Bab 3 Sesal
by Lucy Liestiyo
13:10,Jan 16,2021
"Heii,,, apa yang terjadi? Pak Pino pingsan, ya? Ayo cepat, Liman! Kita harus secepat mungkin membawanya ke rumah sakit! Jangan sampai kondisi Pak Pino semakin parah!" satu orang Pekerja lain yang mendekati posisi di mana Pino terjatuh, berkata kepada Pekerja pertama yang dipanggilnya Liman.
Pekerja bernama Liman itu menoleh.
"Tapi pakai kendaraan siapa, coba, Roy? Mobilnya Pak Pino kan lagi dipinjam sebentar untuk mencari beberapa kekurangan dekorasi. Bakalan membuang-buang waktu kalau menunggu sampai mobil kembali ke sini. Kita nggak bisa menunggu selama itu dong! Pak Pino butuh pertolongan seceptnya! Ini benar-benar mendesak! Darurat!" kata Liman yang seperti kehabisan ide.
“Bantu pikir, Roy!” imbuh Liman kemudian, bersama tatap ibanya kepada Pino.
"Gimana kalau kita pakai taksi saja? Cepat, aku jagain Pak Pino di sini. Kamu keluar dari gedung dan area resor ini. Sana, pergi cari taksi di jalanan depan! Teman kita yang lain lagi di belakang sana, belum tahu soal ini," sahut rekan Liman yang dipanggil Roy itu.
Elbi dan Ezra berbalik serentak. Dahi mereka mengerutkan kening pada saat yang bersamaan.
Elbi hampir tidak bisa mempercayai pemandangan yang ada tak jauh darinya. Mata Pino tampak terpejam. Sosoknya tampak tak berdaya setelah kakinya dihantam satu buah tiang panggung yang pastinya berat.
Elbi berdecak kesal.
“Ya ampun! Dia melakukan ini buat menyelamatkan aku sama Ezra,” Elbi bergumam tak jelas. Rasa bersalah seketika menyapa Elbi. Ia membayangkan, jika saja Pino tidak bereaksi cepat beberapa saat lalu, bisa jadi dirinya serta Ezra yang tertimpa tiang panggung tersebut. Dan bisa jadi mereka berdua yang kini terkaoar di lantai seperti yang terjadi pada Pino.
“Bi..,” panggil Ezra lirih dengan pandangan seolah bertanya, “Kamu ngomong apa?”
“Nggak,” sahut Elbi pelan.
"Sini, sini! Ayo cepat! Tolong bantu aku buat mengangkat tiang besi ini dari kaki Pak Pino. Ini lumayan berat dan aku nggak bisa melakukannya sendiri,” masih terdengar suara dari salah satu Pekerja. Sepertinya itu Roy.
Karena berada di area yang sama, Elbi jelas merasa terganggu dengan percakapan mereka.
"Pakai saja mobil saya Pak! Jenisnya mobil keluarga. Warnanya hijau metalik. Tadi saya parkir tepat di depan lobby gedung sebelah, letaknya paling ujung. Ini, ambil kuncinya. Bawa dulu kemari, lalu tolong angkat Pak Pino masuk ke dalam mobil. Pastikan ada satu atau dua orang yang menemani nanti. Tolong cepat! Jangan buang waktu!” seru Elbi dari tempatnya sambil meraih kunci di saku celananya.
Roy langsung bertindak. Tanpa pikir panjang ia menghampiri Elbi dan meraih kunci mobil yang disodorkan kepadanya.
“Siap, Pak. Terima kasih. Bapak ini seperti dewa penolong saja buat kami! Ada pada saat kritis,” kata Roy lalu secepatnya melesat keluar sambil menyerukan nama dua orang rekannya yang lain sekeras mungkin. Saking cepatnya dia bereaksi, sampai lupa untuk menolong Elbi lebih dulu.
Sepeninggal Roy, Elbi berusaha agar dia bisa duduk dengan sempurna. Usaha yang dilakukannya dengan susah payah lantaran dibyaang-bayangi rasa sakit yang menderanya.
Namun, sewaktu hendak menopang dirinya dengan lengan, ia terjatuh ke belakang. Mau tidak mau, Elbi mengerang. Kepalanya terasa sedikit pusing karena melawan rasa sakit di punggung dan satu lengannya. Rasa nyeri di kedua bagian itu tampak kompak menjalar ke bagian kepalanya.
Mata Elbi terpejam dan dahinya berkerut. Nyata sekali bagaimana dia menahan rasa sakit yang tak terperikan. Ezra, yang menyaksikan hal itu, semakin panik jadinya. Dia hampir berteriak karenanya.
"Elbi! Aku bilang juga apa tadi? Kamu tuh harus segera diperiksa sama Dokter. Aku benar-benar mengkhawatirkan kondisi kamu, tahu!” kata Ezra cemas sambil menatap wajah Elbi. Dari ekspresi wajahnya yang tampak amat kesakitan, Ezra tahu betapa Elbi masih saja gigih menyembunyikan dan menahan rasa sakit yang menyerang. Perlahan dan dengan sangat berhati-hati, dia membantu Elbi duduk.
Elbi memaksakan sebuah senyum, meski pekerjaan melenturkan sejumlah urat di sekitar mulutnya adalah hal yang sungguh sulit untuk dilakukannya saat ini.
“Aduh!” keluh Elbi bersama seringai kesakitannya. Sepertinya bocor sudah pertahanan yang telah dibangunnya semenjak tadi.
Timbul iba di hati Ezra.
“Sakit banget ya, Bi? Sabar ya! Semoga semua cepat tertangani dan nggak ada yang gawat. Hati-hati, Bi! Pelan saja,” bisik Ezra lembut dan membiarkan salah satu Pekerja lain yang tampaknya baru saja masuk ke ruangan tersebut lantaran diteriaki oleh Roy, membantu Elbi untuk bangkit berdiri.
Elbi hanya mengangguk. Dia tak mengatakan apa-apa ketika rekan dari Roy dan Liman itu membantu menuntunnya ke mobil yang telah diparkirkan tepat di depan pintu masuk gedung. Rasa sakit yang sesekali terasa di punggungnya memang sedikit mengurangi konsentrasinya.
Ezra mendahului langkah Elbi dan Pekerja yang membantunya dengan membuka pintu mobil lantas memindahkan sebuah bantal untuk mengganjal agar punggung Elbi tidak langsung berbenturan dengan sandaran jok. Ia bahkan memindahkan bantal lain supaya Elbi dapat memosisikan lengan kirinya di atas bantal tersebut.
"Elbi, sudah kamu duduk saja. Jangan banyak bergerak. Biar aku bantu pakaikan sabuk pengamannya," kata Ezra sambil melirik sekilas ke kursi tengah, tempat dimana Pino bersama Liman yang mendampinginya. Ezra tidak sadar diri, Elbi mengamati gerakannya dan juga ekspresi wajahnya. Di dalam diamnya Elbi mencari arti dari tatapan mata Ezra barusan.
Tak pernah terpikir oleh Ezra, betapa Elbi mencermati setiap detail pergerakannya. Pikiran liar Elbi menebak-nebak perasaan seperti apa yang ada dalam cara Ezra menatap Pino barusan, sekaligus mengukur seberapa dalam perasaan itu. Alangkah sulit bagi Elbi untuk menahan perasaan insecure yang melandanya sekarang. Dan betapa lucunya reaksi yang ia tampilkan kemudian, seolah baru tersadar bahwa Ezra pasti akan duduk di belakang kemudi nanti. Sangat mustahil dan tidak beralasan bukan, jika Ezra duduk di bagian lain dari mobilnya? Siapa pula yang akan mengemudikan mobilnya?
"Apa, Ara? Kamu yang bakal bawa mobil ini ke rumah sakit?" tanya Elbi, selagi tetap mengatasi ketidaknyamanan akibat melihat pandangan aneh di mata Ezra tadi. Sungguh tak mungkin bagi Elbi untuk menyangkal betapa perasaan cemburu dan tidak nyaman serempak muncul dan membekapnya, mengintimidasi ketenangan pikirannya, mengacaukan suasana hatinya. Sayangnya, tidak ada kesempatan baginya untuk mengungkapkannya. Itu benar-benar mustahil dan terkesan amat kekanak-kanakan. Apalagi dalam situasi genting seperti sekarang.
Menjawab pertanyaan Elbi, Ezra mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ah, alangkah ini membuat Elbi semakin tidak nyaman saja!
Ya ampun! Kenapa harus begini sih? Aku benci harus terlihat nggak berdaya seperti ini! Rasanya benar-benar nggak enak. Apa-apaan sih ini? Apa artiku buat Gadis yang aku cintai? Tadi itu aku sudah gagal melindunginya. Dan sekarang, aku juga merepotkan dia. Konyol sekali! Sesal Elbi di dalam hati.
Rasanya dia ingin protes keras ke alam semesta saat ini, yang dianggapnya tidak berpihak kepada dirinya.
Andai saja.., ya, andai saja..,’ batin Elbi kemudian dan terkenang momen indah yang ia lewati bersama Ezra beberapa saat sebelumnya.
Pekerja bernama Liman itu menoleh.
"Tapi pakai kendaraan siapa, coba, Roy? Mobilnya Pak Pino kan lagi dipinjam sebentar untuk mencari beberapa kekurangan dekorasi. Bakalan membuang-buang waktu kalau menunggu sampai mobil kembali ke sini. Kita nggak bisa menunggu selama itu dong! Pak Pino butuh pertolongan seceptnya! Ini benar-benar mendesak! Darurat!" kata Liman yang seperti kehabisan ide.
“Bantu pikir, Roy!” imbuh Liman kemudian, bersama tatap ibanya kepada Pino.
"Gimana kalau kita pakai taksi saja? Cepat, aku jagain Pak Pino di sini. Kamu keluar dari gedung dan area resor ini. Sana, pergi cari taksi di jalanan depan! Teman kita yang lain lagi di belakang sana, belum tahu soal ini," sahut rekan Liman yang dipanggil Roy itu.
Elbi dan Ezra berbalik serentak. Dahi mereka mengerutkan kening pada saat yang bersamaan.
Elbi hampir tidak bisa mempercayai pemandangan yang ada tak jauh darinya. Mata Pino tampak terpejam. Sosoknya tampak tak berdaya setelah kakinya dihantam satu buah tiang panggung yang pastinya berat.
Elbi berdecak kesal.
“Ya ampun! Dia melakukan ini buat menyelamatkan aku sama Ezra,” Elbi bergumam tak jelas. Rasa bersalah seketika menyapa Elbi. Ia membayangkan, jika saja Pino tidak bereaksi cepat beberapa saat lalu, bisa jadi dirinya serta Ezra yang tertimpa tiang panggung tersebut. Dan bisa jadi mereka berdua yang kini terkaoar di lantai seperti yang terjadi pada Pino.
“Bi..,” panggil Ezra lirih dengan pandangan seolah bertanya, “Kamu ngomong apa?”
“Nggak,” sahut Elbi pelan.
"Sini, sini! Ayo cepat! Tolong bantu aku buat mengangkat tiang besi ini dari kaki Pak Pino. Ini lumayan berat dan aku nggak bisa melakukannya sendiri,” masih terdengar suara dari salah satu Pekerja. Sepertinya itu Roy.
Karena berada di area yang sama, Elbi jelas merasa terganggu dengan percakapan mereka.
"Pakai saja mobil saya Pak! Jenisnya mobil keluarga. Warnanya hijau metalik. Tadi saya parkir tepat di depan lobby gedung sebelah, letaknya paling ujung. Ini, ambil kuncinya. Bawa dulu kemari, lalu tolong angkat Pak Pino masuk ke dalam mobil. Pastikan ada satu atau dua orang yang menemani nanti. Tolong cepat! Jangan buang waktu!” seru Elbi dari tempatnya sambil meraih kunci di saku celananya.
Roy langsung bertindak. Tanpa pikir panjang ia menghampiri Elbi dan meraih kunci mobil yang disodorkan kepadanya.
“Siap, Pak. Terima kasih. Bapak ini seperti dewa penolong saja buat kami! Ada pada saat kritis,” kata Roy lalu secepatnya melesat keluar sambil menyerukan nama dua orang rekannya yang lain sekeras mungkin. Saking cepatnya dia bereaksi, sampai lupa untuk menolong Elbi lebih dulu.
Sepeninggal Roy, Elbi berusaha agar dia bisa duduk dengan sempurna. Usaha yang dilakukannya dengan susah payah lantaran dibyaang-bayangi rasa sakit yang menderanya.
Namun, sewaktu hendak menopang dirinya dengan lengan, ia terjatuh ke belakang. Mau tidak mau, Elbi mengerang. Kepalanya terasa sedikit pusing karena melawan rasa sakit di punggung dan satu lengannya. Rasa nyeri di kedua bagian itu tampak kompak menjalar ke bagian kepalanya.
Mata Elbi terpejam dan dahinya berkerut. Nyata sekali bagaimana dia menahan rasa sakit yang tak terperikan. Ezra, yang menyaksikan hal itu, semakin panik jadinya. Dia hampir berteriak karenanya.
"Elbi! Aku bilang juga apa tadi? Kamu tuh harus segera diperiksa sama Dokter. Aku benar-benar mengkhawatirkan kondisi kamu, tahu!” kata Ezra cemas sambil menatap wajah Elbi. Dari ekspresi wajahnya yang tampak amat kesakitan, Ezra tahu betapa Elbi masih saja gigih menyembunyikan dan menahan rasa sakit yang menyerang. Perlahan dan dengan sangat berhati-hati, dia membantu Elbi duduk.
Elbi memaksakan sebuah senyum, meski pekerjaan melenturkan sejumlah urat di sekitar mulutnya adalah hal yang sungguh sulit untuk dilakukannya saat ini.
“Aduh!” keluh Elbi bersama seringai kesakitannya. Sepertinya bocor sudah pertahanan yang telah dibangunnya semenjak tadi.
Timbul iba di hati Ezra.
“Sakit banget ya, Bi? Sabar ya! Semoga semua cepat tertangani dan nggak ada yang gawat. Hati-hati, Bi! Pelan saja,” bisik Ezra lembut dan membiarkan salah satu Pekerja lain yang tampaknya baru saja masuk ke ruangan tersebut lantaran diteriaki oleh Roy, membantu Elbi untuk bangkit berdiri.
Elbi hanya mengangguk. Dia tak mengatakan apa-apa ketika rekan dari Roy dan Liman itu membantu menuntunnya ke mobil yang telah diparkirkan tepat di depan pintu masuk gedung. Rasa sakit yang sesekali terasa di punggungnya memang sedikit mengurangi konsentrasinya.
Ezra mendahului langkah Elbi dan Pekerja yang membantunya dengan membuka pintu mobil lantas memindahkan sebuah bantal untuk mengganjal agar punggung Elbi tidak langsung berbenturan dengan sandaran jok. Ia bahkan memindahkan bantal lain supaya Elbi dapat memosisikan lengan kirinya di atas bantal tersebut.
"Elbi, sudah kamu duduk saja. Jangan banyak bergerak. Biar aku bantu pakaikan sabuk pengamannya," kata Ezra sambil melirik sekilas ke kursi tengah, tempat dimana Pino bersama Liman yang mendampinginya. Ezra tidak sadar diri, Elbi mengamati gerakannya dan juga ekspresi wajahnya. Di dalam diamnya Elbi mencari arti dari tatapan mata Ezra barusan.
Tak pernah terpikir oleh Ezra, betapa Elbi mencermati setiap detail pergerakannya. Pikiran liar Elbi menebak-nebak perasaan seperti apa yang ada dalam cara Ezra menatap Pino barusan, sekaligus mengukur seberapa dalam perasaan itu. Alangkah sulit bagi Elbi untuk menahan perasaan insecure yang melandanya sekarang. Dan betapa lucunya reaksi yang ia tampilkan kemudian, seolah baru tersadar bahwa Ezra pasti akan duduk di belakang kemudi nanti. Sangat mustahil dan tidak beralasan bukan, jika Ezra duduk di bagian lain dari mobilnya? Siapa pula yang akan mengemudikan mobilnya?
"Apa, Ara? Kamu yang bakal bawa mobil ini ke rumah sakit?" tanya Elbi, selagi tetap mengatasi ketidaknyamanan akibat melihat pandangan aneh di mata Ezra tadi. Sungguh tak mungkin bagi Elbi untuk menyangkal betapa perasaan cemburu dan tidak nyaman serempak muncul dan membekapnya, mengintimidasi ketenangan pikirannya, mengacaukan suasana hatinya. Sayangnya, tidak ada kesempatan baginya untuk mengungkapkannya. Itu benar-benar mustahil dan terkesan amat kekanak-kanakan. Apalagi dalam situasi genting seperti sekarang.
Menjawab pertanyaan Elbi, Ezra mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ah, alangkah ini membuat Elbi semakin tidak nyaman saja!
Ya ampun! Kenapa harus begini sih? Aku benci harus terlihat nggak berdaya seperti ini! Rasanya benar-benar nggak enak. Apa-apaan sih ini? Apa artiku buat Gadis yang aku cintai? Tadi itu aku sudah gagal melindunginya. Dan sekarang, aku juga merepotkan dia. Konyol sekali! Sesal Elbi di dalam hati.
Rasanya dia ingin protes keras ke alam semesta saat ini, yang dianggapnya tidak berpihak kepada dirinya.
Andai saja.., ya, andai saja..,’ batin Elbi kemudian dan terkenang momen indah yang ia lewati bersama Ezra beberapa saat sebelumnya.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved