Bab 6 DILEMA

by Chantie Lee 12:09,Dec 04,2020
“Sayang, apa yang membuatmu tampak tak sabaran? Tinggal kita berdua saja di sini, ceritakanlah apa ada masalah?” Billy merengkuh pinggang ramping Laura, sontak mengejutkan wanita itu dari lamunannya. Hati Laura sempat menjelajah pada sosok Mario yang baru saja mengejutkannya. Tidak menyangka bisa bertemu secepat ini namun dalam kondisi yang tidak diharapkan.

Sepasang mata lentik Laura menatap lekat pada Billy, berusaha mencari kejujuran dari sinar mata pria itu ketika menjawab pertanyaan yang akan ia lontarkan. “Kamu mendukung suami Tania?” Tanya Laura sinis, kini perhatian sepenuhnya beralih pada wajah Billy yang seketika berubah. Air muka pria itu yang tadinya penuh perhatian, langsung mengkerut dan tampak gusar saat ditodong pertanyaan tak terduga itu.

“Ng sayang, aku bisa jelaskan. Itu tidak seperti yang kamu bayangkan kok.” Jawab Billy, mencoba bersikap rileks namun nyatanya ia tak seprofesional itu menutupi keresahannya.

Laura bisa melihat reaksi suaminya yang gelagapan. Pembohong amatir yang mencoba menutupi kesalahan dengan berakting buruk. Laura melipat tangannya, masih mencoba diam dan mendengar apa yang akan dilontarkan pria itu. Firasatnya cukup tajam untuk merasakan kebohongan atau kesungguhan yang akan diutarakan Billy.

“Dia datang padaku untuk meminta bantuan, bukan berupa dukungan penuh untuk posisi. Ng... Dia hanya meminjam sejumlah uang sebagai modal kampanye, itu pinjam sayang. Aku tidak memberinya sponsor.” Ungkap Billy terbata-bata, wajah tampannya terlihat jelas gurat tegangnya. Sepasang matanya memelas Laura agar percaya padanya.

Kamu masih perlu belajar untuk menjadi pembohong handal. Aku akan mengikuti permainanmu. Gumam Laura dalam hati, bibirnya yang semula datar kini mencoba menarik seulas senyuman meskipun setengah hati namun bisa meyakinkan Billy bahwa ia sudah cukup lega menerima penjelasannya, padahal tidak.

“Hmm... begitu ya? Syukurlah, aku yakin kamu tidak akan membohongiku. Aku sempat kaget dan kecewa saat tahu kamu menggelontorkan dana untuknya, kamu kan tahu aku paling tidak suka berurusan dengan politik. Kalau hanya meminjamkan modal, ya sudahlah tidak masalah. Tapi kapan dia akan mengembalikannya. Sayang? Bisa aku lihat surat perjanjian pinjamannya?” Tanya Laura dengan wajah polosnya, wajah yang bisa meyakinkan Billy bahwa ia sepenuhnya mempercayainya. Namun permintaan terakhirnya cukup menghentak ketenangan Billy yang sempat merasa plong. Billy tampak gelagapan lagi, bola matanya berputar, berpikir keras mencari alasan untuk menutupi kebohongan selanjutnya.

“Itu sedang pengacaraku aturkan, nanti kalau sudah beres aku akan tunjukkan padamu.” Jawab Billy, tangannya mulai agresif merangkul pundak Laura, hendak memeluknya. Laura menepis tangan Billy, menyingkirkannya agar tidak berakhir dalam pelukan di saat masalah ini dianggap belum selesai olehnya. Billy tak berdaya mendapatkan penolakan itu, hatinya kembali gusar, takut jika Laura memperpanjang masalah.

“Baiklah, aku tunggu hasilnya. Selagi belum selesai dikerjakan, pastikan bunganya sesuai dengan jumlah dan jangka pinjamnya. Kamu mengerti kan, sayang?” Tanya Laura, lembut namun menusuk hingga Billy semakin memucat.

Billy mengangguk kaku, mau tidak mau ia harus mengikuti alur permainan yang ia ciptakan barusan. “Iya, sayang. Pasti akan ku lakukan sesuai keinginanmu.”

Bibir merah Laura kembali merekahkan senyum puas, setidaknya ada permainan baru yang ia nantikan kelanjutannya dari orang terdekatnya. “Kamu tahu kan kalau aku paling benci sama pembohong, aku harap kamu tidak membuatku hilang rasa karena itu.” Ungkap Laura dengan suara manjanya, kemudian melingkarkan sepasang tangannya di leher Billy. Ingin sedikit menggertak pria itu dengan cara lunak namun menghentak.

Billy mengangguk walaupun sedikit kaku, lehernya masih dikuasai oleh tangan Laura yang melingkar. Jarak mereka cukup dekat, mendorong hasrat Billy untuk mendekatkan wajahnya pula, ingin menyasar pada bibir merah Laura yang sedikit terbuka, begitu menggoda.

“Emm... kamu nggak begitu sibuk ya? Orang-orang tadi pengawalmu kan?” Laura sadar Billy mengincar bibirnya, namun ia tidak dalam suasana hati yang menginginkan keintiman. Terlebih Billy telah sedikit mengecewakannya dengan kebohongan, masih bisa berpura-pura baik dan mempercayainya saja sudah cukup berat Laura lakukan, apalagi harus mengijinkan pria itu menyentuhnya.

Billy menundukkan wajah sejenak, menyembunyikan rasa kecewanya yang gagal menyalurkan hasrat. Jelas ia tahu Laura menghindari kecupannya, tapi ia tidak bisa berbuat banyak. “Ya, jadwalku agak longgar hari ini. Aku bahkan bisa menemanimu kalau kamu mau, sayang.”

“Tidak perlu, aku habis ini mau perawatan tubuh. Hmm... tadi itu pengawal baru?” Laura tak bisa menutupi rasa penasarannya. Kehadiran Mario dengan penampilan berbeda membuat tanda tanya besar, siapa Mario sebenarnya.

Billy mengerutkan dahinya, “Kamu kan kenal pengawal Gu, kalau yang satunya lagi itu anak magang yang baru ku terima hari ini.” Jawab Billy dengan tenang, seperti yang sudah disepakati bahwa identitas Mario di kantor ini hanyalah pegawai magang.

“Oh, apa ada posisi kosong di kantor sampai harus menambahkan anak magang? Hmm....” Bagi Laura itu terlalu aneh, meskipun ia tidak ingin mencampuri urusan pekerjaan Billy namun ia masih punya hak untuk mengetahui perkembangan perusahaan ini.

“Ada karyawan yang cuti melahirkan, jadi aku mencari pegawai magang untuk menempati posisinya sementara. Apa kamu tidak menyukai orang itu, sayang? Aku bisa memecatnya.” Ujar Billy meskipun tidak sepenuh hati dan berharap Laura berhenti mengusik tentang pengawal barunya.

Laura menggeleng dengan cepat, bukan itu yang ia inginkan. “Tidak perlu, aku hanya iseng bertanya saja.” Gumam Laura tersenyum tipis lalu sepenuhnya menjauh dari tubuh Billy.

Ada baiknya juga dia kerja di sini, mungkin lebih mudah bagiku mengatur pertemuan dengannya. Ujar Laura dalam hatinya yang mulai punya rencana terhadap pria muda itu.

***

“Laura....” Mario mengulang sekali lagi nama wanita yang membalas pesannya. Tak menyangka akan mendapatkan balasan dari wanita itu, singkat dan sangat jelas. Mario menempelkan ponselnya di bibir, menutupi senyum puasnya sembari mengulang nama Laura dalam hatinya, seakan ingin terus mengingatnya.

Sejak keluar dari ruang direktur, Mario belum sepenuhnya meninggalkan kawasan kantor. Ia menepikan motornya tak jauh dari sana, demi menuntaskan rasa penasarannya kepada Laura. “Billy itu siapanya Laura?” Gumam Mario, bertanya sendiri namun tentu tidak mendapatkan jawaban. Ia harus menyelidikinya lambat laun, antara berstatus sepasang kekasih atau bahkan suami istri. Memikirkannya saja membuat hati Mario terasa mendidih, panas terbakar gejolak yang ia sendiri tak mengerti.

Apa kamu punya waktu? Bisa bertemu lagi di luar?

Mario mengirimkan sebuah pesan singkat lagi, mengamati tanpa berkedip pada layar ponselnya yang kini menampilkan status pesan terkirim. Debaran hati Mario kian terasa, resah menantikan jawaban yang entah diberikan atau tidak. Getar ponselnya terasa, segera Mario melirik dan tersenyum. Balasan itu telah datang, harapannya terkabulkan.

Sebuah mobil hitam meluncur keluar dari pos parkir dan langsung menyita perhatian Mario. Helm yang dilepasnya segera ia pakai kembali, penglihatannya mengikuti laju mobil yang kini melintasinya. Ia tahu siapa yang ada di dalamnya kemudian segera menaiki motor, menyalakan mesin dan meluncur mengikuti jejak mobil itu dengan jarak yang berdekatan.

***

Sesekali Laura melirik ke belakang lalu kembali menghadap depan dengan senyum yang merekah. Gerak-gerik yang tak luput dari pantauan supirnya, mata jeli pak Udin mengintip dari spion tengah dan mulai terpancing untuk memantau apa yang membuat nyonya mudanya senyum-senyum sendiri. Lewat spion samping, perhatian pak Udin teralihkan sejenak dan terkejut melihat siapa yang membuntuti mobil mereka di belakang.

“Nyah, itu bukannya anak muda yang tadi pagi? Apa saya salah lihat ya? Tapi motornya sama perawakannya sepertinya orang yang sama.” Celetuk pak Udin antara ragu dan yakin bahwa tebakannya tepat.

Air muka Laura berubah, sadar bahwa sedari tadi supir itu pasti memperhatikan gerak-geriknya. Wanita itu masih bungkam, menoleh ke belakang sebentar untuk memastikan Mario masih dalam pantauannya. “Ini tugas pertama pak Udin, apapun yang bapak ketahui hari ini jangan sampai tuan tahu. Mengerti!” Kecam Laura tegas, ia tidak perlu memperjelas maksudnya namun tetap harus memastikan bahwa supir itu paham.

Pak Udin menelan ludah, kode keras yang dilontarkan nyonya muda itu jelas ia mengerti. Yang tak habis ia pikirkan hanyalah untuk apa nyonya itu tertarik meladeni seorang pria yang baru beberapa jam ia kenal, bahkan harus bertindak nekad menyuruhnya tutup mulut. Tanpa perlu ditanyakan, supir tua itu sudah bisa mengendus aroma skandal yang akan terjadi jika pertemuan nyonya dan pria muda itu terus berlanjut.

“Baik nyonya.” Jawab pak Udin patuh.

Mobil mewah itu berhenti di sebuah kafe elit di kawasan jantung ibukota, tempat yang ditunjuk Laura untuk memenuhi ajakan Mario. Laura tak sabar lagi, ia memeriksa penampilannya sebentar lewat kamera ponsel, mengulas lagi lipsticknya agar lebih berwarna. Seulas senyuman ia sunggingkan pada dirinya, betapa ia sangat bersemangat kali ini. Pertemuan yang belum apa-apa saja sudah menggetarkan hatinya. Langkah wanita itu begitu gemulai, menjinjing tas mahalnya dengan pose tangan yang manis, menunjukkan keanggunan dan aura cantiknya sebagai wanita berkelas.

Kehadiran Laura disambut oleh pelayan, mulai dari saat ia mendekati pintu, mereka dengan ramah menyambut dan membukakannya pintu. Mengantarkannya ke ruangan yang sudah disiapkan khusus bagi pelanggan VVIP, Laura hanya merespon segala pelayanan ramah itu dengan senyum datar. Ia sudah terbiasa disambut seperti itu sejak kecil, bermodal kekayaan dan nama besar ayahnya, Laura hidup dalam kemewahan serta kenyamanan hingga saat ini.

Sambutan luar biasa itu tak luput dari pantauan Mario yang sudah menyusul Laura masuk ke dalam kafe. Pria itu masih mengenakan jas formalnya, membuat pelayan yang melihatnya beranggapan bahwa ia adalah penguasa kaya raya. Mangsa besar yang perlu diperlakukan dengan ramah, seperti layaknya kepada nyonya muda tadi.

“Selamat siang tuan, apa sudah memesan sebelumnya atau kami antarkan ke ruangan yang masih tersedia?” Tanya seorang gadis pelayan yang terkesima dengan paras rupawan Mario. Pelayan itu merasa beruntung berkesempatan mendekatinya dengan kedok menawarkan pelayanan.

Mario memberikan senyuman ramahnya pada gadis pelayan itu, “Saya sudah ada janji, terima kasih.” Jawabnya singkat.

Laura tersadar mendengar suara seorang pria yang langsung menggetarkan hatinya, tanpa menoleh saja ia sudah tahu bahwa Mario sudah datang menyusulnya. Ia tersenyum tipis, senyum penuh kepuasan seraya meneruskan langkah gemulainya menuju ruangan yang telah disiapkan. Tanpa perlu bersikap mencolok menunjukkan kegirangan karena pria yang membuat janji dengannya telah datang.

Mario menatap teduh pada Laura yang tidak menoleh sama sekali, ia hanya tersenyum tipis, sikap yang sangat menjaga image itu justru semakin menantang bagi Mario. Wanita cantik yang misterius, menggoda dan sangat tahu diri. Mario mengikuti ke mana Laura pergi, meskipun harus menjaga jarak. Mereka menyusuri lantai atas, di mana ruang untuk tamu VVIP berada.

“Silahkan masuk nyonya.” Pelayan pria yang mengantarkan Laura membungkukkan badannya setelah membukakan pintu.

Laura mengangguk pelan sebagai tanggapan, ujung matanya melirik Mario yang sudah berdiri di belakang pelayan. “Itu temanku, beri dia jalan.” Pinta Laura dengan nada arogannya.

Mario menyimpan pendapat pribadinya tentang Laura, banyak kata yang mulai bermunculan dalam benaknya. Menafsirkan tentang sosok Laura yang begitu misterius, dalam tiga kali pertemuannya hari ini, Mario sudah melihat tiga sifat Laura yang berbeda-beda. Lembut, manja, tegas, angkuh, dan baik.

“Oh, silahkan tuan. Maaf saya tidak menyadari kehadiran anda.” Pernyataan maaf itu dilontarkan oleh pelayan pria sambil menunjukkan kesungguhannya.

“Tidak masalah.” Jawab Mario ramah, senyuman yang ia tunjukkan pada pelayan itu tak luput dari perhatian Laura.

Dia benar-benar tampan, sempurna. Hmm.... Batin Laura, hasrat dalam hatinya sedikit bergejolak. Ia merasa adrenalinnya semakin tertantang karena pesona pria itu.

Laura melangkah masuk, sontak membuyarkan perhatian Mario dan pelayan itu yang kemudian mengikuti langkahnya ke dalam ruangan. Wanita itu menempati sofa empuk kemudian meletakkan tas tangannya di atas meja, melipat tangannya pula. Tidak banyak kata yang ia ucapkan hingga sekilas terkesan dingin. Mario mengambil posisi duduk di sofa yang berhadapan dengan Laura, suasana yang terlampau tertutup itu membuatnya sedikit canggung.

“Buku menunya, silahkan tuan, nyonya.” Pelayan itu menyodorkan dua buku menu pada kedua tamu itu.

Laura membuka buku itu dengan malas, sebenarnya ia hanya perlu tempat tertutup untuk bicara ketimbang mengisi perutnya yang masih kenyang. “Hmm... berikan aku sebotol Wine saja.” Ujar Laura seraya menutup buku menu itu.

Mario melirik Laura sejenak, heran dengan pesanannya yang cukup minimalis. “Kenapa tidak sekalian pesan makanan ringan saja?” Mario tergugah untuk bertanya, namun sebelum Laura memberikan jawaban, ia malah sibuk menyampaikan pesanannya pada pelayan.

“Berikan aku lemon herb roasted potatoes, chicken cordon bleu, spicy tuna roll, minumnya samakan saja.” Timpal Mario seraya mengembalikan buku menu.

Laura tertegun mendengar pesanan pria itu, mungkin memang sudah saatnya jam makan siang atau dia ingin berbagi makanan dengannya. “Aku masih kenyang, kamu nikmati saja pesananmu.” Ujar Laura memberikan jawaban yang tertunda.

Mario terdiam menatap lekat Laura yang tengah menatapnya juga. Ruangan ini menjadi milik mereka berdua setelah pelayan itu berlalu.

Dilihat sedekat ini, dia begitu mempesona. Tapi dia siapanya Billy? Kenapa sikap mereka serta panggilan itu seakan hubungan mereka sangat dekat? Mario tak bisa menyimpan teka teki itu dalam hatinya, entah sudah waktu yang tepat untuk mempertanyakannya, yang pasti ia tidak akan bisa makan dengan tenang sebelum mendapatkan kepastian.

“Laura, senang bisa bertemu kembali denganmu. Tidak menyangka pula bertemu di kantor itu, apa Pak Billy kekasih anda?” Tanya Mario, terlalu blak-blakkan sehingga Laura terkesiap karena belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan yang terlalu terburu-buru itu.

Aku harus menjawab apa? Kenapa dia harus memulai percakapan dengan pertanyaan itu? Keluh Laura dalam hatinya yang tengah bergerumuh, dilema.

***

Download APP, continue reading

Chapters

136