Bab 12 PERTANYAAN YANG MELUKAI HATI

by Chantie Lee 00:00,Dec 06,2020
Billy menghujani sekujur tubuhnya di bawah air keran, berusaha menghilangkan seluruh jejak dosa yang telah ia lakukan bersama wanita malam itu. Kekhilafan yang disengaja, ia bahkan sempat benar-benar menikmatinya. Membayangkan wajah wanita itu adalah Laura, kian membangkitkan hasratnya untuk menyalurkan kekesalan atas penolakan istrinya. Sepasang matanya terpejam, memaksa otaknya untuk melenyapkan ingatan tentang penyelewengan berdurasi satu jam ini.
Sebuah tangan membuka pintu kamar mandi dari luar, wanita itu berjinjit agar sebisa mungkin tidak menimbulkan suara langkah kakinya. Senyum nakalnya mengembang, menjulurkan sepasang tangannya untuk memeluk dari belakang. Matanya terpejam saat wajahnya kecipratan air dari shower yang mengguyur Billy. Namun hanya sekejap saja ia menikmati sensasi pelukan dari belakang, saat tangannya mulai beraksi meraba area sensitif Billy, justru penolakan yang ia dapatkan.
Billy terkesiap ketika dirinya lengah menyadari wanita itu telah menyusup dan ikut mandi bersamanya. Irama jantungnya berdetak kencang namun berkat guyuran air dingin itu membuat akal sehatnya lebih kuat. Billy segera membalikkan badan dan mendorong tubuh polos wanita itu menjauh darinya. Ia mungkin tergoda satu kali namun tidak untuk kedua kalinya. Selagi sadar, ia akan menepis godaan itu meskipun sangat sulit.
“Kenapa sayang? Aku yakin kamu masih kuat kok buat satu ronde lagi. Tadi kamu hebat banget, aku sungguh menyukainya.” Ujar wanita itu dengan suara yang dibuat semanja mungkin.
“Jangan bermimpi! Itu tidak kan terulang lagi. Sudahlah, keluar dari sini!” Jawab Billy dengan nada lantang dan tegas.
Wanita itu memanyunkan bibirnya, tentu saja ia tak akan menyerah semudah itu. Sejak awal saja pria itu bersikap jual mahal, namun akhirnya luluh juga. “Oh, tapi aku juga ingin membersihkan diri. Kamar mandi ini luas, kita bisa berbagi kok.”
Billy menyeringai, tangannya langsung meraih keran shower kemudian mematikannya. Dengan tatapan nanar, ia berjalan hendak meninggalkan wanita itu tanpa sudi berucap sepatah katapun. Ia yakin wanita itu cukup cerdas untuk menafsirkan maksud sorot tajamnya.
“Hei, kamu tidak bisa pergi begitu saja! Di dunia ini tidak ada yang cuma-cuma!” Gerutu wanita itu yang juga bersitatap dengan Billy dengan sorot tajam. Seakan tidak mau kalah, ia merasa perlu memperjuangkan haknya yang belum ada kesepakatan bersama.
“Oh, lepaskan aku! Aku tahu yang kamu mau tapi singkirkan tanganmu!” Balas Billy dengan sikap yang dingin, kontras dengan perlakuan manisnya pada saat menginginkan tubuh wanita itu. Kini setelah mencicipi dan kembali pada kenyataan, ia pun merasa tidak ada yang spesial dari wanita itu, bahkan merasa sangat risih.
Wanita itu menurutinya dan menyunggingkan senyuman lebar pertanda puas. “Dua puluh juta!” Ujarnya tegas menyebutkan angka yang ia inginkan.
***
Derit panjang yang terdengar memekakkan pendengaran, langsung memancing reaksi Mario untuk segera meresponnya. Untuk ketiga kalinya ia mendidihkan air dari teko listrik, setelah merasa air dari shower tak cukup panas untuk mengompres dahi Laura. Mario pun terpaksa harus merepotkan dirinya dengan menjadi pengasuh dadakan. Daripada harus berdiam diri membiarkan wanita itu menderita.
Flashback beberapa menit lalu....
Setelah membersihkan tubuh dan juga mencuci jaketnya, Mario berpikir ia bisa istirahat sejenak di sofa kamar itu. Nyatanya saat baru beberapa menit rebahan, suara ngigau Laura semakin membuat risau. Semula Mario mencoba menutup telinga, mengebalkan hati untuk tidak peduli. Pikirnya mungkin ini hanya efek alkohol yang belum reda, namun makin lama suara lirih wanita itu membuat Mario tidak tega hanya berdiam diri. Ia pun lekas bangun dengan sigap meskipun tubuhnya masih menginginkan relaksasi sebentar lagi.
“Ng... Ng... Ma....” Ceracau Laura dengan mata terpejam.
Mario mendekatkan wajahnya dengan telinga yang dicondongkan ke arah bibir Laura, berusaha mempertajam indera pendengaran itu agar bisa menangkap apa yang dikatakannya. Tetap saja sia-sia, ia tidak bisa mengartikan kata yang terlontar itu dan menganggapnya tak memiliki makna. Mata Mario menyipit saat melihat wajah Laura yang tampak memerah, reflek ia meraba jidat Laura dan terkejut saat suhunya terasa sangat panas.
“Kamu deman? Duh...”
Flashback off....
Dan berakhir seperti inilah Mario sekarang, bolak balik mengompresi dahi Laura, mengecek suhu tubuhnya secara manual kemudian mengganti air yang sudah mulai dingin. Seumur-umur baru kali ini ia merawat orang sakit, untung saja tindakan yang minim pengalaman itu cukup baik sebagai pertolongan darurat.
Mario mengamati wajah Laura dengan lekat, menahan kedipan agar tidak menghalangi pandangannya. “Sepertinya kamu sudah membaik, wajahmu sudah tidak semerah tadi. Apa boleh buat, hanya ini yang bisa aku lakukan. Kamu terlalu banyak minum alkohol, tidak mungkin aku memberikanmu obat penurun panas. Cepat sembuh, aku lebih baik melihat wajah angkuhmu daripada melihat wajah tak berdayamu.” Lirih Mario penuh harap seraya memeras handuk lagi dan menempelkannya ke dahi Laura.
***
Aku ingin dalam tidurku, ada kamu yang menemaniku sebagai bunga tidur.
Aku inginkan kamu, cinta sejatiku yang selama ini ku tunggu.
Bukan dia, yang hanya hadir dalam semu.
Tapi siapa pria itu? Kenapa aku tidak bisa melihat wajahnya?
Siapa kamu yang sesungguhnya belahan jiwaku?
_Suara hati Laura_

Kegelisahan yang terbawa dari mimpi yang tidak jelas membuat Laura membuka mata dan terkejut. Rasanya bunga tidur itu begitu nyata hingga ia bingung menyadari apakah itu mimpi atau nyata? Ia merasa belum tidur dan mungkin apa yang dihadapinya barusan adalah fatamorgana?
‘Siapa pria itu?’ Tanya Laura dalam hatinya.
Belum sempat jawaban itu muncul, jantung Laura mendapat kejutan susulan yang membuat degupnya semakin kencang. Langit-langit kamar yang tampak asing, berbeda dengan dekorasi di kamarnya. Hal pertama yang disadari Laura itu membuatnya merasa takut, tubuhnya reflek condong ke arah samping dan seketika itu pula handuk yang menempel di dahinya jatuh. Namun bukan itu yang menarik perhatiannya, ada pemandangan yang jauh lebih membingungkan di sisi tempat tidurnya.
“Siapa kamu?” Pekik Laura kaget melihat seorang pria tidur dengan posisi duduk dan tangan terjulur ke atas ranjang seperti hendak menjamahnya. Sontak ia mendorong pria yang belum terbangun itu dengan mendorong pundaknya.
Mario terkesiap saat merasa dirinya diserang saat ia belum siap, kesadaran yang dipaksakan itu membuat ia membuka mata dengan berat, beberapa detik ia masih seperti orang linglung, belum mengingat apa yang sudah terjadi. Namun saat mendapati wajah seorang wanita yang tak kalah bingungnya dengan dirinya, perlahan ia pun mulai ingat kejadian yang sebenarnya. Ia sudah menghabiskan malam dengan Laura.
“Kamu sudah bangun?” Tanya Mario dengan suara agak parau, khas orang bangun tidur.
“Kamu? Kenapa ada di sini?” Laura tak habis pikir dengan keberadaan Mario dan dirinya yang bisa satu kamar. Tangan serta matanya reflek tertuju pada sekujur tubuhnya, Laura menghela napas lega saat mendapati dirinya masih mengenakan pakaian utuh serta posisi yang rasanya berkemungkinan kecil menunjukkan bahwa terjadi sesuatu di antara mereka. Pandangan Laura masih menyoroti Mario dengan tajam, namun tak bertahan lama. Sinar mata itu meredup saat melihat handuk kecil yang tergeletak di dekat tubuhnya, Laura menatapi benda itu kemudian beralih menatap Mario dengan perasaan bersalah.
“Semalam kamu mabuk sampai demam, aku hanya membantu mengompresmu. Sepertinya kamu sudah membaik, syukurlah.” Ujar Mario tersenyum lembut, ia pun segera beranjak dari posisi duduknya yang mulai tidak nyaman, sebelum kakinya benar-benar kesemutan.
Laura menatap punggung kekar pria muda itu, kian gusar saat si pemilik tubuh berjalan menjauh. “Kamu mau ke mana?” Tanya Laura terdengar cemas.
Mario berhenti melangkah dan menoleh ke arah wanita itu, “Kamu sudah membaik, aku harus segera bersiap untuk pulang. Kamu lanjut istirahat saja, masih terlalu gelap juga di luar.”
“Tidak, jangan pergi!” Pekik Laura spontan menunjukkan reaksi dirinya yang takut ditinggalkan. Ia bergegas bangun hendak mencegat Mario, namun ternyata tubuhnya belum cukup bertenaga bahkan hanya untuk turun dari ranjang.
Mario melihat Laura yang gagal berdiri kemudian terduduk lagi di atas ranjang. Raut cemasnya tergurat jelas, ia tak tega melihat wanita yang tengah lemah di hadapannya. Mario batal melangkah pergi, setidaknya sampai ia bisa meyakinkan Laura agar membiarkannya beranjak.
“Setidaknya jangan tinggalkan aku tanpa penjelasan. Kenapa aku bisa ada di sini?” Timpal Laura menatap penuh tanya pada Mario.
“Kamu menolak di antarkan pulang, tidak mungkin kita terus bertahan di bar sedangkan kondisimu saja tidak memungkinkan lagi. Terpaksa aku membawamu ke hotel ini.” Jawab Mario, menyensor sedikit adegan kurang mengenakkan yang dialaminya. Hasil dari perbuatan mabuk wanita itu.
Laura memincingkan sepasang matanya, menatap penuh rasa tak percaya. “Hanya itu?”
Mario tercengang, ragu harus berkata jujur atau menyimpannya sebagai rahasia. Bukan sebuah prestasi yang patut dibanggakan bila harus mengatakan dengan transparan bahwa ia menjadi lahan muntahan wanita itu. Selain bisa menurunkan gengsi dirinya, pun bisa membuat si tersangka serba salah.
“Ya, hanya itu.” Bohong Mario, memasang raut wajah yang begitu meyakinkan.
Laura menelengkan kepalanya, menatap dengan sorot tajam yang mematikan. Ia tengah menelusuri kejujuran lewat manik mata pria itu, meskipun dalam jarak yang lumayan jauh namun tetap sanggup ia jamah. Mario yang tengah dipelototi mulai merasa kikuk, ia terlatih untuk tampil percaya diri dan bisa meyakinkan lawan bicaranya, tapi kemampuannya terasa tak berguna ketika tengah diselidiki mata tajam seorang wanita.
“Kamu bohong kan? Bukan hanya itu saja yang terjadi.” Ujar Laura seraya menunjukkan senyum seringainya, ia paling benci dibohongi.
Entah siapa yang mulai menciptakan sunyi di antara mereka. Belum ada satupun yang bersedia memecah keheningan itu. Mereka masih bersitatap, seakan bisa melakukan telepati hanya dengan tatapan mata.
‘Dia cukup peka untuk tahu kebohonganku. Dia bukan wanita biasa....’ Mario mulai mengeluarkan kata hatinya, mencoba menebak kemampuan tersembunyi dari Laura yang patut ia akui hebat. Pujian yang tentunya hanya bisa ia simpan dalam hati saja.
‘Jujurlah, aku tunggu itikad baikmu. Jika kamu meneruskan kebohongan ini... Ah, jangan buat aku hilang rasa padamu!’ Lirih Laura penuh harap dalam hatinya.
“Kamu memuntahiku.” Ujar Mario yang akhirnya menyerah karena ketidak-nyamanan yang merasuki hatinya. Dihakimi oleh sorot tajam Laura sungguh membuatnya tunduk, lebih baik segera mengakhiri pertikaian mata mereka dengan berkata jujur.
Laura ternganga, saking tak terimanya sampai-sampai ia menutup mulutnya dengan satu tangan, menyembunyikan ekspresi terkejutnya. “Tidak mungkin! Aku mana mungkin melakukan hal menjijikkan itu.” Laura terus menggelengkan kepala, padahal ia tahu mungkin-mungkin saja ia berbuat hal memalukan itu, namun harga dirinya terlalu tinggi untuk mengakuinya. Sepertinya kali ini ia salah bertindak, jika tahu kenyataannya begitu lebih baik ia membiarkan Mario membohonginya. Ketika ia mendesak kejujuran orang yang ingin menjaga image-nya, justru kini ia yang tengah berusaha keras untuk berbohong. Membohongi dirinya sendiri, lebih tepatnya.
Mario menaikkan satu alisnya, ia bisa melihat jelas wajah panik wanita itu sedang menyangkal dari kenyataan. Entah mengapa Mario justru merasa kasian padanya, bagaimanapun jaga image menjadi hal penting bagi kaum hawa, terutama bagi wanita berkelas tinggi seperti Laura.
“Ya, anggap saja aku hanya berbohong. Lupakan sajalah, itu bukan hal penting.” Seru Mario berharap bisa meredakan kepanikan Laura sebelum dia berubah menjadi drama queen.
Laura menurunkan tangan yang menutupi mulutnya, mengalihkan tatapan ke arah Mario dan membeku sejenak. Sorot mata Mario yang menatapnya penuh rasa iba lagi-lagi membuatnya frustasi. Laura langsung mengacak rambut panjangnya yang memang sudah separuh kusut. “Oh, aku bisa gila!” Pekiknya frustasi.
Mario hendak tersenyum, untung saja mentalnya cukup kuat untuk menahan diri. Ia pun melipat bibirnya, mencegah senyum itu terlihat dari lekuk bibirnya. “Sepertinya kamu sudah cukup kuat, aku harus pulang sekarang. Kamu istirahat saja kalau masih belum pulih.” Ujar Mario berpamitan sekali lagi, mengangkat satu tangannya untuk memberi lambaian perpisahan.
“Tunggu! Aku belum mengijinkanmu pergi! Kamu harus tanggung jawab!” Teriak Laura lagi-lagi menghalangi langkah pria itu, dan tentunya berhasil.
Mario segera membalikkan tubuhnya saat mendengar tuntutan tak masuk akal itu. “Tanggung jawab untuk apa? Tidak ada yang ku lakukan padamu yang merugikan. Atau mungkin maksudmu akan bertanggung jawab atas muntahan itu?”
“Jangan sebut soal menjijikkan itu.” Protes Laura kencang, mendengar kata itu saja langsung membuat perutnya bereksi dan mual.
“Ha ha ha....” Kali ini tawa Mario pecah, ekspresi Laura terlalu lucu untuk dilewatkan tanpa suara tawa. Betapa menggemaskannya seorang wanita yang menjunjung tinggi harga diri namun tak bisa menutupi aibnya sendiri.
Laura mendelik, tampak tak senang karena tengah ditertawakan meskipun ia sadar bahwa apa yang dilakukannya memang lucu. Untung saja Mario cukup peka dan segera bungkam sebelum bantal yang ada di samping Laura melayang ke arahnya.
“Kamu... Kenapa kamu bawa aku ke tempat ini? Kamu tidak tahu kalau tempat begini sangat bahaya untukku?”
Dahi Mario berkerut, jelas ia tidak tahu. Yang ada dalam pertimbangannya memilih hotel ini justru karena merasa tempat ini paling tepat. Siapa yang mengira Laura malah berpikir sebaliknya, merasa kamar ini tidak sepenuhnya bisa menjamin privasi. Kini ia dituding salah memilih, padahal Mario sudah menggelontorkan banyak uang demi memesan kamar ini.
“Kalau tidak di sini, apa kamu mau tidur di bar?” Celetuk Mario.
“Kenapa tidak bawa aku ke rumahmu saja!?” Balas Laura dengan suara yang kentara gemasnya.
Sejenak Mario terhenyak, ada sedikit kecewa yang mengoyak hatinya. Wanita itu lebih banyak mempermasalahkan keadaan yang sudah terjadi ketimbang berpikir positif dan mensyukurinya. Padahal ia tidak tahu bahwa Mario pun punya kesulitan sendiri.
“Aku... tidak punya rumah.” Jawab Mario tegas walau dengan perasaan getir.
Deg! Laura tercengang, penyesalan menyeruak dalam hati kecilnya. Untuk kali ini ia sedikit menyesali keegoisannya, bertanya hanya untuk melukai hati pria yang telah menolongnya. Terlebih saat melihat raut sedih di wajah pria itu, kian membuat Laura tertekan rasa bersalah.
***

Download APP, continue reading

Chapters

136