Bab 8 Distraksi Yang Sulit Diabaikan (3)

by Lucy Liestiyo 13:20,Jan 16,2021
Pak Aswin mencermati air muka Ezra, seakan mencari jawaban atas pertanyaannya di sana. Tak perlu waktu lama baginya untuk menerka-nerka sendiri, pasalnya Ezra telah mengangguk dengan tegas sebagai jawaban.
"Iya Pa. Syarat. Persis, itu yang Ara maksud. Ara mau membantu Om Wira dan mencoba menyelesaikan masalah mereka dengan bantuan yang mampu Ara lakukan. Tapi, ada satu hal yang perlu Ara pastikan dulu,” tandas Ezra.
Pak Aswin sampai menahan napas untuk mendengar kelanjutannya. Pantang menjeda.
“Begini Pa, selama dalam proses pencarian ide yang tepat untuk programnya hingga ke eksekusinya di lapangan pada hari ‘ha’, Ara nggak mau membicarakannya sama Elbi. Cukup sama Om Wira saja. Satu pintu. Papa bisa kan, menyampaikan apa yang Ara maksud ini ke Om Wira?” Ezra segera menyatakan persyaratan yang dia maksud secara gamblang.
Pak Aswin memejamkan mata barang dua detik. Sepertinya dia sedang berpikir dan tak mau buru-buru menyatakan ya atau tidak atas usulan Ezra. Namun pada akhirnya dia memilih untuk mengangguk setuju ketimbang menjemput kemungkinan Sang Anak akan membatalkan niatnya untuk membantu. Bagaimanapun, hatinya terasa lebih ringan sekarang, mendengar kesediaan Ezra untuk turun tangan menolong Sahabatnya.
Tangan Pak Aswin bergerak, membelai rambut Putri bungsunya dan berkata lembut, “Itu bagus sekali, Ra. Om Wira pasti sangat senang mendengarnya. Terima kasih banyak sebelumnya ya, Sayang. Hei, Papa sudah bilang ke kamu belum? I’m so proud of you, my beloved Daughter!”
“Deal, Pa! Tapi ngomong-ngomong soal bangga, Ara dong yang bangga, menjadi anaknya Papa,” balas Ezra seraya mengulurkan tangannya.
Sang Ayah menyambut uluran tangan itu, menjabatnya dan mengguncangnya perlahan, menyerupai yang dilakukan dua orang mitra bisnis setelah tercapai sebuah kesepakatan. Lantas, mereka berdua tertawa bersama.
Entah bagaimana caranya Pak Aswin menyampaikan persyaratan yang diajukan Ezra kepada sang Sahabat, Pak Wira. Yang jelas, Ezra mendapatkan apa yang diinginkannya, sesuai dengan apa yang ia bayangkan sebelumnya. Gadis itu dapat merencanakan konsep acara yang tepat dan mempersiapkan semua faktor pendukungnya setenang mungkin. Dengan tim pilihannya, ia sekaligus memulai beberapa kegiatan yang sesuai dan efektif guna memulihkan nama baik usaha kuliner ‘W&E Ayam Goreng Nikmaaat’ milik Bapak Wira dan Putranya, Elbi tanpa harus diganggu oleh eksistensi serta campur tangan dari Elbi.
Ezra tidak tahu saja, di balik semua "kelancaran" yang ia dapatkan, sebenarnya ada perdebatan panjang dan cukup sengit antara Elbi dan Ayahnya.
Wajar saja. Sebagai Owner yang menjalankan bisnis kulinernya, tidak berlebihan jika Elbi merasa tersinggung dan tak dihargai. Ia sangat keberatan dengan persyaratan dari Ezra yang dianggapnya sangat sepihak.
Menurut Elbi, dirinya amatlah berkepentingan dengan jaminan kesuksesan acara tersebut di samping dampak dari acara yang digagas oleh Ezra. Merasa diabaikan, Elbi nyaris hilang kontrol dan bertanya kepada Ayahnya apakah ada motif tersembunyi dari tindakan Ezra tersebut.
Masih mujur, yang terucap dari bibirnya baru sebatas ‘penilaian’ betapa tidak profesionalnya Ezra.
“Yah, menurutku, dia itu nggak bisa memilah-milah. Lihat saja, dia mencampur adukkan antara masalah pekerjaan dan urusan pribadi. Nggak pantas dia begitu,” tuduh Elbi.
Terdorong oleh egonya yang terluka karena dia merasa tidak dihargai oleh Ezra, kemudian Elbi bersikeras bahwa dia akan bertemu langsung dengan Ezra dan berbicara secara pribadi, jika saja peringatan keras dari Ayahnya tidak dipertimbangkan olehnya.
Pak Wira mengibaskan tangannya dan menatap tajam putra tunggalnya itu.
“Apa? Kamu mau nekad menemui Ezra? Jangan konyol, Elbi!” kecam Pak Wira.
“Ayah..., aku..!” ucapan Elbi terputus. Sang Ayah sudah mengisyaratkan agar dia membungkam mulutnya.
"Jangan bikin ribet lagi, Elbi! Jangan buat masalah ini jadi semakin rumit! Dengar, biar Ayah jelaskan ke kamu ya? Sekarang ini, Ezra sedang sangat sibuk mengurus banyak event dadakan dan yang jelas bukan event reguler. Nah, dalam kondisi macam itu, sudah sangat bagus kalau dia masih mau rela menyisihkan waktunya untuk membantu kita, tahu?” sentak pak Wira.
Elbi menahan napas mendengarnya.
“Ayah percaya, niat baiknya Ezra itu pasti sebagian karena dia memandang hubungan baik Ayah dengan Om Aswin, Papanya. Sampai di sini masih kurang jelas, hah? Lalu, kalau kamu tetap ngotot untuk menemui dia, bukannya malah berpotensi membuatnya mundur, membatalkan niat baiknya buat membantu kita? Pikir itu baik-baik sebelum mengucap apalagi bertindak ceroboh!" Pak Wira mengkritik Putra satu-satunya sembari mengetuk kepalanya sendiri dengan ujung jari.
Elbi mengeluh dalam hati, merasakan posisinya yang serba sulit.
“Tapi Yah, masalahnya…, aku nggak yakin apakah ide-ide yang akan dia terapkan dalam acara kita nanti bakalan sesuai dengan kebutuhan kita di sini. Itu sebabnya aku harus bertemu langsung dengannya dan mendiskusikannya secara terbuka supaya acaranya nggak berujung sia-sia. Ayah nggak mau kan, kalau nantinya kita menelan kekecewaan lagi?” betapapun dia tahu agak sulit melunakkan hati sang Ayah saat ini, Elbi masih saja mencoba membuat pengecualian.
Pak Wira menatap tajam ke wajah Putra tunggalnya, seolah-olah seseorang yang sedang menelisik secara cermat apa yang ada di kepala Elbi. Sesaat kemudian, bibir Pak Wira mendecak keras sambil menggelengkan kepala.
“Astaga! Elbi! Elbi! Untuk hal seperti ini, kamu mau meragukan Ezra? Kok bisa-bisanya sih! Oh, ayolah Elbi! Pemikiran konyol apa lagi sih yang ada di pikiranmu itu? Bilang ke Ayah! Logikanya di mana?” keluh Pak Wira disertai embusan napas yang lebih mirip sebuah dengkusan kesal. Pada saat yang sama Pak Wira melempar telapak tangannya ke atas. Tampaknya Pak Wira benar-benar berusaha menahan amarahnya atas pendapat Elbi yang dinilainya salah total. Wajahnya sudah mulai memerah menahan geram.
Elbi tidak bisa berkata-kata karenanya. Sejujurnya, dia takut tekanan darah Pak Wira akan melonjak kalau dia terang-terangan meladeni perdebatan ini.
Perubahan ekspresi Elbi rupanya dicermati oleh Pak Wira. Tersadar akan hal itu, dia melanjutkan apa yang ingin dia sampaikan. Tentu saja dengan nada suara yang lebih melembut dibandingkan sebelumnya.
“Elbi, sudahlah! Untuk sekali ini, jangan berdebat sama Ayah. Nggak ada gunanya selain buang-buang waktu kita berdua. Sebaliknya, kita bisa mengalihkan waktu dan tenaga kita buat mengurusi hal-hal lain yang lebih penting, guna menyelamatkan bisnis kuliner ini. Di saat berbarengan, sekaligus meningkatkan kualitas hidangan dan pelayanan di cabang-cabang yang belum terpengaruh sama berita bohong itu,” kalimat tegas Pak Wira setelahnya membuat Elbi semakin terdiam, walau tetap menyimpan rasa penasaran. Sebuah konflik mencuat di benaknya. Dan ia tak sanggup menahannya lebih lama lagi.
“Yah, Ayah! Ayah tahu sendiri kan, bahwa Ara tengah amat sibuk dengan semua acaranya sekarang. Ayah yang bilang tadi kan? Makanya, apa Ayah yakin kalau dia dia bisa melakukan yang terbaik untuk kita? Apa iya kita bisa mengandalkan dia? Oh! Tolong deh Yah! Dia bukan pilihan satu-satunya. Kita bisa kok, menyewa jasa orang lain untuk mengurusnya. Nggak harus meminta bantuannya juga. Tolong jangan tambah kesibukannya, Ayah,” walau dengan nada setengah memohon, terkesan alangkah Elbi masih berusaha menentang keputusan Ayahnya yang dinilainya tidak adil dan merugikan dirinya.
Siapa nyana, wajah Pak Wira tiba-tiba menegang kembali karenanya?

Download APP, continue reading

Chapters

84