Bab 7 Distraksi Yang Sulit Diabaikan (2)

by Lucy Liestiyo 13:18,Jan 16,2021
Maka dalam sekejap kolase foto itu diteruskan oleh bermacam orang, dari satu akun media sosial hingga ke media sosial lainnya. Ditambah-tambahi pula dengan berbagai komentar yang lebih banyak menyudutkan ketimbang membela atau sekadar pendapat netral. Ada yang terkejut dan tidak segera percaya, akan tetapi lebih banyak yang sependapat dengan si penyebar berita bohong itu. Padahal andai saja jumlah para netizen yang cerdas dan bijak lebih banyak dibandingkan yang kurang cerdas dan jauh dari bijak, semestinya mereka dapat menilai dari pilihan kata yang digunakan yang terkesan ‘ada permasalahan pribadi’ dengan sang Pemilik resto, sebelum ibu jari mereka secara hiperaktif memosting ulang.
Dan seakan itu belum cukup, maka kabar miring itu langsung ditambahkan ke tuduhan lain. Diberitakan pula, untuk menambah keuntungan, gerai yang sama diduga menggunakan bahan kadaluwarsa dalam sejumlah varian es krim yang mereka jual. Maka dalam sekejap, berbagai akun robot mengomentari postingan negatif yang tidak bertanggung jawab tersebut.
Hasilnya sangat menyakitkan bagi usaha kuliner Pak Wira. Berawal dari satu outlet yang tiba-tiba sepi, dalam waktu singkat hal yang sama merembet ke outlet lainnya. Omzet mereka nyaris mendekati angka nol, sedangkan segenap biaya operasional tetaplah harus dibayar. Gaji pegawai, biaya listrik, biaya sewa dan maintenance gedung yang tidak semuanya merupakan property pribadi keluarga Pak Wira bukanlah pos pengeluaran yang kecil. Belum lagi kalau ditambah biaya bahan baku yang tersia-sia.
Terlepas dari kerepotan berurusan dengan berbagai pihak untuk memberikan bukti serta klarifikasi, Ezra mengetahui bahwa Elbi melalui tim Marketingnya telah berjuang keras untuk mengembalikan nama baik usaha kuliner tersebut. Sudah pasti mereka juga berniat untuk mengembalikan omset mereka yang berkurang drastis. Namun tampaknya sejauh ini strategi mereka kurang efektif. Terbukti, situasi yang semakin parah membuat Ezra enggan dan tidak tega untuk mengikuti perkembangan kabar tersebut lagi.
Detik ini, di kantor Sang Ayah, Ezra tidak bisa lagi menghindarinya seperti yang sudah-sudah.
"Aku nggak bisa terus seperti ini. Kalau aku mengabaikannya, itu sama saja artinya aku nggak punya hati, nggak punya perasaan. Malah nggak punya akal sehat juga membiarkan orang baik menjadi korban. Kasihan sekali Om Wira. Kasihan Papa juga. Papa pasti kepikiran juga. Lama-lama Papa bisa ikut stress. Aduh, jangan sampai deh! Nggak rela, aku!" desah Ezra lirih.
Desahan yang amat lirih. Tapi yang pasti, kali ini ada tekad yang kuat, muncul dari nuraninya yang terketuk.
Ezra terpaku, susah untuk bergeming dari tempatnya berdiri. Suka atau tidak suka, dia toh harus mengakui bahwa sebetulnya dia juga ikut terpukul. Ezra menyadari bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk sahabat baik Ayahnya. Ya, fakta bahwa Pak Wira adalah orang yang sangat baik dan dekat dengan keluarganya sekaligus teman lama tak bisa dibantah.
Sayangnya, jika berbicara tentang Pak Wira, tentu tidak akan lepas dari 'Putra Mahkota’ nya, Putra tunggalnya yakni Elbi. Dan saat bayangan wajah Elbi berkelebat sejenak, seketika Ezra teringat bagaimana penampilan Elbi, profil dan karakternya.
Kemudian, potongan-potongan momen yang pernah dimilikinya bersama Elbi, bermain-main di pelupuk matanya. Itu tampak seperti beberapa adegan film yang diputar langsung di depan matanya. Hal yang membuat Ezra merasa tidak nyaman dan bertanya-tanya adalah, seburuk apapun komunikasi mereka setelahnya, mengapa Elbi tidak sekalipun menyebutkan masalah yang menimpa bisnis keluarganya kepada dirinya.
Dia benar-benar keterlaluan. Dasar Cowok sombong dan gengsian. Makan tuh ego, makan tuh harga diri! pikir Ezra jengkel.
Ezra merasa Elbi secara konsisten menjauh darinya, seiring dengan meluasnya masalah tersebut. Hal ini menimbulkan prasangka di benak Ezra. Ezra berpikir jika bukan karena ego Elbi yang terlalu tinggi, kemungkinan Elbi memiliki alasan yang kuat dan mempunyai tekad bulat untuk menghapus semua keping memori yang pernah mereka miliki serta pantang untuk menoleh ke belakang. Tak berbeda sama sekali dengan aksi menekan tombol 'control alt del' di keyboard laptop. Dan ya, mana bisa Ezra tidak tersinggung dan terpancing untuk membalas Elbi? Dia, bagaimanapun, bisa-bisa saja menjadi melindungi ego yang terluka dan memilih bersikap tidak peduli, bukan? Khususnya untuk Elbi!
"Huh, terserah!" Ezra akhirnya mendengus memilih untuk segera masuk.
"Pa," Ezra memanggil Ayahnya ketika dia mendapati Pak Aswin telah mengakhiri percakapan telepon dengan Pak Wira. Saat itu juga, dia mengabaikan segenap perasaan yang sempat berkecamuk di benaknya.
Pak Aswin menatap ke arahnya. Lelaki yang berada di awal usia ‘kepala 6’ nya itu senang melihat Putri Bungsunya berdiri di dekat pintu masuk. Dia tersenyum riang.
"Hai, Ara sayang! Sudah berapa lama kamu, sampai di sini? Masuk, masuk, Ra! Duduk di sini!" Pak Aswin berkata dengan gembira sambil menggerakkan telapak tangannya, memberi isyarat kepada Ezra untuk segera masuk ke ruangan kerjanya.
Ezra tidak membuang waktu barang sekejap saja. Dia langsung masuk ke ruang kerja Pak Aswin Lalu dia menghampiri Pak Aswin dan mencium punggung tangan Ayahnya seperti biasa. Ayahnya mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang.
"Ya ampun! Lihat ini! Pa, berantakan banget meja ini! Papa! Papa tuh, sesibuk ini ya, jadi belum pulang kantor sampai jam segini?" Ezra bertanya sambil menggerakkan tangannya secara spontan, mengamati dan merapikan beberapa file yang berserakan di meja Pak Aswin.
Pak Aswin terkekeh melihat aksi spontan Ezra.
Kemudian Pak Aswin sedikit bergosip dan menjawab singkat pada Ezra, "Ini memang agak merepotkan Ara. Soalnya lagi nggak ada Venus yang sangat detail itu."
Kontan, jawaban jujur Pak Aswin membuat Ezra merenung sejenak. Gerakan tangannya untuk mengurutkan dokumen secara otomatis cenderung melambat. Mau tak mau, perasaan bersalah menggodanya. Pasalnya, karena dia tidak pernah terlibat langsung dalam bisnis Ayahnya. Tidak seperti Venus, kakak perempuannya, yang membantu Ayah mereka setiap hari, belajar seluk beluk bisnis Pak Aswin, mengurus keperluan dan agenda harian sang Ayah. Sudah seperti Asisten Pribadi sekaligus tangan kanan yang dapat diandalkan.
Ezra menelan ludah yang terasa pahit.
“Pa, soal Kak Ve. Ara yakin dia bakalan mengambil cuti melahirkan untuk jangka waktu cukup lama lho. Kalau nggak salah, bisa 5 bulan sampai setengah tahun kan, ya?” pertanyaan Ezra berbuah anggukan singkat Pak Aswin.
“Makanya, Pa! Papa mending cari deh, satu atau dua tenaga kontrak, untuk sepenuhnya menangani tugas Kak Ve. Bukan seperti sekarang, sebatas membagi tugas harian Kak Ve ke Chyntia, Yani sama Hasto. Di satu sisi, mereka bertiga masih harus mengerjakan tugas pokok mereka. Di sisi lain, ketambahan kerjaan baru. Sudah begitu, mereka masih sering harus tanya dulu ke Kak Ve, karena mereka takut salah. Papa tahu sendiri kan, betapa detail dan perfeksionisnya kak Ve? Apapun yang diinginkannya itu harus berjalan sempurna, sesuai dengan kriterianya sendiri, yang yach..., memang benar sih. Tapi jujur saja, terkadang Pa, cara kerjanya itu sulit untuk dilakukan sama orang lain. Padahal, kalau saja dia sedikit lebih fleksibel, asal hasilnya sama, semestinya nggak masalah dong kalau orang lain yang membantu menggantikan pekerjaannya itu melakukan dengan cara yang berbeda," Ezra setengah mengeluh.
Pak Aswin hanya mesem kecil dan membiarkan Ezra melanjutkan opininya.
“Padahal di sisi lain, menurut Ara kurang efisien juga. Terus kasihan Mama juga, kalau sesekali harus terlibat secara langsung lagi ke urusan kantor, Pa. Hmmm, lagi pula Mama tuh.., sudah cukup lama kan, sejak memutuskan untuk mengabdikan waktu luangnya dalam kegiatan sosial di yayasan dan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya,” sesal Ezra.
Pak Aswin tergugah mendengar keprihatinan Ezra.
Ditepuknya bahu Ezra dan berkata, “Jangan khawatir, Ara. Ya, apa yang kamu bilang memang tepat. Dengar, Sayang! Lusa, ada pegawai baru yang akan mulai bekerja di Perusahaan ini, langsung dua orang.”
Mata Ezra membulat selagi mengucapkan, “Oh, ya?”
Pak Aswin manggut kecil.
“Betul. Salah satunya yang bernama Lita, kalau performanya nanti bagus, bakal diproyeksikan sebagai Asisten Venus ke depannya. Ya, sebagai pegawai tetap di sini. Venus sudah mengenal Lita dengan baik. Malah dia lho yang mereferensikan Lita. Ini sekaligus jadi solusi, biar Venus leluasa mendampingi dan merawat bayinya, terus dengan tenang mendelegasikan pekerjaan yang mengharuskannya hadir secara fisik di kantor, kepada Lita. Hei.., Ara! Kamu jangan punya perasaan yang enggak-enggak begitu. Seperti nggak enak hati karena nggak bisa bantu Papa. Lha, nyatanya, kamu sendiri kan lagi kebanjiran pekerjaan toh belakangan ini? Hmmm! Sampai-sampai kamu belum muncul di rumah lagi. Eh, udah lumayan lama lho kamu nggak ke rumah,” sebut Pak Aswin menjentik ujung hidung Ezra.
Ezra menghela napas lega mendengarnya.
“Bagus kalau begitu, Pa. Ara lega mendengarnya. Maaf ya, kalau belum sempat pulang lagi. Jadwal kerja Ara lagi super padat, persis seperti Papa bilang barusan. Ya Ara bersyukur juga sih, banyak berkat datang. Sebagian besar malah berkat yang nggak terduga,” ucap Ezra.
“Papa maklum soal itu Sayang. Terus ini kenapa nih? Kok tumben banget, kamu muncul secara mendadak ke kantor Papa pas lagi sibuk-sibuknya begini?” tanya Pak Aswin setelahnya.
Hati Ezra menghangat mendengar perkataan Pak Aswin.
“Papa memang the best deh,” pujinya.
“Anaknya juga the best soalnya. Nah, kira-kira ada angin apa nih, sehubungan kemunculanmu yang mendadak di kantor Papa pas lagi di puncak kesibukanmu? Mana tahu Papa bisa bantu kamu,” balas Pak Aswin.
Ezra mengulum senyum sebelum menjelaskan, “Itu lho Pa. Hari ini Ara menyempatkan diri datang kemari tuh buat mencari beberapa furniture yang cocok untuk pameran yang akan datang. Tim inti Ara lagi semua sibuk sekarang. Makanya kami berbagi tugas. Lagi pula, rasanya juga bakal menghemat waktu karena Ara bisa memutuskan lebih cepat karena melihat langsung. Wah, kebetulan sekali malah kita jadi ketemu seperti ini, Pa,”.
Seperti kebiasaannya, Ezra memang lebih suka menyebut namanya daripada menggunakan kata ‘saya’ ketika dia bercakap-cakap dengan Orang tuanya dan beberapa Orang tertentu.
"Wow! Endorsement lagi! Keren sekali. Dan tentunya gratis dong atau maksimal pakai harga keluarga deh!" kata Pak Aswin dengan mimik lucu, menggoda putrinya. Dan itu sungguh memancing tawa Ezra.
Namun, tawa Ezra langsung sirna, ketika teringat akan sesuatu yang ingin ditanyakannya. Gadis belia ini benar-benar tidak membuang waktu lagi untuk segera menanyakan hal-hal yang ada di pikirannya kepada sang Ayah.
"Pa..," sebut Ezra setelah menghembuskan napas dengan sangat lambat.
"Ya, Sayang? Ada apa?" sahut Pak Aswin menjawab dengan ringan. Ia menatap dengan pandangan menyelidik, mendapati secercah keraguan yang membayang di wajah Putri bungsunya.
Ezra menelan ludah lagi sebelum mengutarakan apa yang ada di benaknya. Seakan hal itu merupakan sesuatu yang tidak remeh baginya. Ia mengembuskan napas lagi.
"Pa, jadi begini. Tadi itu tanpa sengaja, Ara mendengar percakapan antara Papa sama Om Wira melalui telepon,” Ezra menjeda kalimatnya.
“Hm.., Ara berniat untuk membantunya Om Wira. Tapi ada syaratnya, Pa,” imbuh Ezra cepat dan tanpa ragu, sebelum dia telanjur lupa.
Pak Aswin, yang tidak menyangka Ezra akan mengatakan kalimat yang begitu lugas seperti itu, tertegun sejenak. Meski dirinya merasa amat bersyukur lantaran tak perlu memancing dan memulai diskusi terlebih dulu mengenai hal yang disebut oleh Putri Bungsunya itu, toh keningnya tetap mengernyit mendengar kata 'syarat' yang terucapkan oleh Ezra.
"Syarat, Ara? Sayang, apa maksudmu dengan kata syarat, yang kamu minta itu?" Pak Aswin bertanya padanya tanpa menyembunyikan rasa bingungnya.

Download APP, continue reading

Chapters

84