Bab 3 Berjuang untuk bangkit kembali (2)

by JavAlius 21:42,Feb 29,2020
Fetrin memegang pundakku, menggoyangkan tubuhku dengan sangat kuat, dengan emosi mengatakan padaku: “kamu harus bangkit, hidup dengan baik, berjuang untuk ibumu!”

Otakku sedikit pusing saat dia menggoyangkan tubuhku, hatiku semakin sakit, aku tertawa dengan hambar dan mengatakan padanya: “Berjuang, bagaimana caranya, asalkan aku tidak merepotkan ibuku saja sudah cukup!”

Mendengar ucapanku, fetrin semakin marah, matanya sudah memerah, dia menggigit giginya dan mengatakan padaku dengan emosi: “Chandra, kamu benar-benar pria lemah, kamu sebenarnya mau sampai kapan depresi seperti ini? Kamu mau selamanya begini?”

Aku menarik nafas dalam-dalam, dan mengatakan pada fetrin dengan suara yang lirih: “tidak, 10tahun saja cukup, sampai ibuku keluar, aku akan baik-baik saja!”

Ini adalah pemikiran dari lubuk hatiku yang paling dalam, walaupun ibuku dihukum masuk penjara, aku harus menemani dia dalam kesepian juga, kehidupanku, tidak akan ada kebahagiaan lagi, aku juga tidak akan membiarkan aku hidup dengan baik. Hanya menunggu ibuku keluar dari penjara, aku baru bisa mengikuti dia menempuh kehidupan yang baru.

Fetrin mendengar ucapanku, emosi hingga dia tertawa, setelah tertawa sebentar, dia kembali serius, dia sangat serius melihatku, mengatakan dengan sangat jelas: “Kamu dengar, Chandra, hari ini aku baru menjenguk ibumu, aku mengatakan keadaanmu padanya, ibumu bilang, kalau kamu tidak bangkit kembali, kalau kamu mengecewakan harapan dia, dia selamanya tidak akan melihatmu lagi, sekalipun dia sudah keluar dari penjara, dia tetap tidak akan menemuimu!”

Mendengar ucapan fetrin, lubuk hatiku bergetar, otakku seperti depukul dengan keras oleh palu, aku sangat jelas, sifat ibuku, apa yang dia katakanan pasti akan dilakukan, jika akku terus tenggelam dalam kesedihan, dia pasti selamanya tidak akan menemuiku.

Seketika, aku teringat kata-kata yang ibuku berikan padaku sebelum dia pergi, dia mengenggam tanganku dengan sangat erat, mengatakan padaku, kedepannya harus kuat, harus berani. Sedangkan aku, aku menganggap kata-katanya sebagai apa, aku bukan hanya tidak bangkit, malah semakin terjatuh, ini benar-benar mengecewakan harapan dia, menyia-nyiakan pengorbanan yang ibuku berikan!

Sebagai anaknya, aku tidak pernah melakukan apa-apa untuknya, malah membuatnya masuk penjara, sudah seperti ini, aku masih membuat ibuku khawatir, dan menyia-nyiakan pengorbanan dia, aku ini manusia bukan? kenapa hanya memikirkan diri sendiri, tidak memikirkan ibuku? Nasi sudah menjadi bubur, waktu tidak pernah berputar kembali, ibuku berkorban untukku tanpa ada rasa penyesalan, dia tidak mengharapkan balasanku untukknya, hanya berharap aku bisa hidup dengan baik-baik, harapan dia yang begini saja tidak bisa aku kabulkan?

Kalau melakukan sesuatu untuk ibuku hanya bangkit kembali, aku pasti harus bangkit kembali, setidaknya, aku tidak boleh membuatnya khawatir lagi. Ibuku bisa jatuh ke dalam keaadan ini, itu karena aku terlalu lemah dan tidak berguna, maka dari itu, mulai sekarang, aku tidak bisa lagi lemah, aku harus menjadi seorang lelaki, hari-hari kedepannya, aku harus mengandalkan diri sendiri untuk melewati hari, hanya kuat, hanya berani, aku baru bisa hidup dengan layak.

Berpikir sampai disini, seluruh tubuhku tersadar, pandangan mataku akhirnya kembali bersinar, dengan keyakinan aku memandang fetrin, sangat tegas mengatakan: “bibi fetrin, ibuku masih mengatakan apa?”

Fetrin juga sepertinya melihat tatapanku berbeda, ekspresi wajahnya berubah sedikit tenang, dia meneriakiku dengan keras: “ibumu berharap kamu bisa bangkit kembali, belajar yang baik, masuk ke universitas terbaik, bisa menjadi orang yang berguna!”

Ini aku tahu, dari kecil ibuku berharap padaku, berharap aku bisa belajar dengan baik dan bisa menjadi orang berguna kedepannya, maka dari itu, aku mengikuti keiinginannya untuk melanjutkan jalan kehidupan ini. Tanpa keraguan, dengan pasti aku mengatakan: “baiklah, aku pergi kesekolah!”

Fetrin mendengar ini, semangatnya langsung naik, emosinya tadi hilang dan lenyap, seluruh tubuhnya dipenuhi dengan rasa gembira, dia sangat gembira mengatakan padaku: “Beneran? Bagus sekali, oh ia, Chandra, kamu mau ganti sekolah? Kalau butuh, aku akan membantumu menghubungi sekolah baru!”

Aku mengerti maksud fetrin, dia berharap lepas dari masa lalu, pergi ke lingkungan yang baru, ulang sekolah, tapi aku tanpa keraguan menolaknya dan berkata: “tidak perlu, sekolah yang dulu saja!”

Jatuh dimana maka harus berdiri disitu, aku tidak kan mundur lagi, tidak akan kabur lagi. Lagian, ada satu orang yang harus aku temui, dia lah penyebab dari semua ini, membuat ibuku menjadi seperti ini, apapun caranya aku harus menemui dia!

Olive, tunggu aku!

Saat itu, semua perasaan dalam hatiku sudah tersembunyi sangat dalam, hanya satu yang tersisa, yaitu keyakinan.

Fetrin melihat sikapku yang tegas, tidak berbicara banyak, dia adalah orang yang galak, hari itu, dia menggantikanku mengurusi urusan pindah sekolah.

Dua hari kemudian, sore jam 1:50, langit tidak berawan, matahari bersinar cerah. Aku memakai topi untuk ke puncak, memakai pakaian olahraga bewarna hitam, mengenakan sepatu merah, tibalah di gerbang sekolah.

Di depan gerbang, langkah kakiku terhenti beberapa detik, taman sekolah yang tidak berubah, orang-orang yang tidak berubah, yang berubah hanyalah mentalku. Seketika, aku tiba-tiba teringat dulu aku bertemu masalah apapun berlari pulang dan menangis mencari ibuku, kelemahan yang seperti ini, membuatku merasa sedih, konyol.

Mulai dari sekarang, walaupun langit runtuh, aku akan menanggungnya sendiri!

Dengan hati yang dipenuhi keyakinan, aku memulai langkah kakiku, memasuki sekolah.

Baru tiba di tangga sekolah, ada orang yang sudah mengenaliku, dan terus berkomentar: “lihat, itu bukannya anak pembunuh?”

“benar-benar, itu dia, dia orang yang kalau ketemu masalah langsung mencari bantuan ibunya, akhirnya membuat ibunya masuk penjara, dasar pengecut!”

“Haha, tidak disangka, penakut ini masih berani kesekolah, wajahnya benar-benar tebal!”

“Aku paling jijik dengan sampah seperti ini!”

......

Mengikuti suara yang terdengar, semakin banyak orang yang mengikuti, mengelilingiku, menunjuk dan memarahiku.

Dulu, karena ibuku yang gagah, tidak ada orang disekolah yang berani menertawakanku, sekarang, ibuku sudah masuk penjara, orang-orang ini seperti kambing yang keluar dari kendang, satu per satu berani mengataiku, tidak bermoral dan mempermalukanku.

Masalah ibuku, adalah sakit di dalam hatiku, lukanya masih belum sembuh, sekarang malah dilukai lagi oleh orang-orang, tidak heran akan sakit. Hanya, sakit seperti ini bukanlah apa-apa, walaupun di gores oleh ribuan pisau, aku tidak akan menangis lagi, yang bisa aku lakukan, hanyalah menanggung ini semua. Maka dari itu, aku berpura-pura seperti tidak terjadi masalah apa-apa, terus melangkah menuju ke kelas.

Berjalan sampai di koridor depan kelas, aku baru sadar, segerombolan orang sudah memenuhi koridor sekolah, terutama siswa kelas yang aku kenal, seperti melihat monyet, melihatku dengan tatapan yang aneh. Aku masih pura-pura tidak melihat apa-apa, tidak berhenti jalan kedepan, sampai aku berjalan di depan kelasku, tiba-tiba, seorang lelaki keluar, menghalangi jalanku.

Aku sedikit mengangkat kepalaku, melihat kearah orang itu, rupanya teman kelasku si kepala duri, bernama sufendi. Orang ini suka membully orang, biasanya dikelas suka pamer, merasa dirinya adalah bos dikelas, sejak olive datang, dia tidak berani beradu dengan olive, langsung berubah menjadi anak buahnya olive, terus membully orang, pernah beberapa kali memakai nama olive untuk memerasku, aku paling tidak suka dengan orang yang rendahan seperti ini.

Cuma, dia hri ini seperti sangat akrab denganku, sekali muncul, tersenyum cerah padaku, masih menepuk pundakku dan mengatakan padaku: “Chandra, kamu sudah kembali, aku sangat rindu padamu! Aku dengar dari orang, ibumu membunuh orang dan masuk enjara, saat itu kamu ada dilokasi kejadian, melihat dengan kedua mata ibumu dianiyaya tapi malah acuh tak acuh, kamu bisa menceritakan pada kami kejadian yang sebenarnya, aku benar-benar ingin mendengar!”

Melihat senyumnya yang palsu, aku merasa hatiku ada bom yang akan meledak, sejenak menyentak, aku mengibaskan tangannya yang ada di pundakku, dan berteriak dengan emosi dengannya: “Pergi!”

Download APP, continue reading

Chapters

537