Bab 15 Rasa Cemburu di Pesta Ulang Tahun Sam (3)

by Lucy Liestiyo 13:34,Jan 16,2021
Venus seperti hendak mengabaikan fakta bahwa Tante Maureen itu diperkenalkan kepadanya oleh sang Mama. Beberapa kali sang Mama mengajaknya ke kantor Tante Maureen, dan lebih dari satu kali Tante Maureen berkunjung ke rumah mereka. Tante Maureen sangat perhatian padanya, mau diajak mengobrol apa saja, sehingga kian hari dirinya kian akrab dengan Tante Maureen.
Venus belum tahu saat itu, bahwa profesi Tante Maureen adalah psikolog anak. Yang dia rasakan adalah, Tante Mauren itu sabar mendengar ceritanya, tidak menyela apalagi membantah seperti yang Arya lakukan kepadanya. Dan anehnya, kala bicara kepada Tante Maureen itu Venus bisa bicara sebagaimana mestinya seorang bocah berlaku.
Maka Venus tak ragu berkisah kepada Tante Maureen yang tak lain adalah mantan teman kuliah dari wali kelasnya. Dalam salah satu penuturannya, Venus bilang bahwa dia ingat dengan jelas, kecemburuannya terhadap sang Adik, pertama kali muncul ketika tiba-tiba ada seorang bayi perempuan yang langsung menyita semua perhatian di sekitarnya.
Memang, setelah sang Mama kembali dari rumah sakit dengan membawa bayi Ezra yang montok, para kerabat serta teman-teman dari Orang tuanya datang silih bergantike rumah mereka. Semua berdecak kagum dan memuji Ezra.
"Wow..! Lihat matanya yang jeli! Bagus banget ya! Masih bayi sudah secantik itu. Terus hidungnya, wah ini bakalan bangir pas dia besar nanti. Pasti nanti kalau dia remaja harus ekstra hati-hati menjaganya nih Met! Enggak jelas berapa banyak teman cowok yang bakal dibuat patah hati sama dia!” itu hanyalah sebagian komentar dari mereka yang Venus ketika mereka mengunjungi bayi Ezra.
Dia sangat ingat bahwa setiap orang memuji kecantikan wajah Ezra. Semuanya setuju dan mengatakan bahwa Ezra akan tumbuh menjadi gadis cantik kelak. Bukannya bangga karena sang Adik dipuji banyak orang, Venus malah merasa diejek oleh tangisan keras Ezra. Bagi Venus, itu tak ubahnya ejekan terjahat yang berniat merobek gendang telinganya.
“Sebenarnya Venus kepengen banget mencubit pipi bayi tembem itu. Sayangnya, nggak pernah ada kesempatan buat melakukan hal itu, Tante. Nyebelin, kan?” adu Venus.
Tante Maureen tertawa dan bertanya, “Mengapa, Ve? Ara kan masih kecil, masa mau dicubit pipinya. Nanti kalau nangis malahan kuping kamu pengang.”
Venus mengerucutkan bibirnya sebelum menjawab, “Iya juga sih Tante. Untung Venus nggak pernah beneran bisa cubit dia. Kalau kesampaian, pasti nangis kencang dan Venus diomelin deh sama Mama. Lagian mana mungkin kesampaian? Selalu ada beberapa orang di sekitar Ara. Pokoknya selalu ada yang jagain dia. Kalau bukan Mama, ya si babysitter itu, yang dipanggil Suster Fraya. Kalau Suster Fraya lagi makan dan Mama sibuk sama hal lain, pasti ada Mbok Purwanti. Itu lho, asisten rumah tangga, yang tadi bawain minum buat Tante.”
Tante Maureen mengangguk-angguk. Venus meneruskan ceritanya.
“Tante..., yang paling bikin Venus suka iri tuh, Venus ingat sekali kalau Papa pulang dari kantor, Papa suka gendong-gendong Ara. Terus diajak ngobrol, dicium-cium, diajakan bercanda, diajak main cilukba. Terus Ara yang biasanya cengeng malah ketawa-ketawa kalau diajak main cilukba begitu. Ih, masih bayi aja sudah suka banget cari perhatian dia itu. Itu bikin Venus sedih,” ungkap Venus.
“Sedih kenapa, Venus?” tanya Tante Maureen sabar. Dan Venus tak sadar bahwa sikap santai Tante Maureen itu sebetulnya cara untuk mengorek keterangan darinya.
Venus menggeleng, dan uniknya Tante Maureen tidak mendesaknya. Tante Maureen malah menanggapinya yang mengalihkan pembicaraan ke rasa kue bronies yang disajikan untuk mereka. Dan Venus kian merasa nyaman.
Sambil mengunyah, dia melanjutkan unek-uneknya.
“Jadi Tante, buat Venus itu tuh pemandangan rutin yang enggak menarik. Menganggu malahan. Bikin Venus bertanya-tanya sendiri, apa iya Papa sepeduli dan sesayang itu sama Venus, sewaktu Venus masih seusia Ara?” ungkap Venus.
Venus menengadahkan wajah dan menatap wajah Tante Maureen.
“Kalau menurut Tante bagaimana?” tanya Venus gamang.
Senyum tipis terulas di bibir Tante Maureen.
“Menurut Tante? Karena saat itu Venus masih kecil, masih bayi kan ya, tentu Venus tidak ingat. Tapi Tante yakin, Papanya Venus juga melakukan hal yang sama kepada Kak Arya, Venus, juga kepada Ara setelahnya,” kata Tante Maureen lembut.
Venus manggut-manggut dan bergumam, “Hm..., kadang Venus berpikir begitu juga sih. Walaupun ada kalanya berpikir yang sebaliknya. Nggak tahulah, Tante. Venus kan juga nggak mungkin tanya soal itu ke Papa. Ih, nggak mau ah! Nanti disangkanya Venus iri sama Ara. Enggaklah, bisa kegeeran dia.”
Alih-alih tersenyum geli, Tante Maureen justru mengangguk maklum. Bagi Venus, itu sungguh melegakan sekaligus membuatnya semakin merasa nyaman. Ia merasa, Tante Maureen itu benar-benar bisa dipercaya untuk ‘memegang rahasia’nya.
Karenanya, ia tak ragu untuk terus berkisah.
Kesempatan bagi Venus untuk menggoda adiknya terbuka beberapa hari menjelang ulang tahun ketiga Ezra. Setelah dua belas hari Venus 'dievakuasi', tidur di kamar orang tuanya bersama Ezra, dia akhirnya bisa menempati kamarnya lagi. Ruangan itu sekarang telah berubah wajahnya. Luasnya menjadi dua setengah kali lebih lebar dibandingkan dengan sebelumnya. Tampilan wallpaper baru pada dindingnya sungguh cerah dan menyenangkan bagi Venus. Yang unik, ada dua tema berbeda pda dinding yang berseberangan. Tak perlu ditanyapun, Venus sebenarnya menyukai kedua tema tersebut.
Namun malangnya, perubahan itu tidak sepenuhnya menguntungkan bagi Venus. Sang Mama rupanya telah mengatur Orang untuk meletakkan tempat tidur, lemari pakaian, dan banyak mainan baru untuk Ezra di satu sisi ruangan. Rasa iri seketika memenuhi pikiran Venus. Bagaimana tidak? Adik yang selama ini menjadi saingannya malah ditempatkan di kamar tidur bersamanya. Berbagi kamar yang sama, bergiliran menggunakan kamar mandi di pojok kamar. Itu sama saja seperti mimpi buruk bagi Venus. Dia sangat kesal.
Kalau saja dia bisa melakukan apa yang yang ada di pikirkannya, betapa dia ingin mengacaukan lemari pakaian Ezra sehingga adiknya akan menangis dan merengek, meminta untuk kembali saja ke kamar orang tua mereka, atau ditempatkan di salah satu kamar tamu di rumah mereka.
Tapi otak Venus rupanya cukup cerdas. Dia tak mau bertindak mencolok macam itu. Alhasil, dia hanya dapat menggerutu di sudut kamarnya, menanti kedatangan Ezra ke kamar dengan wajah masam.
“H-hai..., kak Ve..,” sapaan takut-takut dari Ezra yang berdiri di ambang pintu kamar sengaja diabaikan oleh Venus kala itu. Padahal, tampak jelas betapa Ezra yang kala itu menggendong sendiri boneka panda yang besarnya hampir sama dengan badannya sendiri sehingga membuatnya susah payah menggeser kepala si boneka panda supaya wajahnya sendiri terlihat oleh sang Kakak. Venus menatap sang Adik dengan tatapan penuh kebencian.
“Araaaaa! Oh, kamu sudah ke kamar barumu sendiri ya! Tunggu Mama, ya sebentar Mama susul. Venus sayang, ajak Adiknya main dulu ya. Sebentar Mama bawakan cookies kesenangan kalian,” seru sang Mama dari luar kamar, membuat Venus tergeragap.
Saat itulah, sebuah gagasan mendadak hinggap di kepala Venus. Gagasan yang memancing senyumnya sendiri dan membuat hatinya terhibur. Dia menyadari bahwa kehadiran Ezra di ruangan yang sama merupakan keberuntungan baginya. Sebab, dia bisa mengusili sang Adik tanpa diketahui orang lain. Karenanya, ia segera bangkit dari duduknya dan menyongsong sang Adik. Digandengnya Ezra ke dalam kamar dan balas berseru, “Iya, Ma!”
Begitulah. Tidak sekali dua kali, Venus menyembunyikan atau dengan sengaja merusak mainan milik Ezra. Dan ketika dia melihat Ezra asyik dengan mainan barunya, Venus tergoda untuk mengambilnya meskipun sebenarnya dia sama sekali tidak menyukai mainan itu. Venus senang saja, lantaran Ezra yang lebih kecil darinya pasti akan kalah kalau berebut mainan dengannya. Ujung-ujungnya, Ezra pasti menangis.
Lalu tiba saatnya ketika Ezra mulai lelah dijahili sang Kakak dan mengatakan akan menceritakan apa yang Venus lakukan padanya, kepada Orang tua mereka.
Kalau sudah begitu, biasanya Venus ketakutan. Kemudian, Venus langsung membujuk adiknya dengan membagikan makanan ringan atau buku bergambar. Sesekali, Venus juga mengajak Ezra menonton bersama acara anak-anak yang dipasang Mama mereka di tabletnya. Venus tidak akan ragu untuk membisikkan kepada Ezra betapa Venus mencintainya.
"Satu hal yang harus kamu ingat, Ara! Jangan terlalu mencari perhatian di rumah ini, oke? Itu sama sekali nggak bagus. Kamu itu Adik perempuanku, jadi kamu harus mendengarkan setiap kata yang aku ucapkan. Jangan pernah membantahku, ya? Aku itu lebih tahu dari kamu.” Itulah selalu dia tanamkan pada Ezra kecil, hari demi hari. Tampaknya Venus sangat ingin adik perempuannya mematuhi apa pun yang dia katakan.
"Janji ya, Ara? Satu hal lagi, jangan cengeng ya? Sekarang, yuk kita warnai foto ini bersama-sama! Atau, mau main lego baru dengan aku? Ayo aku kasih tahu cara mainnya," Venus melanjutkan aksinya membujuk sang Adik dengan pelan kemudian. Itu dilakukannya lantaran dia menemukan raut keraguan yang bercampur dengan ketakutan di mata Ezra. Tak hendak menyangkal, dia merasa kasihan juga.

Pada saat berikutnya, Venus tersenyum puas, ketika dia melihat Ezra mengangguk bahkan tanpa mengatakan apapun kepadanya.
Bagi seorang Venus, itu cukup sebagai pertanda bahwa Adik perempuannya mematuhinya.
Untuk sementara, rasa tidak aman yang dimiliki Venus sejak kelahiran adik perempuannya memudar. Dia mengira Ezra benar-benar ada di bawah kendalinya.

Download APP, continue reading

Chapters

84