Bab 6 Distraksi Yang Sulit Diabaikan (1)

by Lucy Liestiyo 13:15,Jan 16,2021
Untung saja akal sehat Ezra memperingatkannya untuk tidak merusak suasana indah saat ini. Perkataan Venus terngiang di telinganya, “Ingat, di saat kita sudah memantapkan hati pada seorang Laki-laki, nggak seketika semua urusan berjalan lancar jaya, mulus manis bak jalan bebas hambatan. Hal-hal remeh, salah ucap sedikit saja kadang bisa menjadi penyulut keributan besar. Makanya, jaga itu sikap dan ucapan. Jangan nyeletuk di saat yang nggak tepat, apapun alasannya. Perasaan yang sensitif itu bahaya banget, bisa merusak momen. Bisa memercik pertengkaran nggak penting.”
Mungkin ada benarnya juga omongan dia yang selalu terkesan menggurui itu. Dan heh..., jangan-jangan dia bisa ngomong begitu berdasarkan pengalaman pribadi dia tuh! Tapi nggak ada salahnya kuterapkan saat ini. Sayang juga, kalau aura damai di resor ini terusik sama perdebatan yang nggak penting, pikir Ezra akhirnya.
Ezra memang paham ke mana arah pembicaraan Elbi. Melalui ekor matanya, Gadis itu melihat mata Elbi yang seolah-olah sedang tertuju ke arah sampan yang tengah didayung amat pelan oleh sepasang calon pengantin lain yang sedang melakukan pemotretan juga. Entah mengapa, Ezra menduga bahwa pikiran Elbi bukan terpusat ke obyek tersebut, melainkan tengah mengembara ke suatu masa.
Karenanya pikiran Ezra pun melayang ke waktu yang dimaksud oleh Elbi dalam kalimat menggantungnya tadi. Masa di mana dia memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Kala itu bahkan sebagian besar klien baru datang ke kantornya karena mereka mendengar totalitas tim yang dimilikinya dalam menyukseskan event.
Kebanyakan dari mereka yang datang ke kantornya tertarik karena review dan komentar positif yang dibaca dari website perusahaan Ezra. Terlepas dari kenyataan bahwa enam puluh persen dari job order yang dia ambil saat itu belum memiliki potensi untuk order rutin, Ezra tetap berkomitmen untuk memberikan yang terbaik, memperlakukan semua kliennya dan juga acara mereka seistimewa dan sesempurna mungkin. Ezra merasa bahwa dia perlu mempekerjakan sekelompok kru paruh waktu, demi memastikan bahwa semuanya dilakukan sesuai dengan jadwal dan permintaan klien tertentu. Ia tidak segan-segan memberikan banyak bonus kepada timnya, yang tentunya sepadan dengan kerja keras, tenaga, waktu dan ide yang telah dicurahkan dengan sebaik-baiknya, tanpa meninggalkan sedikitpun potensi kekurangan.
Maka kronologi peristiwa yang disebutkan Elbi itu seolah tengah terjadi...
Tepat di puncak kesibukannya, terjadi hal lain yang dianggap Ezra sebagai sesuatu yang terbilang mendesak. Sesuatu yang dia dengar secara singkat dari percakapan telepon antara Pak Aswin, Ayahnya dan Pak Wira, Ayah Elbi, ketika dirinya bertandang ke kantor sang Ayah.
Ezra sudah mendekati ruangan kerja Pak Aswin dan ingin segera masuk. Namun langkahnya surut demi melihat ekspresi wajah sang Ayah yang sedang memegang gagang telepon di meja kerjanya. Sepertinya Pak Aswin tengah mendengarkan dengan seksama penuturan Pak Wira, sampai dia luput memperhatikan bahwa Ezra sudah dekat sekali dengan ambang pintu ruangan kerjanya yang luas.
"Begini saja, Wir. Aku akan segera menghubungi Ara. Terlepas dari apa yang sudah terjadi antara dia sama Elbi, aku masih yakin sepenuhnya bahwa dia akan membantu kalian untuk mencari solusi," kata Pak Aswin dengan mantap.
Sementara itu, Ezra yang mendengar sang Ayah menyebutkan namanya dan juga nama Elbi secara berurutan, terkejut sekaligus menjadi penasaran. Dia memutuskan untuk mendengarkan secara cermat, seolah-olah pantang untuk melewatkan satu kata pun yang akan diucapkan Pak Aswin.
“Ara itu sangat profesional, Wir. Aku bisa jamin itu. Susah buat dibantah, dia itu Anak Gadisku yang terfavorit. Aku kenal sekali sama perangainya. Sudah begitu, kita berdua ini adalah sahabat baik. Itu point pentingnya,” ucap Pak Aswin lalu menghela napas panjang seolah akan mengatakan sesuatu hal yang benar-benar berat. Ezra benar-benar memasang telinga untuk mendengar kelanjutannya.
“Mana mungkin aku sanggup berdiam diri dan membiarkan bisnis milikmu, yang aku tahu banget sejarahnya, jadi mundur karena kelakuan orang yang nggak bertanggung jawab yang lalu ditimpali sama banyak orang lain, kan? Nggak Wir! Nggak akan pernah! Itu bisnis pertamamu, yang benar-benar kamu mulai dari nol, kan? Ya, Wira. Nggak usah ragu. Mengenai rencana kalian untuk memproses kasus ini secara hukum, sekiranya sudah nggak ada jalan buat menyelesaikannya secara kekeluargaan, terserah kalian, ke depannya. Aku akan mencari waktu nanti untuk membahas masalah ini sama Ara. Aku berharap, dengan pengalaman yang dia miliki, dia bisa memberikan ide yang tepat, guna menetralisir berita bohong yang sudah telanjur marak dan sepertinya nggak pernah terlupakan ini. Padahal kalau dihitung-hitung.., ini sudah lebih dari tiga bulan, kan ya?" kata Pak Aswin melalui kalimat-kalimat panjangnya di telepon.
Nada penyesalan tersirat dalam suaranya Pak Aswin. Tentu saja Ezra bisa merasakannya. Hal itu membuat Ezra menarik napas dalam-dalam. Seolah dia tengah bersiap mendengar sesuatu yang tidak menyenangkan. Tangannya sudah terangkat, siap untuk mengetuk daun pintu yang sebenarnya terbuka itu. Sang Ayah memang tidak terlampau sering menutup pintu ruangan kerjanya.
Lama berselang, tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulut Pak Aswin.
Ezra memperkirakan itu pastinya saat dimana Pak Wira yang tengah berbicara di telepon. Karenanya, Dia membatalkan niatnya untuk mengetuk pintu ruangan kerja Sang Ayah. Dia tidak ingin mengganggu mereka berdua dengan menjeda percakapan telepon yang tengah berlangsung. Ezra memutuskan untuk tetap menunggu di luar ruangan Pak Aswin. Hati Ezra mencelos kala mendapati Sang Ayah mengurut keningnya, seperti Seseorang yang berbeban berat.
"Huh...! Baru sekadar membayangkan betapa sulitnya situasi Om Wira saat ini saja, rasanya otakku sudah langsung kena imbas. Ikut penat. Apalagi Papa,” gumam Ezra dengan sangat pelan, hampir seperti berbisik.
Dengan gerakan super pelan yang dipastikannya tak akan menimbulkan bunyi, Ezra menyandarkan punggungnya ke kusen pintu. Matanya terpejam saat dia menggelengkan kepalanya, menyesali apa yang telah terjadi.
Tidak perlu bertanya, Ezra sudah bisa menebak seberapa besar kesulitan yang dihadapi Pak Wira saat ini. Kemudahan memperoleh informasi di era digital sekarang memang ibarat pisau bermata dua. Salah satunya adalah kabar bohong yang menyebutkan bahwa ayam yang disajikan di salah satu gerai ‘W&E Ayam Goreng Nikmaaat’ milik keluarga Pak Wira merupakan ayam yang sudah tidak layak lagi dikonsumsi itu sudah menjadi berita yang viral. Secara gamblang, sang Pembuat Onar menyebutkan kecurigaannya bahwa ayam yang digunakan adalah 'Ayam Tiren' alias Ayam yang sudah mati kemarin.
“Nggak perlu mencicipinya sedikit pun, cukup dengan melihat tampilannya saja sudah kelihatan banget Gaeees! Ini resto gila banget tahu nggak? Keterlaluan! Mau dapat untung banyak sampai mempertaruhkan kesehatan para konsumennya. Parah! Nggak direkomendasikan deh! Ini nilainya 0 per seratus! Kalau perlu sih, ramai-ramai kita laporkan ke pihak berwenang supaya ditindaklanjuti deh, biar restonya ditutup, terus pemiliknya dihukum seberat-beratnya. Huh! Itu juga belum cukup, kasih sanksi sosial juga, dimiskinkan. Sita semua harta benda yang mereka raup dari hal nggak benar! Ini sudah menjurus ke arah kriminal. Bisa jadi lebih jahat tahu, dari tindak korupsi!” itu baru sedikit penggalan kalimat yang dituliskan pada kolase foto yang bukannya menampilkan gambar hidangan, malainkan bangunan salah satu cabang resto ‘W&E Ayam Goreng Nikmaaat’, alamat lengkap yang tertera pada bangunan yang digunakan, tampilan luar maupun tampilan dalam resto tersebut, hingga daftar menunya yang sengaja dilingkari pada berbagai varian menu ayam goreng.

Download APP, continue reading

Chapters

84