Bab 9 Konflik kepentingan?

by Lucy Liestiyo 13:22,Jan 16,2021
"Siapa yang kamu maksud, Elbi? Sebutkan coba! Tim Pemasaranmu? Atau Konsultan luar yang pernah kamu tunjuk buat mengatasi persoalan yang merebak ini? Oh, come on Elbi! Sekarang jelaskan ke Ayah, apa yang sudah mereka lakukan sejauh ini? Haruskah Ayah yang menyebutkan untuk mengingatkanmu lagi, Elbi? Pada akhirnya, mereka hanya melakukan tweet war, perang statement, dan sejenisnya. Itu benar-benar pemborosan anggaran tanpa hasil yang bagus sama sekali. Energi kita terkuras, karena kita hanya sibuk mengklarifikasi berbagai tudingan netizen. Dimana letak produktifnya? Hah!” Pak Wira melontarkan kalimat pertanyaan restorik.
Pak Wira mengambil jeda sejenak pada kalimatnya. Ia meneguk habis minuman dari gelas besarnya terlebih dahulu. Mungkin, berbicara dalam kalimat yang panjang selagi membahas hal pelik dan menguras emosinya barusan membuat dirinya lekas merasa haus. Dan mungkin ia hanya ingin mendinginkan kepalanya sedikit demi sedikit.
Elbi belum mengatakan apa-apa. Dia tahu bahwa Sang Ayah belum selesai berbicara dengannya dan dia tidak ingin menambah kekecewaannya dengan menyela kalimat. Apa yang diprediksi Elbi sangatlah akurat.
Pak Wira menghela napas lalu menghembuskan napas perlahan, lantas kembali menatap tajam. Terlihat jelas bagaimana Pak Wira meneruskan argumennya.
“Elbi! Kita sudah menerapkan usulan mereka. Dari sistem potongan harga di hari dan jam tertentu, undian berhadiah, sampai berbagai promo lainnya, kan? Kita juga sudah mengadakan beberapa bakti sosial tambahan selain yang selama ini rutin kita lakukan. Terus katanya, mereka mau menggelar jumpa pers, tapi batal dan batal lagi. Nah! Sejauh ini belum ada perubahan berarti sama sekali. Kita bahkan dituding hanya melakukan pembelaan saja, dan secara tak langsung mengakui bahwa bahan makanan yang kita pakai memang tidak layak. Soal bakti sosial tambahan juga dicurigai sebagai pengalihan isu semata. Jadi bilang ke Ayah, saran siapa itu? Konsultan Pemasaran yang kamu pilih, kan? Masih mau menyangkal?” kecam Pak Wira penuh emosi.
Kemudian Pak Wira memelototi Anak satu-satunya itu.
Mulut Elbi yang siap terbuka kembali terkatup. Ia benar-benar merasa tertampar ucapan sang Ayah. Di dalam benaknya, dia membenarkan semua yang didengarnya barusan, tanpa niat untuk membela diri.
Mata Elbi memejam. Kekesalan yang hebat berdesakan di dadanya, begitu teringat dari mana semua masalah ini mencuat dan akhirnya bak bola salju, semakin membesar jua.
Segalanya bermula dari tingkah Anggi dan kekasihnya yang semula mungkin iseng-iseng. Mereka berdua sepertinya sekadar berniat menarik perhatiannya saja tanpa pikir panjang. Dari sanalah akhirnya kasus itu muncul. Tak lama kemudian kasuspun membesar, dan sepertinya akan terus mempengaruhi keberlangsungan bisnis kuliner milik keluarganya jika tidak diurus lebih serius dan sesegera mungkin diselesaikan dengan cara yang tepat.
Aku tahu betapa berartinya bisnis kuliner ini buat Ayah, meski ada sejumlah bidang usaha kami yang lain. Ini bisnis pertama Ayah. Makanya, berbeda dengan beberapa bisnis yang dipercayakan pengelolaannya ke Orang kepercayaan Ayah, di bisnis ini Ayah masih mau terlibat langsung sampai sekarang. Dan gara-gara berita bohong itu, segalanya berubah. Hingga saat ini saja, aku terpaksa menunda sebagian rencana buat meresmikan tiga cabang baru, selagi menunggu perkembangan yang lebih kondusif di masa mendatang, sesal Elbi dalam hati. Suka atau tidak suka, hati kecil Elbi terpaksa mengakui bahwa dia memiliki andil besar dalam terjadinya masalah rumit ini.
Secara tidak langsung, kesalahan yang dia lakukan karena tidak mendengarkan saran dan pendapat Pak Wira adalah akar permasalahan yang sebenarnya. Bahkan dari awal!
"Lalu apa yang harus aku lakukan, Yah?" akhirnya terucap juga kalimat ini dari celah bibir Elbi. Begitu pelan, mirip pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya sendiri.
Tampaknya Elbi semakin frustasi dengan situasi yang dia alami. Hal ini benar-benar menempatkannya dalam dilema besar. Di satu sisi, jauh di lubuk hatinya, dia tidak bisa sepenuhnya percaya akan hasil yang kelak mereka dapatkan dengan mengandalkan semuanya pada Ezra. Ya, dia masih meragukan itu. Tetapi di sisi lain, dia tahu dan dia menyadari bahwa saat ini dia tidak memiliki ide yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah yang menimpa usaha kuliner mereka. Persis seperti yang dia katakan, dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk membuatnya lebih baik.
Dan Sang Ayah mendengar apa yang dia katakan dengan jelas.
Pak Wira menghela nafas panjang, mengembuskan nafas setelah menahannya beberapa detik, lalu menatap lurus ke arah Elbi.
"Elbi, dengarkan Ayah! Ayah tahu apa yang ada di pikiranmu. Ayah benar-benar memahaminya. Ayah tahu bahwa kamu juga mempunyai perhatian besar untuk memecahkan masalah ini untuk kita, secepatnya,” kata Pak Wira.
“Oke, sebaiknya kita cari jalan tengah saja. Apa-apa yang menurutmu perlu kami sampaikan ke Ezra, bilang saja ke Ayah. Kamu nggak perlu berkomunikasi langsung dengan Ezra, karena itu bisa membuatnya mundur. Baiknya kamu lebih fokus ke urusan anggaran untuk penyelenggaraannya. Soal konsepnya, Ezra sudah merancangkannya buat kita. Kalau menurut kamu perlu ada tambahan atau perubahan, atau bahkan ada permintaan khusus, ya sampaikan ke Ayah, mana tahu masih bisa diterapkan dalam pelaksanaannya nanti. Camkan satu hal ini : Jangan ganggu Ezra! Biarkan dia fokus sepenuhnya pada pekerjaannya dan biarkan dia melakukannya dengan tenang sehingga bisa memberikan hasil kerja yang terbaik. Gampang, kan?" saran Pak Wira.
“Kamu mau bisnis ini selamat atau tinggal nama yang dikenang saja? Dikenang dengan kisah terakhir yang buruk?” imbuh Pak Wira dengan nada datar, seakan-akan, dirinya telah berada dalam situasi antara merelakan dan tetap memperjuangkan.
Elbi bagai tersengat lebah mendengarnya. Mana mungkin dirinya bisa bersikap nothing to loose seperti sang Ayah?
Nggak! Nggak akan! Bukan hanya mengecewakan Ayah, tapi aku sendiri juga bisa frustasi karenanya, pikir Elbi. Maka bak terkena pukulan yang telak, di titik ini Elbi tidak punya pilihan lain selain mengangguk setuju.
Walau nyatanya, dalam diamnya dia masih merasa ini tidak adil baginya. Kata-kata 'sibuk' yang dia dengar berulang kali, otomatis memunculkan dua hal yang saling bertentangan di benaknya. Pertama, ia sedang mengira-ngira, apakah Ezra masih dapat berfokus dan memberikan gagasan yang terbaik untuk pemulihan bisnis kulinernya dalam kepadatan pekerjaannya saat ini? Lantas yang kedua, meski enggan mengakuinya, kecemasannya mencuat bebas. Elbi bertanya-tanya dalam hati, apakah Ezra akan terus memprioritaskan kesehatannya, mengambil waktu istirahat yang cukup, dengan beban kerja tambahan yang tiba-tiba serta mendesak begini?
Bayangan wajah Ezra melintas di pikiran Elbi.
Aku sudah kenal banget perangainya. Hh, si Ara itu! Biarpun dia lagi di puncak kesibukannya, sudah barang tentu dia akan menangani sendiri event kali ini. Nggak mungkin dia berani ambil resiko dengan memercayakan begitu saja kepada timnya. Ya, benar. Dan sejujurnya..., aku nggak bisa menyangkal perasaanku. Nyatanya aku masih sayang dan peduli sama dia. Sangat, aku Elbi dalam hati.
*

Download APP, continue reading

Chapters

84