Bab 17 Tanda Tanya
by Lucy Liestiyo
13:36,Jan 16,2021
"Ara, serius deh! Pesta ultahnya Sam tadi tuh, bagus sekali. Keren! Sam terlihat senang sekali," puji Frans sambil memandang Venus. Alisnya terangkat dua atau tiga kali, mengundang reaksi sang Istri.
Venus mengangguk setuju dan berkata spontan, "Enggak pernah meragukan hasil kerja Ara kok. Nah, Ra, nanti kalau Anakku berulang tahun, pastikan kamu punya konsep yang jauh lebih bagus untuknya, oke? Kamu sudah bisa renanakan tuh dari sekarang."
Bu Meta dan Pak Aswin saling pandang sejenak lalu tertawa bersama mendengar kata-kata Venus. Lalu mereka serentak berkata, "Venus! Venus! Ada-ada saja! Anakmu belum juga lahir, tapi sudah mau diulang tahuni. Sudah suruh Ara mikirin konsep segala!"
Tawa nyaring pecah di ruang keluarga yang luas, nyaman dan hangat itu. Namun Venus tampak tak terusik. Dia tenang-tenang saja. Seolah-olah, tidak ada yang keliru dalam ucapannya.
“Hai Ara, bisa dipastikan Venus bakal menjadi klienmu yang paling cerewet nantinya. Kemungkinan besar, konsep perayaannya akan selalu berubah sampai last minute. Makanya, sebagai antisipasi, kamu harus meminta bayaran yang lebih tinggi untuk pekerjaan itu, Ara! Minimal tiga setengah kali lipat dari harga normal,” gurau Arya, tidak peduli wajah Venus yang langsung cemberut.
Ezra mengerling sesaat pada Venus, lalu tersenyum geli.
“Tapi ngomong-ngomong, Ra, Papa, Mama, Susan dan aku juga suka kok sama konsep pesta ultah Sam yang tadi itu. Idenya terlihat simpel, ultah anak di rumah, tapi sebagus dan sekeren itu. Ternyata kamu tuh nggak sebatas berhasil menangani berbagai event perusahaan yang serius ya. Ara, Ara, benar-benar yang the best deh, kalau soal ini,” imbuh Arya kemudian.
"Ah, kak Arya! Tulus nggak tuh ngomongnya? Ah, terserah lah! Nggak penting sih tulus atau nggaknya. Nggak ada bedanya buatku,” ucap Ara sambil mengibaskan tangannya secara ekspresif.
Arya tertawa menanggapinya.
Ezra menyeringai ketika dia mendengar Arya tertawa, seolah dia baru saja mendapatkan pemikiran yang cemerlang di kepalanya.
“Pokoknya ya Kak Arya, aku mau meminta tip dong. Tapi aku nggak mau tipnya itu berupa uang atau barang. Nih, dengar, aku punya ide yang lebih mantap dan lebih efektif. Yang terpenting, ini juga bermanfaat. Untuk kita,” Ezra terkekeh ketika menggerakkan tangannya, menunjuk dirinya serta Arya.
“Boleh. Siapa takut? Mau tipnya berupa apa, Ra?” tanya Arya dengan ringan.
Ezra mengangguk-angguk puas.
“Begini Kak Arya. Akan lebih baik kalau Kak Arya membantu aku dengan cara mempromosikan perusahaan Event organizer-ku kepada semua mitra, vendor, pelanggan dan juga teman-teman kak Arya. Jadi bukan sebatas perusahaan Kak Arya sama bebrapa teman dekat Kak Arya saja yang menggunakan layanan Event Organizer-ku. So, gimana Kak? Ide bagus, bukan? Bisa banget dong...?” tanya Ezra, setengah menggoda. Senyuman lebar terlihat di bibirnyaang ranum.
Arya tersenyum. Ia menjawab ringan sambil mengacungkan ibu jarinya ditambah dengan kata-kata, "Gampang. Bisa diatur itu. Sangat setuju."
Pak Aswin dan Bu Meta tersenyum penuh syukur menyaksikan keakraban ketiga anak mereka yang sudah dewasa itu. Rasa bangga terselip di sabubari mereka.
“Nah, sekarang sini, Ra! Duduk di sini!" Arya meraih lengan adiknya, menunjuk ke tempat kosong di sofa setengah lingkaran tempatnya duduk.
Tanpa sedikit pun curiga, Ezra mengempaskan pantatnya, duduk di samping Arya. Mereka mengobrol ringan sejenak. Ezra merasa agak terusik saat melihat Susan dan Iroh , Asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Arya, kembali ke ruang keluarga. Kedua Wanita itu membawakan minuman satu teko hangat, puding buah, keripik dan stik keju.
Ezra memperhatikan, setelah meletakkan semuanya di atas meja, Iroh meminta diri. Dahi Ezra mengerutkan kening. Hatinya berbisik, bakal ada percakapan penting kalau sudah ada tambahan sajian makanan begini.
Melihat jam tangannya yang sekarang menunjukkan pukul sembilan lebih malam pada waktu itu, Ezra agak terkejut. Semula dia telah merencanakan bahwa pada pukul setengah sepuluh malam, dia sudah berada dalam perjalanan untuk membawa orang tuanya ke kediaman mereka. Dari sana, barulah Ezra dapat segera bertolak menuju ke apartemennya miliknya sendiri dimana dia tinggal.
Namun, demi mencermati bahasa tubuh keluarganya yang terlihat masih santai, Ezra mempunyai firasat bahwa pembicaraan yang akan berlangsung malam ini akan berlangsung lama atau bahkan sangat lama. Apalagi, saat Ezra melihat Venus yang rumahnya lebih jauh ketimbang rumah orang tuanya, tampak masih duduk dengan tenang dan santai. Sangat kontrak dengan sikap orang yang terdesak waktu.
Gadis belia ini bertanya-tanya sambil menunggu apa yang akan dibicarakan oleh keluarganya.
Kelihatannya sangat serius, pikir Ezra sendirian. Dan tentunya, jauh di lubuk hatinya, Ezra sangat berharap semuanya akan baik-baik saja. Dia benar-benar tidak ingin mendengar tentang masalah apa pun yang terkait dengan keluarganya dan akan diungkap malam ini. Entahkah yang berkatian dengan perkembangan bisnis Pak Aswin, kegiatan sosial Bu Meta, atau apapun itu.
Rupanya Ezra tidak butuh waktu lama untuk menebak dalam diam. Sebuah berita, tepatnya berita buruk, ditujukan langsung padanya.
Setelah mengawali dengan beberapa kalimat pengantar yang lebih pantas disebut sekadar pemanis, Ibunya menatap parasnya lekat-lekat dan melontarkan kalimat retoris, "Ara sayang! Kamu masih ingat hubungan erat antara keluarga kita dan keluarga Om Wira, kan?"
Dengan semua prasangka yang tiba-tiba terlintas di benaknya, Ezra hanya sanggup mengangguk kecil menanggapi pertanyaan retorik Sang Mama.
Walau sadar untuk tidak membuang waktu secara sia-sia, Bu Meta toh masih memerlukan semacam jembatan untuk sampai ke titik utama, alias inti pembicaraan. Maunya sih segera menyatakan apa yang menjadi topik pembicaraan mereka malam ini. Karenanya, dia pasang strategi, sengaja menggali masa lalu. Dalam hal ini, tentang seberapa dekat persahabatan antara Pak Wira dan Pak Aswin sejak mereka berdua masih muda.
Sikap Bu Meta yang demikian membuat Ezra semakin merasa penasaran dan nyaris terdistraksi. Dalam hati, ia terus bertanya-tanya kemana arah pembicaraan itu. Sayangnya, dia belum mendapatkan ‘clue’ sama sekali.
Dalam situasi seperti itu, yang bisa dilakukan Ezra hanyalah mengerutkan kening dan berusaha keras untuk tidak menunjukkan seberapa keras dia berpikir sambil menebak lebih jauh, kepada semua yang ada di sekitarnya.
“Om Wira sama Papa kan dulu tinggal di satu tempat kost yang sama, sewaktu mereka kuliah di Jogjakarta. Mama juga yakin bahwa kamu juga ingat, betapa antusiasnya mereka berdua, ketika mereka bertemu kembali pada reuni angkatan sekitar tujuh belas tahun yang lalu? Ya kan Ra? Bisa dibilang semenjak reuni itu, Papa dan Om Wira mendapatkan kesempatan bersilaturahmi lagi. Jadi keep contact sampai sekarang deh. Selain itu, almarhum Mama sama Tante Yola ternyata malah bisa jadi sahabat dekat juga,” imbuh Bu Meta.
Sesaat tatapannya menerawang teringat bagaimana seringnya keluarga mereka saling mengunjungi. Terutama setelah Pak Wira pindah ke kota yang sama dengan mereka. Ezra mengangguk sedikit mendengar uraian Bu Meta.
"Ara ingat kok, Ma. Dan Ara paham sekali. Sampai sekarang Ara masih sering menyesal..., soalnya nggak bisa melawat dan memberikan penghormatan terakhir saat Tante Yola meninggal hampir tujuh bulan yang lalu. Soalnya kan waktu itu.., Ara sedang mengurus acara di luar kota dan nggak bisa segera balik ke Jakarta. Selain nggak bisa mendapatkan tiket pulang secepat itu, acaranya sendiri itu melibatkan klien besar dengan tingkat perfeksionisme yang tinggi. Sulit buat Ara untuk mempercayakan sepenuhnya ke tim Ara. Mama tahu kan, saat itu kami benar-benar pendatang batu yang sedang mencari pasar,” jelas Ezra.
Lantas pikirannya meraba-raba, apa gerangan yang diinginkan orang tuanya dengan menyinggung tentang keluarga Pak Wira segala dalam percakapan yang melibatkan seluruh anggota keluarga begini. Sekilas pikiran buruk tak terhindarkan olehnya.
Ada apa ini? Apakah terjadi sesuatu kepada Om Wira dan itu melibatkan Papa? Om Wira bermitra dengan Papa? Sudah, atau baru mau bermitra, sehingga Papa membutuhkan pendapat kami sekarang? Kenapa sih? Om Wira butuh dana? Atau sebaliknya, Papa yang sedang butuh dana? Aduh! Kalau urusan persahabatan lalu disambung dengan kerja sama, terus terang aku kurang setuju. Kalau ada kles ke depannya bakalan ribet, pikir Ezra cemas.
Venus mengangguk setuju dan berkata spontan, "Enggak pernah meragukan hasil kerja Ara kok. Nah, Ra, nanti kalau Anakku berulang tahun, pastikan kamu punya konsep yang jauh lebih bagus untuknya, oke? Kamu sudah bisa renanakan tuh dari sekarang."
Bu Meta dan Pak Aswin saling pandang sejenak lalu tertawa bersama mendengar kata-kata Venus. Lalu mereka serentak berkata, "Venus! Venus! Ada-ada saja! Anakmu belum juga lahir, tapi sudah mau diulang tahuni. Sudah suruh Ara mikirin konsep segala!"
Tawa nyaring pecah di ruang keluarga yang luas, nyaman dan hangat itu. Namun Venus tampak tak terusik. Dia tenang-tenang saja. Seolah-olah, tidak ada yang keliru dalam ucapannya.
“Hai Ara, bisa dipastikan Venus bakal menjadi klienmu yang paling cerewet nantinya. Kemungkinan besar, konsep perayaannya akan selalu berubah sampai last minute. Makanya, sebagai antisipasi, kamu harus meminta bayaran yang lebih tinggi untuk pekerjaan itu, Ara! Minimal tiga setengah kali lipat dari harga normal,” gurau Arya, tidak peduli wajah Venus yang langsung cemberut.
Ezra mengerling sesaat pada Venus, lalu tersenyum geli.
“Tapi ngomong-ngomong, Ra, Papa, Mama, Susan dan aku juga suka kok sama konsep pesta ultah Sam yang tadi itu. Idenya terlihat simpel, ultah anak di rumah, tapi sebagus dan sekeren itu. Ternyata kamu tuh nggak sebatas berhasil menangani berbagai event perusahaan yang serius ya. Ara, Ara, benar-benar yang the best deh, kalau soal ini,” imbuh Arya kemudian.
"Ah, kak Arya! Tulus nggak tuh ngomongnya? Ah, terserah lah! Nggak penting sih tulus atau nggaknya. Nggak ada bedanya buatku,” ucap Ara sambil mengibaskan tangannya secara ekspresif.
Arya tertawa menanggapinya.
Ezra menyeringai ketika dia mendengar Arya tertawa, seolah dia baru saja mendapatkan pemikiran yang cemerlang di kepalanya.
“Pokoknya ya Kak Arya, aku mau meminta tip dong. Tapi aku nggak mau tipnya itu berupa uang atau barang. Nih, dengar, aku punya ide yang lebih mantap dan lebih efektif. Yang terpenting, ini juga bermanfaat. Untuk kita,” Ezra terkekeh ketika menggerakkan tangannya, menunjuk dirinya serta Arya.
“Boleh. Siapa takut? Mau tipnya berupa apa, Ra?” tanya Arya dengan ringan.
Ezra mengangguk-angguk puas.
“Begini Kak Arya. Akan lebih baik kalau Kak Arya membantu aku dengan cara mempromosikan perusahaan Event organizer-ku kepada semua mitra, vendor, pelanggan dan juga teman-teman kak Arya. Jadi bukan sebatas perusahaan Kak Arya sama bebrapa teman dekat Kak Arya saja yang menggunakan layanan Event Organizer-ku. So, gimana Kak? Ide bagus, bukan? Bisa banget dong...?” tanya Ezra, setengah menggoda. Senyuman lebar terlihat di bibirnyaang ranum.
Arya tersenyum. Ia menjawab ringan sambil mengacungkan ibu jarinya ditambah dengan kata-kata, "Gampang. Bisa diatur itu. Sangat setuju."
Pak Aswin dan Bu Meta tersenyum penuh syukur menyaksikan keakraban ketiga anak mereka yang sudah dewasa itu. Rasa bangga terselip di sabubari mereka.
“Nah, sekarang sini, Ra! Duduk di sini!" Arya meraih lengan adiknya, menunjuk ke tempat kosong di sofa setengah lingkaran tempatnya duduk.
Tanpa sedikit pun curiga, Ezra mengempaskan pantatnya, duduk di samping Arya. Mereka mengobrol ringan sejenak. Ezra merasa agak terusik saat melihat Susan dan Iroh , Asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Arya, kembali ke ruang keluarga. Kedua Wanita itu membawakan minuman satu teko hangat, puding buah, keripik dan stik keju.
Ezra memperhatikan, setelah meletakkan semuanya di atas meja, Iroh meminta diri. Dahi Ezra mengerutkan kening. Hatinya berbisik, bakal ada percakapan penting kalau sudah ada tambahan sajian makanan begini.
Melihat jam tangannya yang sekarang menunjukkan pukul sembilan lebih malam pada waktu itu, Ezra agak terkejut. Semula dia telah merencanakan bahwa pada pukul setengah sepuluh malam, dia sudah berada dalam perjalanan untuk membawa orang tuanya ke kediaman mereka. Dari sana, barulah Ezra dapat segera bertolak menuju ke apartemennya miliknya sendiri dimana dia tinggal.
Namun, demi mencermati bahasa tubuh keluarganya yang terlihat masih santai, Ezra mempunyai firasat bahwa pembicaraan yang akan berlangsung malam ini akan berlangsung lama atau bahkan sangat lama. Apalagi, saat Ezra melihat Venus yang rumahnya lebih jauh ketimbang rumah orang tuanya, tampak masih duduk dengan tenang dan santai. Sangat kontrak dengan sikap orang yang terdesak waktu.
Gadis belia ini bertanya-tanya sambil menunggu apa yang akan dibicarakan oleh keluarganya.
Kelihatannya sangat serius, pikir Ezra sendirian. Dan tentunya, jauh di lubuk hatinya, Ezra sangat berharap semuanya akan baik-baik saja. Dia benar-benar tidak ingin mendengar tentang masalah apa pun yang terkait dengan keluarganya dan akan diungkap malam ini. Entahkah yang berkatian dengan perkembangan bisnis Pak Aswin, kegiatan sosial Bu Meta, atau apapun itu.
Rupanya Ezra tidak butuh waktu lama untuk menebak dalam diam. Sebuah berita, tepatnya berita buruk, ditujukan langsung padanya.
Setelah mengawali dengan beberapa kalimat pengantar yang lebih pantas disebut sekadar pemanis, Ibunya menatap parasnya lekat-lekat dan melontarkan kalimat retoris, "Ara sayang! Kamu masih ingat hubungan erat antara keluarga kita dan keluarga Om Wira, kan?"
Dengan semua prasangka yang tiba-tiba terlintas di benaknya, Ezra hanya sanggup mengangguk kecil menanggapi pertanyaan retorik Sang Mama.
Walau sadar untuk tidak membuang waktu secara sia-sia, Bu Meta toh masih memerlukan semacam jembatan untuk sampai ke titik utama, alias inti pembicaraan. Maunya sih segera menyatakan apa yang menjadi topik pembicaraan mereka malam ini. Karenanya, dia pasang strategi, sengaja menggali masa lalu. Dalam hal ini, tentang seberapa dekat persahabatan antara Pak Wira dan Pak Aswin sejak mereka berdua masih muda.
Sikap Bu Meta yang demikian membuat Ezra semakin merasa penasaran dan nyaris terdistraksi. Dalam hati, ia terus bertanya-tanya kemana arah pembicaraan itu. Sayangnya, dia belum mendapatkan ‘clue’ sama sekali.
Dalam situasi seperti itu, yang bisa dilakukan Ezra hanyalah mengerutkan kening dan berusaha keras untuk tidak menunjukkan seberapa keras dia berpikir sambil menebak lebih jauh, kepada semua yang ada di sekitarnya.
“Om Wira sama Papa kan dulu tinggal di satu tempat kost yang sama, sewaktu mereka kuliah di Jogjakarta. Mama juga yakin bahwa kamu juga ingat, betapa antusiasnya mereka berdua, ketika mereka bertemu kembali pada reuni angkatan sekitar tujuh belas tahun yang lalu? Ya kan Ra? Bisa dibilang semenjak reuni itu, Papa dan Om Wira mendapatkan kesempatan bersilaturahmi lagi. Jadi keep contact sampai sekarang deh. Selain itu, almarhum Mama sama Tante Yola ternyata malah bisa jadi sahabat dekat juga,” imbuh Bu Meta.
Sesaat tatapannya menerawang teringat bagaimana seringnya keluarga mereka saling mengunjungi. Terutama setelah Pak Wira pindah ke kota yang sama dengan mereka. Ezra mengangguk sedikit mendengar uraian Bu Meta.
"Ara ingat kok, Ma. Dan Ara paham sekali. Sampai sekarang Ara masih sering menyesal..., soalnya nggak bisa melawat dan memberikan penghormatan terakhir saat Tante Yola meninggal hampir tujuh bulan yang lalu. Soalnya kan waktu itu.., Ara sedang mengurus acara di luar kota dan nggak bisa segera balik ke Jakarta. Selain nggak bisa mendapatkan tiket pulang secepat itu, acaranya sendiri itu melibatkan klien besar dengan tingkat perfeksionisme yang tinggi. Sulit buat Ara untuk mempercayakan sepenuhnya ke tim Ara. Mama tahu kan, saat itu kami benar-benar pendatang batu yang sedang mencari pasar,” jelas Ezra.
Lantas pikirannya meraba-raba, apa gerangan yang diinginkan orang tuanya dengan menyinggung tentang keluarga Pak Wira segala dalam percakapan yang melibatkan seluruh anggota keluarga begini. Sekilas pikiran buruk tak terhindarkan olehnya.
Ada apa ini? Apakah terjadi sesuatu kepada Om Wira dan itu melibatkan Papa? Om Wira bermitra dengan Papa? Sudah, atau baru mau bermitra, sehingga Papa membutuhkan pendapat kami sekarang? Kenapa sih? Om Wira butuh dana? Atau sebaliknya, Papa yang sedang butuh dana? Aduh! Kalau urusan persahabatan lalu disambung dengan kerja sama, terus terang aku kurang setuju. Kalau ada kles ke depannya bakalan ribet, pikir Ezra cemas.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved