Bab 12 Between Two Choices (2)

by Lucy Liestiyo 13:29,Jan 16,2021
Elbi, yang terus memperhatikan ekspresi Ezra, memahami sepenuhnya gejolak perasaan Ezra. Dia tahu betapa tak nyamannya hal itu. Empati yang muncul di benaknya, kompak dengan akal sehatnya untuk berusaha meminggirkan rasa cemburu yang menggoda.
Bukan saat yang tepat untuk sekarang, pikir Elbi. Dia terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa saat ini, tidak ada waktu atau ruang untuk perasaan yang disebut kecemburuan dan kecurigaan. Lebih dari itu, Elbi juga paham alangkah Ezra membutuhkan dukungannya.
"Ara, aku akan terus mendampingi kamu di sini, ya? Lagipula, Pino sudah berjasa menyelamatkan kita berdua. Kita, terutama aku, benar-benar berhutang budi sama dia," bisik Elbi lembut di telinga Ezra. Berkata begitu, dia meraih tangan Ezra, menyelipkan jarinya di antara jari gadis itu. Digenggamya erat tangan Ezra, tak mengatakan apa-apa lagi setelahnya.
Mau tak mau, hati Ezra bergetar. Dia dapat merasakan ketulusan dalam kalimat Elbi. Ketulusan yang membuat dirinya merasa kerdil dan tak sanggup menatap mata Elbi. Secuil rasa bersalah menyelinap di benak Ezra.
Ezra sungguh takut, jika mata mereka saling bertemu, maka Elbi langsung menemukan sesuatu yang akan melukai perasaannya. Dia takut apa yang ditemukan Elbi di matanya bukan hanya rasa bersalah terhadap Pino, melainkan juga secercah harapan, secercah cinta yang masih tersisa untuk Pino! Sekeping perasaan, yang telah dia tekan begitu lama, dia empaskan dan buang di dalam kemarahannya pada suatu masa dulu. Perasaan yang dianggapnya sepenuhnya telah pupus. Ya, setidaknya itu yang ia yakini selama ini, sampai dia dengan mantap menjawab lamaran Elbi. Namun kenyataan saat ini toh berkata lain. Perasaan itu ternyata masih keras kepala dan gigih, tak mau dibuang begitu saja dari hatinya. Lihat saja, sekarang rasa itu seolah memaksanya untuk mencuat dan menunjukkan eksistensinya. Bahkan membuat Ezra yang awalnya gigih memadamkannya akhirnya menyerah dan membiarkannya begitu saja.
Lalu, serpihan kecil perasaan itu tampak seperti sebuah ejekan kemenangan, karena bisa bertahan selama kurun waktu yang tidak singkat dalam keheningan, mendiami relung hati Ezra. Menetap dalam kegelapan disana, bersembunyi di sudut hati Gadis itu, sekian lamanya. Seperti Anak kecil yang patuh, dia diam, membisu, tidak menonjolkan diri. Tetapi jelas, ia tinggal di sana. Ia sunguh ada dan nyata. Ia terus mengamati dalam diam, menunggu dengan sabar, kemungkinan untuk kembali dan memamerkan keberadaannya. Bahkan mungkin pada saatnya, akan bersorak kegirangan dan tertawa penuh kemenangan.
Ezra tidak bisa berhenti berpikir, kenapa tiba-tiba perasaan itu muncul lagi, menunjukkan keberadaannya dengan begitu kuatnya kali ini? Meskipun dia berpikir, waktu yang telah berlalu, rahasia kelam Pino yang amat menyakiti hatinya, kebersamaannya dengan Elbi, kesungguhan hatinya dalam membuka lembaran baru, adalah kombinasi sempurna untuk menghapus jejak perasaannya terhadap Pria itu.
Ya ampun! Apa-apaan ini? keluh Ezra dalam hati.
Ezra sungguh terganggu. Dengan segenap hatinya, dia mencoba menghalau gangguan yang datang seenaknya ini. Sejatinya, dia tidak ingin melukai perasaan Elbi.
Ezra melihat sekeliling, ke wajah khawatir yang duduk di deretan bangku rumah sakit. Ada Ibu Iva, Ibunya Pino dan beberapa rekan kantornya di sana. Mereka tidak saling bercakap-cakap, tapi tampaknya masing-masing sibuk berdoa dalam hati. Ada satu Rekan kerja Pino yang tak henti menggenggam tangan Ibu Iva, bahasa tubuh memberikan dukungan. Ezra juga tahu, Rekan kerja Pino itu pula yang sedari tadi menghibur Ibu Iva dan tampak enggan bergeser barang sebentar saja dari Wanita paruh baya tersebut. Pada saat dirinya butuh untuk ke kamar kecil atau membelikan makanan dan minuman untuk Ibu Iva, dia lebih dulu memastikan ada Rekan lain yang menjaga Ibu Iva.
Sepertinya Rekan kerja Pino supportif semua. Syukurlah, batin Ezra sambil menghembuskan napasnya.
“Bi,” panggil Ezra pelan.
“Ya, Ra,” sahut Elbi cepat.
"Ayo kita pulang saja, Elbi. Kamu kan harus istirahat. Lihat, sudah banyak rekan kerja Pino di sini untuk menjaganya. Terus, ada Ibunya Pino juga," kata Ezra untuk menghormati perasaan Elbi.
Tapi Elbi justru terkejut mendengar perkataan Ezra. Dia menatap wajah Ezra dengan sangat hati-hati sebelum menanyai Gadis itu. Seolah-olah dia menimba ekspresi macam apa yang ada di paras Ezra.
"Hei Ara.., kamu yakin?” tanya Elbi lirih, yang segera diangguki Ezra.
Elbi memejam mata dan menggeleng.
“Jangan, ya! Setidaknya, lebih baik kita menunggu satu atau dua jam lagi. Kita berharap Pino segera tersadar dari pingsannya. Sambil aku telepon Pak Gogon supaya datang ke sini berdua Pak Didu. Jadi Pak Didu bisa menyetir untuk kita nanti," kata Elbi hati-hati, setelah beberapa detik berlalu dalam keheningan di antara mereka.
Ezra langsung menggoyangkan kepalanya dan mengibaskan tangannya.
"Enggak perlu, Elbi. Aku yang akan menyetir nanti,” sela Ezra secepat kilat.
Elbi tampak ragu-ragu mendengarnya.
“Kamu yang nyetir? Enggak boleh! Ara, ini sudah larut malam. Mana mungkin aku biarkan kamu mengendarai mobil selarut ini? Apa nggak sebaiknya kita mencari penginapan yang bagus di sekitar rumah sakit ini? Terus, besok pagi sebelum kembali ke Jakarta kan kita masih sempat mengecek keadaan Pino. Ini relatif lebih aman, Ra," kata Elbi kepada Ezra.
Ezra menggeleng perlahan, tanpa berani berlama-lama menautkan tatapan matanya dengan pandangan mata Elbi. Dia yakin, semakin lama dirinya berada di rumah sakit ini, semakin dia merasa bahwa jantungnya berdebar kencang dan sikapnya juga akan serba salah. Dan sungguh, dia benci akan hal-hal seperti ini.
"Sebaiknya kita pulang sekarang, Bi. Please,” pinta Ezra, membuat Elbi tak segera merespons. Ia terdiam lagi selama beberapa detik.
“Ara, tolong dengar aku! Menurutku lebih baik kita menunggu sebentar lagi. Kita berharap ada perkembangan yang baik, yang terbaik malahan. Dengan begitu kita jadi lebih lega dan nggak terlalu merasa bersalah,” bujuk Elbi dengan sabar.
Ezra tetap menghindari tatapan Elbi, lalu memejamkan matanya beberapa saat. Pikirannya terasa terlalu riuh dengan percakapan yang tidak diinginkannya, suara-suara yang saling bertentangan walau sebagian besar menyudutkannya.
Karenanya Ezra menggeleng pelan, lalu berbisik kepada Elbi, "Kita pulang sekarang juga, oke? Sekarang, sebaiknya kita berpamitan ke Bu Iva dan rekan Pino. Pasti mereka akan mengerti, percayalah. Lihat kondisimu sendiri, Bi."
Wajah Ezra semakin menunduk, sejalan dengan pikirannya yang ruwet. Dia sulit menampik, ada godaan untuk mengindahkan niat hatinya agar tinggal lebih lama di rumah sakit ini. Di sisi lain, melihat wajah Ezra yang muram, Elbi tak mau berdebat lagi. Dia membelai punggung Ezra dengan sangat lembut.
“Oke, Ara. Ayo kita temui mereka dan pamit sama mereka. Nah kita juga minta tolong ke mereka, biar mereka terus update ke kita tentang progress kondisinya Pino. Sambil ke depan nanti, aku bereskan sekalian semua administrasi dan tambah deposit saja, untuk berjaga-jaga kalau ada tindakan medis yang harus dilakukan ke Pino. Kalaupun semuanya pasti ditanggung sama kantornya Pino atau bahkan pihak asuransi, nggak masalah. Paling nggak, bisa sedikit mengurangi ketidaknyamanan kita. Aku sudah dikasih nomor telepon ibunya, Ara. Dengan menghubungi Beliau, aku bisa memantau perkembangannya,” kata Elbi akhirnya. Dia bangkit dari kursinya, dan segera disusul oleh Ezra.
“Terima kasih, Bi,” kata Ezra yang merasa kehilangan kata-kata. Dia merasa, sebagian beban di pundaknya terangkat saat ini.
Tidak! Dia benar-benar tidak ingin menyinggung perasaan siapapun, apalagi perasaan Elbi. Kalau saja dia bisa memilih, akan lebih baik jika dia satu-satunya yang terluka. Fisiknya, perasaannya.
Sementara dirinya berjalan di samping Ezra, Elbi setengah menyesal.
Kenapa harus Pino, yang ada di sana bersama kami sehingga masalahnya jadi rumit begini? Kenapa kami bertiga harus berada di tempat yang sama? Ya, andaipun memang kami harus di sana, kenapa harus dia yang menolong kami, bukan Orang lain? Berulang kali, Elbi menanyakan hal yang sama di dalam hatinya.
Elbi benar-benar ingin marah saat ini tetapi tidak tahu harus melampiaskan amarahnya kepada siapa.
Dan malangnya, jangankan memukul tembok rumah sakit untuk mengurangi kejengkelannya, bahkan sekadar menunjukkan perrasaan yang tengah berkecamuk dalam hatinya saat ini di hadapan Ezra pun begitu sulit baginya. Tidak, Elbi sungguh tak ingin membuat Gadis tercintanya merasa bersalah dan menyesali apa yang menimpa mereka.
Justru aku harus mendukung Ara saat ini, dengan bersikap seolah perasaanku baik-baik saja menghadapi semua ini. Aku harus kuat, tekad Elbi tanpa suara.
Terpikir oleh Elbi pikir bahwa apa yang dilakukan Pino sampai dia kemungkinan besar Cowok itu mengalami gegar otak, seolah-olah menegurnya, menegaskan betapa dia telah gagal melindungi Ezra. Dan sungguh, itu sangat sulit diterimanya.
Laki-laki macam apa yang gagal melindungi Wanita yang dicintainya? Sesal Elbi dalam diam, memarahi dirinya sendiri.

Download APP, continue reading

Chapters

84