Bab 14 PRIA BERMULUT WANITA

by Chantie Lee 00:00,Dec 08,2020
Laura mengolet manja sesaat setelah terjaga dari tidurnya. Rasanya tubuh wanita itu masih menuntut untuk beristirahat lebih lama lagi, tidur di kala hari beranjak pagi tentu tidak menjamin kualitas seperti ketika tidur malam. Agak malas sepasang mata Laura melirik jam dinding, ia harus tahu berapa lama ia berkelana di alam mimpi.
“Mimpi? Aku bahkan tidak merasa bermimpi.” Gumam Laura dengan suara serak khas orang bangun tidur. Jam dinding yang ada di atas TV layar datar di hadapan ranjang pun menjadi perhatiannya. Senyum Laura mengembang penuh, sedikit bersyukur lantaran ia tetap bisa beristirahat kurang lebih enam jam. Ia tak perlu melihat wajah Billy saat terjaga, pun tidak tahu apakah pria itu tidur bersamanya di kamar ini atau sama sekali tidak tidur dan bersiap berangkat kerja. Laura sama sekali tidak peduli.
Waktu sudah setengah hari, nyaris jam dua belas siang dan Laura bahkan belum mengisi perutnya sama sekali. Rasa lapar mendera perutnya, menagih jatah untuk segera diisi setelah nyaris semua isinya dikeluarkan malam itu. Membayangkan hal menjijikkan itu saja kembali memancing rasa mual Laura. Andai bisa, ia ingin melenyapkan memori tentang itu dari otaknya. Tapi seperti kenangan itu tidak terlalu buruk, nyatanya senyum Laura mengembang lagi saat teringat seseorang yang berkaitan dengan hal memalukan itu.
“Hmm... Apa dia mencariku?” Laura bergegas bangkit dari ranjang, ia bahkan belum menyentuh alat komunikasinya sejak tadi malam. Hatinya tak sanggup menampung rasa penarasan lebih lama lagi, ia ingin tahu dan menaruh banyak harapan bahwa Mario akan mengkhawatirkannya dan sibuk menghubunginya.
Tangan Laura terburu-buru mengobrak-abrik isi tasnya, ia tahu benda yang dicarinya ada di dalam sana. Bukan ia yang memasukkannya, namun Mario yang sudah repot-repot mengurus segalanya tadi malam. Matanya berbinar saat melihat benda yang ia cari itu sudah di tangannya, namun kembali redup ketika tahu ponselnya tak berguna sementara karena kehabisan daya.
“Huft... Menyebalkan.” Gerutu Laura seraya berdecak, ia bergegas mengisi daya ponsel dengan hati tak sabaran menunggu benda itu berfungsi lagi. Tanpa ia sadari satu kakinya terus bergoyang, menghentak pelan pada lantai yang dipijaknya. Laura sungguh geregetan dan merasa dipermainkan oleh ponselnya hingga benda itu menyala, barulah senyumnya berubah menjadi tawa kecil.
Banyak notifikasi menyerbu masuk begitu sinyal benda itu mulai aktif, manik mata Laura seakan bertambah besar ketika ia begitu serius mengamati siapa saja yang menghubunginya. “Cih, rupanya tidak jera juga usahamu. Ada maunya saja baru menjilatku, manusia memuakkan.” Ujar Laura geram saat mendapati puluhan pesan masuk dari Tania, membaca nama pengirimnya saja membuat ia jengah.
“Tapi mana pesan dia? Masa tidak khawatirin aku sama sekali?” Laura terus menscroll chat masuk berulang kali, padahal sudah jelas di sana tidak ada pesan atas nama Mario, tapi tetap saja sulit baginya untuk menerima kenyataan. Ia berdecak kesal dan tanpa ragu membanting ponselnya ke atas ranjang. Tak habis pikir mengapa pria itu bisa cuek kepadanya, minimal mengirim satu pesan bertanya kabarnya saja sudah membuat Laura cukup senang, nyatanya sepi tanpa dia.
Laura melirik ponselnya dengan kesal lalu memungut benda yang sudah dilemparnya tadi. Tanpa berpikir panjang karena sudah tersulut emosi, Laura segera membuka ruang pesan pada kontak Mario dan mengetikkan sesuatu dengan tergesa-gesa. Baru saja mengetikkan beberapa kata, Laura menghapusnya dan mengganti kata-kata yang dihasilkan dari sentuhan jempolnya.
“Aisshh... Menyebalkan!” Umpat Laura frustasi dan menyerah, dibantingnya lagi ponsel yang tidak bersalah itu hingga terpantul sekali di permukaan ranjang. Laura tak habis pikir, hanya karena seorang pria saja bisa membuat pikirannya begitu kacau dan serba salah. Ia tidak pernah repot memikirkan bagaimana cara menarik perhatian lawan jenis, selama ini para pria lah yang berjuang keras untuk mendapatkan hatinya.
“Kenapa kamu tidak perhatian? Padahal kamu tahu aku sakit tadi malam.” Lirih Laura merasa dirinya sangat memprihatinkan, ia begitu ingin dikhawatirkan oleh Mario. Namun ponselnya ramai oleh chat Tania dan grup sosialita yang tidak penting.
“Dia juga tidak mencariku, hmm....” Dia yang dimaksud Laura saat ini bukanlah Mario, melainkan suaminya yang biasanya sering mengirim pesan untuk sekedar menanyakan apa yang ia lakukan atau mengingatkan untuk makan. Sekarang dalam waktu bersamaan, dua pria itu seperti tengah menjauhinya.
Laura jengah terus berdiam diri, mengingat hari yang kian beranjak siang, ia tidak boleh terus menyia-nyiakan waktu. Senyumnya mengembang lagi saat sebuah ide yang baru diingatnya terlintas dalam benak, ia bergegas bangun dan berlari kecil menuju kamar mandi. Masih belum terlambat untuk memanfaatkan alasan yang ada di dalam kekuasaannya untuk menemui Mario. Jika tidak dicari, maka Laura lah yang akan mengusik pria itu. Tidak akan ia biarkan orang yang telah mengacaukan pikiran dan perasaannya bisa hidup tenang atau bahkan menjalani hari dengan lancar sementara ia kacau balau.
***
“Hei anak magang kemarilah.”
Mario yang tengah menyiapkan berkas yang diminta oleh Billy pun menghentikan sejenak kegiatannya, menoleh pada sumber suara yang sepertinya ditujukan kepadanya. Seorang wanita muda berpenampilan formal namun modis tengah menatapnya dan menunggu respon Mario untuk mendekatinya.
“Ada apa bu Yasmine?” Tanya Mario setelah mengangguk hormat kepada atasannya. Selama menjadi karyawan magang, Mario akan banyak berurusan dengan manager perusahaan itu. Kendati harus menahan rasa kesal lantaran wanita cantik itu enggan memanggil namanya padahal sebelumnya Mario sudah memperkenalkan diri, tetap saja sikap angkuh masih mendominasi sikap wanita itu.
Yasmine menunjuk setumpuk berkas yang ada di mejanya, senyumnya pun menyeringai sebelum ia buka suara. “Kerjakan berkas itu dan laporkan padaku paling lambat dua jam lagi.” Perintah Yasmine seenaknya.
Mario membalas senyum itu dengan tenang, “Oh baiklah, Bu.”
Yasmine melipat kedua tangannya dan mengamati dengan seksama postur tubuh atletis Mario yang seperti tercetak sempurna. Balutan kemeja putih dan celana kain hitam itu menambah kesan gagah, walaupun hanya sebagai anak magang, namun kharisma pria muda itu tidak kalah bersinarnya dengan CEO perusahaannya. Perlu usaha keras bagi Yasmine untuk mengulum senyum puasnya karena berhasil menyusahkan anak baru itu demi kepuasan pribadinya.
Mario sedikit membungkukkan badannya saat melewati tempat Yasmine berdiri. Tangannya sibuk membawa berkas yang akan menjadi pekerjaan di hari pertamanya di kantor ini. Mario sadar ekor mata Yasmine terus mengikuti gerakannya. Berbekal kemampuannya yang mumpuni sebagai seorang pengawal, tentu saja Mario punya kejelian yang lebih peka mengamati sekitarnya. Ia kembali duduk di bangkunya, mengamati kerjaan yang akan jadi mainan barunya sekarang.
“Hmmm....” Senyum Mario mengembang penuh, mungkin ia lebih pantas mengucapkan terima kasih kepada Yasmine ketimbang merutukinya karena sudah merepotkan. Pekerjaan yang diembankan kepadanya ternyata sangat menguntungkannya. Tak perlu menunggu lama, Mario sudah disuguhi laporan penting yang bisa ia ketahui dengan mudah tentang perusahaan Billy.
***
Laura menggigit jari telunjuknya, ingin cepat beranjak dari rumah namun masih tertahan di ruang gantinya dengan hati bimbang harus mengenakan pakaian apa. Beberapa setel baju ia keluarkan dan simpan kembali ke lemari, semudah itu ia berubah pikiran dan merasa semua koleksi pakaian mahalnya kurang menarik. “Sepertinya aku harus mampir shoping dan mengganti semua pakaian di lemari ini.” Gumam Laura, ia sungguh serius dengan ide nekadnya.
Akhirnya pilihan Laura jatuh pada blazer kasual dan celana jeans. Terlalu lama memilih namun ternyata ia malah asal-asalan mengambil pakaian itu. Biasanya ia kerap tampil elegan dalam balutan dress mahalnya, namun kini ia justru ingin lebih terlihat santai. Laura menyambar ponsel dan memasukkan ke dalam tas tangannya. Ia harus segera menuju satu tempat persinggahan sebagai modal untuk menyusahkan Mario.
“Kita lihat hukuman apa yang pantas untuk pria kecil sepertimu, huh!” Laura berjalan lincah keluar dari kamarnya, melupakan segala hal yang berkaitan dengan keperluan pribadinya – mengisi perut kosong misalnya. Sepasang kakinya lincah menuruni tangga menuju lantai dasar. Keadaan rumah yang selalu sepi karena hanya ada dua penghuni utama yang jarang mengisi waktu di rumah. Selebihnya hanya para asisten rumah tangga yang bisa dibilang sebagai pemilik pengganti rumah ini. Merekalah yang lebih banyak memanfaatkan rumah ini dan bersantai ketika pekerjaan telah selesai. Dan Laura tidak pernah ambil pusing, ia menutup mata dan membiarkan pembantu rumah tangganya leluasa selama tidak lalai dalam tanggung jawabnya.
“Siang nyonya, apa anda mau makan siang? Saya akan menyiapkannya.” Tanya Arini, pelayan muda yang berwajah manis dengan kulit kuning langsat khas wanita Asia. Ia langsung menyapa majikannya begitu melihat nyonya muda itu terburu-buru turun dari tangga.
Laura berhenti sejenak, menoleh pada pembantu mudanya itu. “Nggak usah deh, aku makan di luar saja. Nanti malam juga nggak usah siapin makan malam untukku. Oya, mana pak Udin?”
“Sepertinya ada di ruang belakang, sebentar saya panggilkan ya, Nyonya.” Ujar Arini sopan.
“Tidak usah, aku titip sampaikan aja ke dia, hari ini dia bisa libur. Aku mau nyetir sendiri.” Laura menghadang dengan cepat sebelum Arini melangkah meninggalkannya. Pelayan muda itu pun mengangguk paham dan mengantarkan Laura sampai ke depan pintu.
Laura berjalan girang menghampiri mobilnya, di dalam sana masih tersimpan harta karun yang harus ia bereskan dan kembalikan pada pemiliknya. Ia masuk dan duduk di kursi kemudi sambil bersenandung, menyalakan mesin mobil dan memastikan ulang kesiapan kuda besinya untuk meluncur bersama. Senandung kecilnya berhenti saat mendengar suara panggilan masuk dari ponselnya. Laura bergegas menghamburkan tangannya untuk meraih tas, hati kecilnya penuh harap kalau orang yang mencarinya adalah Mario.
“Eh?” Air muka Laura berubah sendu saat membaca nama pemanggil yang tertera di layar ponselnya. Seseorang yang tidak disangka akan mencarinya di saat yang tidak tepat, atau haruskah Laura akui bahwa ia sedang tidak ingin diusik oleh orang itu? Tetap saja ia tak kuasa menolak panggilan ini, dengan setengah hati Laura menerimanya.
“Halo pa.” Sapa Laura pelan kepada pria yang dihormatinya. Pria paruh baya bersuara bariton itu langsung menyampaikan maksud hatinya yang membuat dahi Laura berkerut.
“Harus sekarang? Ng... Tidak bisa ditunda besok pa? Aku ada urusan sekarang.” Pinta Laura bernegosiasi, berharap hati ayahnya bisa diluluhkan dengan rengekannya. Suara desahan nafasnya terdengar panjang dan berat, menandakan pertanda kalah dengan tuntutan pria tua itu.
“Baiklah, aku ke sana tapi setelah membereskan sedikit urusanku.” Ujar Laura lemah, sebelum pembicaraan dua arah itu benar-benar berakhir, ia masih mendengar penekanan dari ayahnya agar ia tidak mangkir dari janjinya.
Laura segera mengemudikan mobilnya, semangat yang awalnya menggebu pun mulai padam. Dalam hatinya tak habis pikir dan merutuki kebetulan ini, kenapa ayahnya harus memaksanya bertemu di saat ia ingin mengejar Mario? Untung saja fokus Laura sedikit teralihkan pada plastik hitam di samping jok kemudinya. Harta pusaka yang sangat berarti baginya kini dan bisa membuat senyumnya kembali mengembang. Ia menginjak pedal gas, menambah kecepatan agar segera keluar dari lingkungan perumahannya.
***
“Mbak, aku minta servis ekspress ya! Bisa kelar berapa lama? Satu jam? Satu setengah jam?” Desak Laura saat berhadapan dengan pelayan di tempat laundry.
Pelayan itu agak kesulitan menghadapi tingkah Laura yang penuh penekanan. Senyumnya setengah dipaksakan agar tetap ramah melayani pelanggan cerewet itu. “Kami usahakan paling cepat dua jam ya kak, soalnya banyak antrian juga.”
“Aku bayar lima kali lpat, selesaikan dalam waktu kurang dari dua jam, oke! Ketika aku kembali lagi, barangku sudah harus siap. Sampai ketemu nanti.” Ujar Laura dengan senyum seringai kemudian membalikkan badan seraya melambaikan tangan tanpa bersedia mendengar jawaban dari pelayan yang kebingungan itu.
***
Roberto Mu duduk di ruang tamu rumahnya, menunggu penuh cemas dan tidak akan tenang sebelum bertemu putri semata wayangnya. Jika saja kondisi kakinya memungkinkan, mungkin ia sudah mondar-mandir di depan pintu, menunggu penuh harap di sana. Sayangnya sepasang kaki tuanya mulai kehilangan tenaga, tak sekokoh dulu, tak sanggup lagi menopang berat tubuhnya.
Suara mobil tertangkap indera pendengarannya, seketika itupula senyum Roberto Mu mengembang. Hati kecilnya berkata bahwa yang datang saat ini adalah Laura, putri yang dinantikannya. Ia berdiri dengan perlahan, mencegah ngilu yang terjiplak pada telapak kakinya saat menapak. Ekor matanya menangkap sosok Laura yang berjalan anggun masuk ke ruang tamu, mendekatinya.
“Apa kabarmu pa? Nggak usah repot berdiri menyambutku kalau memang sakit.” Sapa Laura kemudian mempercepat langkahnya menghampiri pria tua itu sebelum dia melangkah mendekatinya.
“Duduklah di dekat papa, in tidak terlalu sakit kok. Tapi hati papa yang sakit.” Ujar Roberto Mu blak-blakan.
Laura mengerutkan dahi, sepertinya ia bisa mengendus arah pembicaraan yang kurang menguntungkan posisinya sekarang. Entah atas dasar apalagi ia akan mendapatkan ceramah dari ayah kandungnya.
“Ada apalagi sih pa?” Tanya Laura sewot seraya memijit pelan pelipisnya.
Roberto Mu menatap lekat pada wajah Laura, berusaha mencari kejujuran dari manik mata teduh itu. “Kamu mabuk lagi? Sejak kapan kamu mulai datang ke bar lagi?” Hardik Roberto enggan berbasa-basi.
Laura menatap balik Roberto dengan serius, bukan sekedar kesal pada pria itu karena ia tahu siapa dalang di balik amarah ayahnya. “Billy yang kasih tahu papa?” Laura bertanya balik.
“Tidak penting papa tahu darimana, yang pasti papa tidak suka kamu kembali pada kebiasaan burukmu! Kamu ini sudah jadi istri orang, tahu dirilah dan lakukan kewajibanmu. Hentikan sifat jelekmu dan segera berikan papa cucu.”
Tawa Laura pecah saat mendengar satu orang lagi yang mendesaknya melakukan hal yang menyiksa batinnya. “Hebat banget si Billy dalam satu malam bisa menghasut papaku untuk mendukungnya. Dasar pria bermulut wanita!” Gerutu Laura, geram sekaligus marah pada suaminya yang mulai melebihi batas. Laura tak habis pikir mengapa Billy harus mengadu pada ayahnya? Jelas dia tahu kondisi ayahnya dan seharusnya menghindari berita buruk untuk sampai ke telinganya. Namun yang Billy lakukan justru memprovokasi ayahnya sehingga berdampak pada hubungan Laura dan Roberto, dan semua itu sudah terlanjur terjadi.
“Laura Mu!” Hardik Roberto dengan suara keras seraya menggertakkan gigi. Laura sungguh memancing emosinya untuk marah dan merasakan kembali sesak di dalam dadanya.
***

Download APP, continue reading

Chapters

136