Bab 1 TERKESIMA

by Chantie Lee 12:03,Dec 04,2020
“Sayang, main sebentar saja.” Sebuah tangan terjulur ke depan, mencegat seseorang berlalu dari hadapannya. Tangan yang begitu lincah merangkul di pinggang ramping Laura yang berniat beranjak dari ranjang empuknya.



Laura menoleh kepada si pemilik tangan yang tak lain adalah suaminya. Ekspresi wajahnya yang datar, sedatar perasaannya yang enggan untuk dijamah saat ini. “Billy... Please! Nanti kamu telat ngantor loh.” Ujar Laura menolak halus ajakan Billy yang ia pahami tak jauh dari modus bercinta.

Billy tak ambil pusing, genggaman tangannya semakin kencang dan menarik Laura hingga mau tak mau menjatuhkan diri lagi di atas ranjang. Tangan kekar Billy mendekapnya erat, bahkan mulai berkelana liar di atas lekuk tubuh wanitanya. Laura tak berdaya, hanya bisa berdiam diri dan mencoba menikmati apa yang diinginkan suaminya. Pria itu mencium lembut rambut pirang Laura yang telah tertata rapi, menghirup aroma tubuhnya yang begitu melenakan.

“Aku ingin kamu memberiku seorang anak, kamu sudah siap kan?” Bisik Billy lembut tepat di telinga Laura.

Permintaan yang membuat Laura jengah seketika, sebenarnya tidak berlebihan jika Billy memintanya. Mereka sudah terikat pernikahan dan lazimnya hubungan sah itu memang menghasilkan keturunan. Tetapi, Laura belum punya kesiapan hati untuk segera berbadan dua. Usia pernikahan mereka baru berjalan delapan bulan, Laura merasa masih ingin menikmati sebentar lagi masa kebebasannya sebelum berubah status menjadi ibu.

“Ng... aku belum bisa, Bil. Kita bicarakan itu lain kali ya.” Jawab Laura pelan.

Billy tidak merespon lagi, memilih menyimpan kekecewaan dalam hatinya saja. Desakan gairah yang sudah terpancing lebih mendesak untuk segera disalurkan. Billy mempererat pelukannya pada Laura dari belakang, tangannya kembali sibuk menyibak pakaian yang menghalangi penjelajahannya. Desahan nafas mulai terdengar dari bibir merah Laura, sebenarnya ia sudah berdandan cantik dan mengenakan pakaian seksi yang akan dikenakan untuk keluar rumah nanti. Tak disangka justru penampilannya mengundang perhatian ekstra dari suaminya.

Pria itu tak sabar lagi, waktu yang singkat mendesak mereka untuk bermain singkat namun bisa membawa mereka ke puncak kenikmatan. Tangan Billy pun menyingkap pakaian bawah istrinya, bersiap menyatukan diri untuk sesaat.

Dreeet... dreet....

Suara getaran ponsel yang digeletakkan di atas meja terdengar mengganggu. Laura yang belum sepenuhnya menikmati hubungan itupun teralihkan fokus seketika. Ia menatap wajah suaminya yang tengah merem melek menahan nikmat dan geli, tampak jelas hanya dia saja yang menikmatinya tanpa peduli apakah lawannya terpuaskan atau tidak.

“Ponselmu bunyi.” Lirih Laura mencoba menyadarkan suaminya.

Billy menoleh ke meja, melihat ponselnya yang bergerak karena getaran. “Biarkan saja, satu menit lagi tidak akan terlambat.” Jawabnya setengah niat.

Billy boleh saja cuek, namun Laura yang memang separuh hati melayani pria itu justru kian resah mendengar gangguan yang masih terus terdengar itu. Perhatiannya terbelah, terlebih hati Laura sudah ingin segera keluar dari kamar serta dari rumah ini. “Angkat sajalah, mana tahu penting. Udahan dulu ya, nanti malam saja dilanjutkan.” Ujar Laura yang mengambil tindakan nyata dengan mendorong sebidang dada berotot Billy agar tidak menindihnya lagi.

Billy tertegun sejenak dengan penolakan Laura, di tengah permainan yang sedang tanggung, wanita itu malah menyudahinya. Kini Laura mengenakan kembali pakaian dalamnya kemudian berdiri, membenahi pakaiannya yang sedikit berantakan. Tanpa menoleh sedikitpun ke arah Billy, ia berjalan menuju kamar mandi, membersihkan sisa jamahan pria itu dari tubuhnya.

“Aarrgghh! Siapa sih ganggu banget!” Kesal Billy seraya menggertakkan gigi. Ia terpaksa ikut beranjak dari ranjang dan dengan malas meraih ponsel yang telah membubarkan kesenangannya. Entah siapa yang begitu bersemangat mengusiknya sepagi ini, Billy akan merutuki habis-habisan jika si penelpon yang belum menyerah itu tidak membawa kabar penting.

Sepasang alis tebal Billy mengkerut, menatap nomor yang tidak dikenal sedang berusaha terhubung dengannya. Agak ragu untuk menerimanya, namun Billy terlanjur penasaran siapa orang yang keukeh mencarinya. Jari telunjuknya menggeser ke icon telpon hijau, ia menerima panggilan itu.

“Halo?” Billy mengernyit heran, tidak ada suara yang membalas sapaannya.

Sialan, hanya orang iseng yang merusak momenku. Billy mengumpat dalam hatinya yang bingung darimana orang iseng bisa mendapatkan nomornya. Hanya segelintir orang yang berkepentingan dengannya yang tahu nomor ini, tapi ternyata bisa bocor kepada orang iseng pula. Baru saja Billy ingin menutup pembicaraan searah itu, tiba-tiba suara bariton seorang pria terdengar lantang.

“Kamu harus mati!”

Deg! Billy merasa gentar saat mendengar ancaman dari suara pria yang tak ia kenali. Jakunnya bergerak naik turun saat ia menelan ludah, menelan segala kecemasannya.

“Siapa kamu!” Bentak Billy setelah mengumpulkan keberaniannya. Terlambat. Pembicaraan itu diputus sepihak, menyisakan bunyi panggilan telah berakhir. Billy menggenggam erat ponselnya di depan dada. Wajahnya tampak memucat, hanya karena satu gertakan saja sudah berhasil menciutkan nyalinya. Ia tidak bisa menyepelekan ancaman itu sekalipun hanya perbuatan orang iseng. Tapi Billy yakin, kemungkinannya sangat kecil bagi orang yang ingin mengusilinya. Ini jelas peringatan yang tidak boleh ia anggap entang.

“Siapa yang telpon?” Laura keluar dari kamar mandi lalu mendapati wajah suaminya yang pucat. Walau hanya sekali pandang saja, ia bisa menebak jelas bahwa keresahan suaminya dikarenakan telpon yang ia terima barusan.

Billy terhenyak, perlahan ia menoleh pada Laura yang berjalan mendekatinya. Memaksakan senyuman yang sulit untuk disunggingkan, kala hati sedang resah memikirkan perkatan mengerikan itu. “Ah, bukan siapa siapa kok sayang. Sekretarisku mengingatkan tentang pertemuan dengan klien hari ini. Hmm... sepertinya aku harus bergegas ke kantor.”

Laura tersenyum kecil, merasa senang karena keputusannya menolak bercinta dengan Billy memang tepat. “Apa ku bilang, kau tidak boleh minta waktu ekstra lagi. Semua jadi kacau kalau kamu lanjutin.” Ujar Laura walau secara tidak gamblang mengatakannya, namun ia yakin Billy pasti mengerti maksudnya.

Air muka Billy sedikit berubah, lebih rileks dan menjurus pada tatapan nakal yang diarahkan kepada wanitanya. Ia pun mulai mendekati Laura, memberi firasat tak enak pada wanita itu yang merasa akan kembali diterkam padahal ia sudah membersihkan diri.

“Bil, jangan nakal deh. Kamu bisa telat beneran loh.” Tolak Laura, begitu Billy mulai meniup pelan ke daun telinganya. Memberikan sensasi geli pada wanita itu.

Billy tersenyum genit, sepasang matanya melahap lekuk tubuh Laura yang menggiurkan. Tangannya pun tak bisa dicegah untuk mendaratkan dekapan. “Aku hanya mengingatkan saja, jangan lupa janjimu nanti malam. Dandan dan pakai gaun terseksimu ya, sayang.” Bisik Billy, tanpa menunggu jawaban dari Laura, ia pun menghujankan kecupan ringan di leher jenjang wanita itu.

Laura memejamkan matanya, menikmati sejenak kecupan yang mendesirkan darahnya. “Ng....”

Jawaban singkat itu dibungkam total dengan ciuman yang panas, berpagutan dan sesekali terdengar desis kenikmatan dari Laura. Mereka memulai hari dengan sentuhan keakraban yang begitu melenakan, andai bukan di waktu yang tak tepat, tentu saja Laura bersedia meladeni permainan Billy hingga ke puncak kenikmatan. Namun karena waktu yang membatasi, mereka harus berpuas diri dengan belaian dan kecupan yang sarat kemesraan.

***

“Aku berangkat dulu, jangan lupa janjimu nanti malam.” Billy tak hentinya mengingatkan Laura, padahal mubajir rasanya karena Laura tetap akan mengingatnya tanpa terus ditodong. Sama halnya dengan Billy, ia pun membutuhkan belaian kasih sayang.



“Ng, pulanglah cepat.” Jawab Laura singkat.



Laura melambai lemah kepada Billy yang usai pamit kerja padanya. Senyumannya menghilang total seiring menghilangnya mobil Billy dari halaman rumah mereka yang luas. Wajah cantik Laura seketika bertekuk, membayangkan harus melewati hari-hari membosankan di rumah besar nan mewah ini. Lagi-lagi ia harus seorang diri, melewati hari, menanti suaminya kembali.



"Huft... Bosan!" keluh Laura sambil menghela nafas kasar. Ia berjalan lesu memasuki rumahnya, di rumah bak istana ini, dialah nyonyanya. Billy memberikannya kemudahan hidup yang menyenangkan, ia memanjakannya dengan uang, kartu kredit tanpa limit, pembantu berjumlah dua puluh orang di rumah hingga ia tak perlu berpeluh untuk melakukan apapun. Yang perlu Laura lakukan hanyalah menghabiskan uang suaminya sesanggupnya, dan Billy dengan senang hati membiarkannya.



"Pak Udin...." Teriak Laura begitu langkahnya mendekati ruang makan pembantunya.



Pria paruh baya yang dipanggil itu bergegas meneguk semua air putih di gelasnya kemudian berlari menghampiri nyonya mudanya.



"Iya nyonya... Saya datang." Jawab Pak Udin dengan nafas tersengal-sengal pasca berlari.



Laura menatap pria itu tanpa ekspresi, sudah biasa baginya melihat rutinitas para pembantu termasuk supirnya yang satu itu.



"Siapkan mobil, aku mau shoping ke mall sekarang!" Celetuk Laura lalu melangkah pergi meninggalkan supirnya.



Sepasang kaki jenjang nan seksi itu berjalan anggun menaiki tangga menuju lantai dua rumah mewah itu. Ia perlu menyiapkan diri meskipun ia yakin dandanannya sudah rapi. Sesampainya di kamar, Laura meraih sebuah tas tangan berwarna coklat, koleksi terbarunya dari sebuah merek berkelas dunia yang dengan gampang ia dapatkan dari Billy.



Jemari tangannya yang lentik dan mulus itu menekan layar ponselnya, Laura perlu teman untuk hangout, teman sekelas dirinya yang terbiasa hidup sebagai sosialita.



Shopping yuk, gue tunggu di tempat biasa ya. Ada keluaran sepatu baru loh, mereka sudah menyimpankan untuk ku.



Pesan itu terkirim pada Tania, sahabat Laura yang juga sosialita. Hanya saja, Tania tidak seberuntung dirinya yang punya suami muda dan mapan. Demi hidup nyaman dan bisa memenuhi tuntutan hidupnya yang berkelas, Tania rela jadi istri kedua seorang pengusaha tua yang mencoba peruntungan di dunia politik.



Mobil melaju dengan kecepatan sedang menuju salah satu pusat perbelanjaan di ibukota. Sepanjang jalan Laura sibuk memainkan ponselnya, saking sibuknya hingga ia tidak menyadari sepasang mata sayu yang duduk di belakang kemudi tersenyum puas menikmati kemolekan pahanya. Laura mengenakan dress mini seksi yang memamerkan kaki putih, mulus dan jenjangnya. Senyum dari bibir bergincu merah itu pun menambah sensasi dalam khayalan pak Udin. Meskipun tidak bisa menikmati secara langsung, namun penampilan segar dan seksi dari nyonya mudanya setiap hari memberikan vitamin yang menyenangkan hati dan matanya.



Sepasang mata pak Udin kian melenceng dari konsentrasi utama, ia tak sadar kemudi yang dikendalikan tangannya mulai lepas dari kontrol. Laura masih terus berbalas chat dengan Tania, ia tidak sadar bahaya apa yang mengintainya di depan hingga tubuhnya serasa terpelanting karena rem dadakan yang sangat kencang.



"Aaarrggg!!!" Teriak Laura histeris, ponsel yang ada di tangannya terpental jatuh ke bawah kakinya, mirisnya lagi kepala wanita cantik itu terantuk sandaran jok kursi depan. Perlu waktu beberapa detik bagi Laura untuk menyadari apa yang terjadi dan memastikan keselamatan dirinya.



Mobil berhenti total, Laura memperbaiki posisi duduk sambil menyelediki apa yang terjadi. Pak Udin tampak mematung shock, Laura tak bisa melihat wajah pria itu dari posisi duduknya.



"Ada apa pak? Kenapa sampai kayak gini sih?" Tanya Laura dengan nada selidik bercampur kesal.



"Ma... Maaf nyonya...." Jawab Pak Udin terbata-bata, ia belum menjelaskan apa yang terjadi namun Laura yang tak puas mendengar kata maaf itu langsung mengedarkan pandangannya ke luar kaca mobilnya.



Di luar tampak ramai kerumunan orang lalu menyusul dua orang datang mengetuk kaca mobil supir Laura.



"Bapak nabrak orang?" Tanya Laura kaget, supir senior itu bisa juga lalai dalam tugasnya.



"Maaf nyonya...." Lirih Pak Udin menyesal.

Laura memandangi pak supir itu dengan ketus, "Cepat buka kacanya, dengarin mereka mau apa." Bentak Laura kesal.



Pak Udin menurut, dua orang pejalan kaki itu menuntut pertanggungjawaban karena telah menabrak pengendara motor. Laura yang menyimak dari belakang pun ikut kesal pada pak Udin yang membuang waktu nya untuk urusan seperti ini.



"Mana yang kena tabrak? Apa parah lukanya?" Tanya Laura pada pria di luar, pertanyaannya mendapatkan jawaban dengan telunjuk yang mengarah ke arah kanan mobilnya.



Laura hendak membuka gagang mobilnya, hingga terdengar teriakan pak Udin. "Jangan turun nyonya, biar saya saja yang urus." Cegah Pak Udin gelagapan.



Laura mendelik, ia benar-benar kecewa pada supirnya. "Bapak udah salah, eh sekarang berani perintah saya?" Ketus Laura, ia segera turun dari mobil tanpa memperdulikan respon supirnya.



Seorang pria tampak berdiri setelah memunguti barang-barang yang berserakan di jalan karena ditabrak. Orang-orang di dekat sana sudah membantunya mengurusi motor yang tampak rusak di beberapa bagian.



Laura berjalan menghampiri pria berjaket kulit hitam yang tampak punggung nya. Hatinya penasaran, seperti apa kondisi korban yang ditabrak mobilnya itu. Dari belakang, postur tubuh pria itu cukup proposional, kekar dan tinggi yang kurang lebih sama seperti Billy.



"Apa kamu terluka?" Suara Laura terdengar lembut dan mengundang perhatian banyak orang di sana, termasuk pria yang sedang ditanya itu.



Perlahan namun pasti, pria berjaket hitam itu membalikkan tubuhnya. Ia juga ingin melihat siapa yang telah mengacaukan waktunya hingga ia terancam terlambat ke kampus. Suara wanita itu membuatnya penasaran, dan tanda tanya itu terjawab seketika saat ia beradu tatapan dengan si pemilik suara lembut.



Laura terkesiap, lebih tepatnya ia merasa kagum dengan pahatan yang nyaris sempurna pada wajah pria di hadapannya. Sejenak imajinasinya liar menggoda, bersamaan dengan tatapan yang beradu lekat antara ia dan pria itu. Dalam hitungan detik, Laura merasakan debaran aneh dalam dirinya, ia yakin ini sama seperti debaran ketika bersama Billy. Debaran ini pertanda ia telah jatuh cinta sesingkat ini, dan dalam pandangan pertama.



***

Download APP, continue reading

Chapters

136