Bab 9 DATANG DEMI KAMU

by Chantie Lee 12:12,Dec 04,2020
Setengah jam yang lalu.

Laura tergeletak di sofa dengan tangan memegang sebuah botol Wine yang masih berisi setengah. Rasa pusing di kepalanya terasa nyata hingga ia tak sanggup menopang tubuhnya dengan posisi duduk. Entah berapa menit sudah ia merebahkan tubuhnya, meringkuk dengan kedua lutut yang ditekuk hingga nyaris menyentuh perut. Wanita itu membenci kesepian, namun rasa sepi itu seakan menjadi kutukan dalam hidupnya. Bahkan saat ia telah memiliki seseorang yang terikat pernikahan, nyatanya sunyi, sepi, hampa, tak kunjung menjauh dari dirinya.

“Ng... Semua pria itu sama saja ha ha ha....” Ceracau Laura seraya tertawa dengan entengnya, seakan ada hal yang sangat lucu. Kekecewaannya meluap, menghujat bahwa semua pria bersifat sama, egois dan hanya menginginkannya karena ada maunya. Tiba-tiba saat memikirkan pria, bayangan wajah Mario terlintas dalam benaknya. Laura mengerutkan dahinya, mencoba mengingat lebih jelas tentang sosok pria muda tampan yang baru beberapa jam lalu ia temui dan cukup mencuri perhatiannya.

“Apa kamu juga sama? Hmm....” Ucap Laura yang mulai mengkhayal seakan melihat wajah Mario terletak dalam botol yang dipegangnya. Sepasang matanya sayu, terlihat sangat sedih dan terus menatap benda itu. Pengaruh alkohol rupanya sudah mempengaruhi separuh kesadarannya, Laura tetap ingin meneguknya walaupun tubuhnya tidak sanggup lagi.

Perlahan ia menggerakkan tubuhnya, merubah posisi dari rebahan menjadi duduk bersandar di sofa panjang itu. Ponsel yang tergeletak di atas meja kembali berdering, membuat Laura mencebik sembari memanyunkan bibirnya. Dengan malas ia menjulurkan tangan, meraih benda pipih itu kemudian menyipitkan mata saat membaca nama yang tertera di layar ponselnya.

Hubby memanggil....

Tanpa pikir panjang, Laura langsung menggeser ke tombol merah untuk menolak panggilan itu. Bagaimana mungkin ia bisa mendengar suara orang yang membuatnya berakhir di tempat ini lagi? Hati Laura kembali lega saat terbebas dari teror suara nada dering itu, tangannya mengarah pada tombol off di samping ponselnya, hendak mematikan alat komunikasi itu agar tidak terganggu siapapun, namun Laura mengurungkan niat itu. Ada hasrat yang mendesaknya untuk bertahan sejenak. Mencoba menilik lebih dalam rasa yang terpatri ini, ia yakini betul suara hatinya mendesak agar ia menghubungi seseorang.

Laura pun menyalakan layar ponselnya, jemari lentiknya mulai lincah menari di atas layar sentuh benda mahal itu kemudian berhenti saat mendapati sebuah nama di sana. Ia menghela nafas sejenak, lalu menekan tombol panggilan pada kontak yang bertuliskan nama ‘Mario’.

Tut... Tut... Tut.... Nada sambungan itu terdengar seperti tengah mengejeknya, ia berharap segera mendapatkan sambutan namun entah ke mana si empu nomor sehingga tidak mengindahkannya. “Kamu berani mengabaikanku, hah!?” Gerutu Laura tidak terima diabaikan, ia pun kembali menghubungi untuk kesekian kali. Pantang baginya membiarkan targetnya lolos dan akan terus menerornya hingga menerima panggilan ini.

Senyum Laura mengembang lebar saat suara pria terdengar dari seberang. Penantian yang terasa panjang itu akhirnya kesampaian. Laura mengetuk botol kaca yang ada di hadapannya dengan jari telunjuk, satu tangannya yang lain sibuk memegang ponsel. “Ke mana saja kamu hemm... Mau sembunyi dariku? Jangan coba-coba lari... Kamu sudah jadi targetku, he he he....” Ceracau Laura dengan suara khas orang yang tengah mabuk, apa yang terlontar dari bibirnya bahkan tidak jelas terdengar oleh lawan bicaranya.

“Aku bilang... Kamu tidak bisa lolos dariku hiks....” Gumam Laura, tak peduli apakah pria itu mengerti apa yang dikatakannya atau tidak. Ia sudah sangat puas hanya ketika bisa mengeluarkan uneg-uneg dalam benaknya.

“Aku? Ha ha ha... Aku di mana ini? Hmm... Mungkin aku ada di hatimu sekarang.” Laura menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, satu tangannya terjulur ke samping hingga menyenggol botol kosong di atas lalu jatuh ke lantai.

Bunyi pecahan botol yang nyaring itu mengejutkan pria yang ada di seberang. Bertubi-tubi pertanyaan dilontarkan namun jawaban yang terdengar lagi-lagi hanya kicauan yang tidak bisa dipercaya. Laura tampak sangat menikmati nada kekhawatiran yang pria itu. Tawanya pecah setiap saat Mario menanyakan keberadaannya dengan penuh kecemasan. Hingga beberapa saat, Laura pun merasa trenyuh dengan kesungguhan pria itu yang bisa ia rasakan walau hanya sebatas suara.

“Aku di True Bar. Kenapa? Kamu mau ke sini?” Lirih Laura kemudian kembali tertawa. Tidak ada yang lucu namun ia terus mengumbar tawanya yang menyesakkan. Tak lama kemudian pembicaraan itu berakhir, Laura masih menempelkan ponsel yang layarnya sudah menghitam itu di telinganya. Membiarkan bulir bening dari matanya menetesi alat komunikasi itu. Laura memejamkan matanya dengan kencang, membiarkan air mata itu kian mengalir deras.

“Kamu sungguh mau datang? Apa ada yang bersedia datang untukku?” Lirih Laura, tak begitu percaya apalagi berharap bahwa pria itu akan hadir untuknya.

***

“Mas, aku sungguh nggak sengaja. Maafkan aku pa, besok aku akan coba bicara dan rayu Laura. Siapa tahu masih bisa berubah pikiran.” Rengek Tania di hadapan suaminya.

Setelah menerima telepon dari Billy, pasangan suami istri ini terlibat cekcok yang membuat posisi Tania tersudutkan sebagai tersangka. Edrick Zhang nampak berang, pria itu nyaris habis kesabaran menghadapi tingkah istrinya yang sangat kekanakan. Pria itu mengepalkan tangannya, menahan geram yang kian nyata dan menghasutnya untuk melayangkan tangan ke wajah wanita yang tampak memelas itu.

“Apa kamu pikir dengan permintaan maaf saja sudah cukup? Kata maafmu tidak bisa mengembalikan kondisi seperti semula. Segalanya sudah hancur karena ulahmu! Itulah kenapa aku tidak suka kamu terlalu banyak tahu tentang urusan pekerjaanku. Kamu berteman berapa lama dengan wanita itu? Kenapa kamu tidak tahu bahwa wataknya begitu keras? Bahkan suaminya saja tidak bisa menggugah hatinya, apalagi kamu!” Gertak Edrick Zhang, ia tak peduli suara kerasnya mengguncang perasaan istrinya yang tampak memilin ujung baju dengan kepala menunduk.

Tania jengah terus-terusan disalahkan, andai ia tahu Laura tidak mendukung hal yang berbau politik, tentu ia tidak akan senekad ini memancing emosi wanita itu dan berimbas pada suaminya. Namun semua sudah terjadi, bahkan Laura enggan merespon panggilan maupun pesannya. Sungguh menyudutkan Tania di posisi ujung tanduk. Jika karier politik suaminya tamat, maka ia pun terancam tidak bisa menikmati kehidupan mewah yang melenakan ini.

“Baik... Salahkan saja terus aku! Memang ini karena ulahku, tapi setidaknya aku sudah menunjukkan itikad baik untuk meluruskan masalah ini dengan dia. Besok aku tetap akan mencari Laura.” Jawab Tania yang mulai tersulut emosi karena terus diungkit kesalahannya.

Edrick Zhang menatap remeh pada istrinya, dari sorot matanya saja menunjukkan bahwa ia tidak percaya kemampuan Tania sehebat itu. “Percuma saja membujuknya! Buang waktu dan bikin malu saja memohon pada orang yang berkeras hati. Dia sudah menganggap donasi ini sebagai utang, bahkan menyertakan bunga untuk pembayarannya. Darimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu untuk mengembalikannya? Semua sudah dialokasikan dalam dana kampanye. Kamu... sebaiknya pikirkan cara mendapatkan uang itu sebelum mereka semakin mendesakku!” Geram Edrick Zhang yang memilih meninggalkan Tania yang masih shock mendengar pengakuannya.

“Hutang? Dua setengah milyar sumbangan itu kini berubah menjadi hutang?” Ujar Tania yang seketika merasa tubuhnya lemas dan limbung jatuh ke atas ranjangnya.

***

Mario berlari memasuki bar yang ia yakini sebagai tempat yang dimaksud Laura. Bukan tempat yang asing baginya, dulu ketika ia masih punya segalanya, bisa dibilang bar ini menjadi salah satu tongkrongan favoritnya. Mario mengedarkan pandangannya ke sekitar bar, mempertajam penglihatannya yang terhalang oleh pencahayaan yang minimalis. Sesekali ia menyipitkan mata saat spot light mengarah kepadanya. Tangannya menghalau di pelipis, menahan silau yang menyorot ke mata.

Ruangan yang bersuhu dingin itu bahkan tidak pengap ketika banyak orang yang berjingkrak-jingkrak mengikuti alunan musik yang energik. Padatnya pengunjung membuat Mario kewalahan, belum ada satu pun sosok yang ia yakini adalah wanita yang ia cari. Hingga sebuah tepukan terasa menyentuh pundaknya, Mario pun menoleh mengikuti arah tangan itu berasal.

“Halo tuan Lim, ini anda bukan?” Sapa seorang wanita berpenampilan super minim dan ketat yang memamerkan lekuk tubuh serta belahan dadanya. Ia tersenyum dan menggelayutkan tangannya dengan manja melingkar di leher Mario.

Mario mengenali wanita centil ini, hanya saja ia kurang nyaman dengan sikap agresifnya yang terus menempel seperti punya hubungan khusus dengannya. Wanita yang beroperasi di dalam bar ini untuk mendapatkan target pria kaya yang bisa dijadikan teman kencan. Mario hanya menyunggingkan senyum tipis, tidak sanggup memberikan respon lebih dari itu. “Hai Sandra, apa kabarmu? Maaf, aku sedang ada urusan sedikit.” Jawab Mario seraya menarik dirinya secara halus.

“Oh, ayolah beberapa menit saja deh. Kita kan sudah lama tidak ketemu, anggap saja buat pelepas rindu. Ke mana saja sih selama ini? Udah lama nggak pernah ke sini.” Wanita bernama Sandra itu malah merangkul leher Mario dan meletakkan dagunya di pundak pria itu. Tetap bertekad menahan waktu Mario selama mungkin demi bisa meladeninya. Ketika jari telunjuknya hendak mendarat di atas dada bidang Mario, dengan sigap Mario menghalaunya.

“Lain kali saja ya San, aku sedang buru-buru. Bye....” Ujar Mario seraya melepaskan lilitan tangan wanita itu di pundaknya.

Sandra manyun, tak rela ditinggal begitu saja dan tetap bersikukuh mengejar Mario. “Siapa yang sedang kamu cari? Kamu ke sini untuk bersenang-senang dengan dia?” Pekik Sandra yang kepayahan menyamakan langkah dengan Mario. Kerumuman orang yang tengah berajojing sangat pas menghalanginya untuk mengejar pria itu. Sandra menghentakkan kakinya dengan kesal, sepasang tangannya pun mengepal, lagi-lagi ia kehilangan mangsa yang sangat pas malam ini.

Kamu di mana? Ke mana aku harus mencarimu? Lirih Mario dalam hatinya. Ia merogoh tangan ke dalam saku celana, berharap alat komunikasi ini bisa diandalkan dalam misi pencarian. Ponsel itu ditempelkan pada daun telinganya, berharap segera mendengar sahutan dari seberang ketimbang mendengar nada sambung yang seakan menguji kesabaran ini.

Percuma saja, sampai panggilan itu terputus dengan sendirinya, Mario tetap tidak mendapatkan petunjuk apapun. Helaan nafas kasarnya spontan terhembus, pria itu berpikir keras, mungkin bukan tempat ini yang Laura maksud.

“Kamu mencari siapa? Apa sudah booking orang?”

Mario tersentak kaget saat merasakan sentuhan di pundaknya dari belakang. Lagi-lagi Sandra belum jera membuntutinya, memberikan tatapan yang mendesak Mario untuk meresponnya. Sorot mata andalan wanita malam yang selalu berhasil membidik mangsa, dan Mario paham betul itu. Ia menghela nafas sejenak sebelum meladeni kehendak wanita itu.

“Ada tamu cewek yang lagi nempati ruang VVIP nggak?” Tanya Mario blak-blakan.

Sandra terlihat berpikir, kemudian melirik Mario dengan mata yang memincing. “Kamu yang dibooking cewek? Oh My... Kamu sekarang jadi....” Sandra menutup mulutnya dengan satu tangan, meskipun tidak gamblang meneruskan kata-katanya namun ia yakin Mario sudah tahu apa yang dimaksudnya.

Mario berdecak, sia-sia membuang waktu dan tenaga untuk meladeni kekonyolan wanita itu. Ia pun kembali berjalan menelusuri kerumunan orang. Jika tidak ada yang bisa diandalkan, maka jalan satu-satunya hanya dengan mencari satu persatu ruangan VVIP yang ada di bar ini. Mario mencoba menelpon ulang namun justru nomor yang ditujunya tidak aktif lagi.

“Hei tunggu! Kamu belum menjawabku! Kalau benar, aku juga bisa membookingmu! Hei!” Pekik Sandra yang baru tersadar dari pikiran buruknya namun mendapati Mario sudah berlalu meninggalkannya.

Seorang pelayan pria yang membawa nampan kosong tak sengaja menyenggol bahu Mario saat menghindari tamu lainnya. “Maaf tuan.” Ucap pelayan itu seraya membungkukkan badannya lalu berniat meninggalkan Mario.

“Tunggu!” Cegat Mario, tangannya menahan bahu pelayan pria itu agar tidak berlalu darinya. Ia mendapatkan tatapan penuh tanda tanya dari pria itu, yang kemudian dengan wajah ramahnya tersenyum ke arah Mario.

“Ada apa tuan?”

Mario mendekat lalu berbisik di telinga pria itu. “Apa kamu tahu di mana ruang tamu wanita yang minum sendirian di VVIP room?”

Pelayan itu melihat ke arah Mario dan mendapatkan anggukan pelan dari pria itu. Ia masih bungkam seraya memutar kembali ingatannya. “Sepertinya ada satu wanita yang mengenakan dress hitam, sendirian di ruang atas.”

“Nomor berapa?” Mario langsung sigap menanyakan, ia yakin bahwa wanita yang dimaksud pelayan ini adalah Laura. Mungkin saja Laura langsung kemari setelah bertemu dengannya tadi karena Mario yakin wanita itu berciri seperti yang disebutkan.

“Ng... Ruang 107.” Jawab pelayan itu singkat.

Mario segera merogoh saku celananya, mengeluarkan selembar uang seratus ribu lalu menyodorkan pada pelayan itu sebagai tip. “Terima kasih.” Ujar Mario kemudian segera berlari menuju lantai atas, mencari ruang yang ia yakini ada Laura di sana.

***

Laura duduk meringkuk dengan dua kaki yang dinaikkan ditekuk di atas sofa. Tatapan kosongnya tertuju pada pintu ruangannya yang masih tertutup. Entah sudah berapa menit ia bertahan dengan objek di hadapannya. Tanpa ia sadari, hati kecilnya berharap pintu itu terbuka dari luar. Berharap akan ada seseorang yang bersusah payah mencari dan akhirnya menemukan dirinya.

Ponselnya telah kehabisan daya, namun ia tetap acuh dan merasa tenang tanpa gangguan dari luar. Biarlah cukup ia yang menikmati dunianya saat ini, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa hatinya begitu kosong. Dan saat itupula Laura sedikit berharap akan ada yang datang mengisi kekosongannya.

“Dia datang... Nggak datang....” Lirih Laura, tubuhnya digoyangkan ke depan dan belakang dengan posisi duduk memeluk lutut. Ia mulai bertaruh, jika pria itu datang maka mungkin dialah cinta sejatinya.

“Datang... Tidak datang... Da... Tang!” Kata-kata Laura terjeda, tepat pada saat pintu yang tengah ia sorot bergerak. Seseorang membukanya dari luar.

***

Download APP, continue reading

Chapters

136