
“Cuma temen bu, kan kita sekelas dari dulu”, jawab Mayang.
“Ingat siapa kita nduk”, kata ibu Mayang. “Ibu gak mau kalau ada seseorang yang berkata jelek tentang kamu nduk”, imbuhnya lagi.
“Iya buk, Mayang ngerti, kita Cuma temenan kok”, kata Mayang sambil tersenyum karena ibunya sudah mulai berbicara lagi dan itu artinya suasana hatinya telah membaik.
“Aku keluar, kunci pintu, bapak pulang besok pagi”, kata bapak Mayang sambil meletakkan sisa martabak yang tinggal beberapa di atas meja.
“Nanti bapak tidur dimana?”, tanya Mayang.
“Anak kecil tau apa, yang penting ada beras buat dimakan besok”, jawab bapak Mayang sambil berlalu, dan tak lama setelah itu terdengar pintu ditutup agak keras, pasti bapak Mayang yang menutupnya setelah sampai di depan tadi.
Mayang menoleh ibunya yang sudah selesai makan dan minum air putih yang disediakan Mayang tadi. “Nanti boleh gak Mayang tidur sama ibu?”, tanya Mayang.
“Kenapa nduk? Biasanya kalo bapak keluar kan kamu tidur sendiri”, jawab ibu Mayang sambil berdiri dan membereskan piring bekas makannya dan juga bekas suaminya tadi.
“Mayang pengen cerita tapi sudah malam kalo cerita di depan TV, nunggu besok pagi nanti Mayang lupa”, jawab Mayang sambil memperhatikan ibunya yang mencuci piring tanpa berniat membantunya karena badannya yang capek sehabis berkeliling mall, perutnya yang kenyang juga menjadikannya malas bergerak dan ingin segera tidur.
“Iya, kamu masuk dulu ke kamar nanti ibu nyusul kalo sudah selesai”, jawab ibu Mayang yang masih sibuk membilas piring yang baru saja disabun beberapa waktu yang lalu.
Mayang beranjak dari duduknya menuju ke kamarnya dan membaringkan tubuhnya di sana. Setelah tidak terlalu lama terdengar langkah kaki mendekat dan menampakkan wajah ayu ibunya yang tersenyum ke arahnya.
“Memangnya Mayang belum ngantuk?”, tanya ibu Mayang.
“Sini buk”, kata Mayang tanpa menjawab pertanyaan ibunya, menggeser tubuhnya agar cukup saat ibunya juga berbaring di kasurnya nanti.
Ibu Mayang pun tersenyum dan ikut berbaring di sisi Mayang, meskipun dia juga merasa was-was kalau nanti Mayang akan bertanya tentang apa yang menimpanya tadi siang. “Ada apa nduk?”, tanya ibu Mayang sambil membelai rambut panjang Mayang yang digerai setiap akan tidur.
“Teman Mayang kemarin mengajak Mayang pacaran buk”, kata Mayang, memang apa pun dia akan lega bila sudah bercerita dengan ibunya.
“Eric?”, tanya ibu Mayang, ibunya cukup tahu tentang kedekatan dua anak itu, sejak Eric pindah dari Surabaya memang Eric maupun Mayang sering bermain dan mengerjakan tugas bersama. Entah itu di rumah Eric maupun di rumah Mayang.
“Bukan buk”, jawab Mayang mampu menghentikan gerakan ibunya dan beralih menatap Mayang serius sekarang.
“Siapa?”, tanya ibu Mayang menjurus karena tidak sabar atas jawaban Mayang. Dia ingin segera mendengar siapa nama lelaki yang berani mendekati anaknya kali ini. Ibu Mayang cukup tahu siapa anaknya, menjadi wanita yang ikut karate, ibu Mayang selalu tahu karena Mayang pasti akan membagi apapun dengan ibunya, seperti saat ini. Mayang termasuk anak yang cepat belajar, meskipun masih berapa bulan saja ikut ekskul itu terbukti dia sangat cepat ganti sabuknya berwarna hijau saat ini.
“Marco buk, anak kepala sekolah”, jawab Mayang.
“Kamu suka sama dia?”, tanya ibunya lagi.
“Mayang gak tau buk, Mayang takut, apa lagi Mayang sama Marco jauh buk, Mayang gak pantas”, jawab Mayang sungguh-sungguh karena memang itu yang Mayang rasakan.
“Eric juga jauh, tapi Mayang gak merasa seperti itu, apa karena.....”
“Enggak buk, Mayang sama Eric Cuma sahabatan aja, Eric juga sudah punya pacar”, potong Mayang cepat karena tidak ingin ibunya berpikir macam-macam tentang nya dan Eric.
Ibunya tersenyum dan menghembuskan nafas panjang sampai terdengar di telinga Mayang. “Ibu Cuma minta satu dari kamu, jangan sampai melewati batas dan jadilah anak yang manis, jangan menyakiti hati orang lain”, memang ibu Mayang tidak pernah melarangnya berpacaran, meskipun masih terlalu dini bagi sebagian orang namun ibu Mayang selalu percaya dan yakin Mayang nya tahu mana yang baik yang harus dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Ibu Mayang memberikan semua keputusan berada di tangan Mayang sendiri.
Mayang tersenyum lebar dan mengangguk ke ibunya. Memeluknya dengan erat dan mencium wangi keringat wanita tersayangnya itu.”Iya buk, Mayang akan selalu mengingatnya sampai kapan pun”, jawabnya mantap.
“Ayo tidur sayang, besok Mayang telat ke sekolahnya.”, kata ibu Mayang mengakhiri percakapan ini karena waktu sudah hampir lewat tengah malam.
Mayang pun mengangguk dan memejamkan matanya. Sangat melegakan saat sudah mengadu ke ibunya, ibunya selalu punya jawaban yang bisa membuatnya tenang.

Download APP, continue reading

Chapters

66