Bab 13 DUA PRIA DI ANTARA SATU WANITA

by Chantie Lee 18:32,Dec 06,2020
Kamu tahu, hal yang paling sia sia di dunia ini adalah ketika kamu mencoba menjelaskan sesuatu yang penting kepada orang mabuk. Percuma saja, kamu hanya buang waktu. Dia tidak akan mendengar atau bahkan mengingatnya. Dan kamu harus kembali menyampaikan hal itu padanya ketika ia bertanya dan mengelak bahwa kamu sudah pernah mengatakan itu sebelumnya. Cukup aku saja yang merasakannya, wanita itu sunggung merepotkanku. Tapi... Tampaknya aku tak keberatan direpotkan oleh dia.

_Suara hati Mario_

***
Laura masih membisu dengan perasaan tak menentu, antara rasa bersalah serta rasa bingung. Haruskah ia minta maaf karena keegoisannya membuat Mario harus melontarkan pengakuan yang menyedihkan?
Nyatanya bibir ini terasa kelu, jangankan untuk berucap kata, bahkan untuk sekedar membuat lekukan tipis saja tidak bisa.
"Aku pergi dulu, kunci mobil dan barang lainnya ada di atas meja." Ujar Mario, sekali lagi berpamitan dan kali ini serius.
Laura hanya bisa mendongak untuk mengantar kepergian pria muda itu hingga punggung kekarnya menghilang seiring pintu yang kembali tertutup rapat. Tangannya menyentuh di depan dadanya lalu meremas kain dress yang ia kenakan dengan kuat. Ada sesak di dalam saja yang tidak bisa terjamah hanya dengan sentuhan dari luar. Sesak yang nyatanya sempat hilang sejenak ketika ia bersama pria itu, lalu muncul lagi pria itu pergi.
"Tidak punya rumah, memangnya kamu tinggal di hutan?" Ujar Laura, masih memikirkan kata-kata Mario yang cukup membekas itu.
Laura mengedarkan pandangannya ke sekeliling, kamar hotel ini hanya kelas biasa, tapi Laura tidak mengeluarkan uang untuk memesannya. Senyum getirnya mengembang saat melihat handuk putih kecil itu menjadi saksi bahwa ia telah menyinggung hati pria penolongnya. Tak ingin berlama-lama di tempat sepi dan sendirian, Laura pun beranjak dari ranjang, berjalan pelan menuju kamar mandi. Setidaknya ia harus pulang dalam keadaan rapi, pantang baginya terlihat lusuh di mata siapapun. Tapi sayangnya ia melanggar pantangan yang diciptakannya itu di hadapan Mario.
Air dari keran wastafel mengucur deras saat dibuka maksimal, Laura mencondongkan tubuhnya agar lebih mudah meraup wajah. Ia perlu sentuhan air dingin untuk mengumpulkan tenaga dan semangat yang berceceran entah ke mana.
“Ah....” Desisnya lega seraya menengadahkan kepala, membiarkan air di wajahnya mengalir turun ke leher. Puas dengan siraman air dingin itu, Laura pun menoleh ke samping mencari handuk untuk mengeringkan wajahnya. Sepasang mata lentiknya menyipit saat melihat benda lain yang lebih mencolok di gantungan handuk. Laura berjalan mendekatinya kemudian mengambil jaket hitam itu, pemiliknya pasti melupakan keberadaannya di sini. Senyum Laura mengembang, tangannya sibuk membolak-balik jaket itu kemudian mendekatkannya ke hidung. Seketika itu pula ekspresi wajahnya terlihat mengenaskan, reflek ia menjauhkan pakaian itu dengan dua jarinya. Terkesan jijik dan risih, jika tidak mengingat siapa pemiliknya dan mengapa menjadi beraroma tak sedap, mungkin Laura tidak akan berpikir dua kali untuk membuangnya.
“Hmm... Kamu pulang tanpa jaket gara-gara aku... Baiklah pria kecil, kamu pantas mendapatkan hadiah dariku.” Gumam Laura girang, ia menemukan alasan yang tepat untuk pertemuan selanjutnya.
***
Billy memelankan gerakannya ketika membuka pintu kamar, khawatir jika kedatangannya mengganggu tidur Laura. Pulang dengan rasa bersalah saja sudah sangat membebani hatinya, apalagi jika sampai mengusik istirahat wanita itu di waktu yang paling pulas. Billy menghela napas lega saat berhasil masuk ke dalam kamar dengan tingkat kebisingan seminimal mungkin. Kondisi kamar yang tampak sama seperti sebelumnya, penyejuk ruangan pun tidak dalam keadaan berfungsi. Hal yang tak lazim terjadi jika ada penghuni di dalam kamar ini.
Kecurigaan itu membuat langkah Billy yang tadinya pelan mulai dipercepat menuju ranjang. Tangannya terlujur lalu menyalakan lampu tidur di atas meja, sepasang matanya terbelalak saat kecurigaannya terbukti. Ranjang itu tampak kosong dan rapi, tidak ada jejak dipakai oleh penghuni lain di kamar ini. Billy berdecak, tertawa kecil dan menempatkan dirinya duduk di tepi ranjang. Ia tak habis pikir, dirinya terlalu naif mengira akan mendapati istrinya di sini. Nyatanya, ia justru mendapati dirinya yang konyol, bertemankan kesepian dan hampanya ruangan besar itu.
“Kenapa kamu sangat marah hanya karena aku meminta hakku? Apa yang membuatmu sulit menerima kenyataan bahwa kamu memang harus melahirkan keturunan untukku? Kamu terlalu egosi....” Lirih Billy, menyuarakan isi hatinya yang belum tersampaikan pada wanitanya.
Billy menundukkan kepala, kedua tangannya beberapa kali menjambak kasar rambut pendeknya. Berharap isi kepalanya yang kusut bisa terurai dan berhenti membebaninya. Mungkin ia yang terlalu berharap dari pernikahan ini, kenyataannya hati Laura belum sepenuhnya jadi miliknya. Hanya tubuh wanita itu saja yang bisa ia miliki dan mendapatkan jatah kenikmatan darinya, tapi sekarang Billy mulai ragu, mungkin tubuh itupun akan terlepas darinya.
Suara pintu dibuka membuyarkan pikiran kusut Billy, sontak kepalanya yang menunduk itu menengadah dan sepasang matanya melirik sendu pada sosok wanita yang berdiri di ambang pintu. Entah mengapa Laura mengurungkan niatnya untuk masuk, setelah melihat di dalam sana suaminya duduk dan menyorotinya dengan tampang frustasi. Banyak tanda tanya yang menari dalam pikiran Laura, apa mungkin sejak tadi Billy terus menunggunya? Laura bahkan lupa menghitung waktu, berapa lama ia meninggalkan pria itu lalu kembali dan mendapatinya tengah frustasi begini.
Sepasang kaki jenjangnya melangkah gemulai masuk lalu merapatkan kembali pintu. Bagaimanapun ia masih nyonya rumah sekaligus pemilik kamar ini, terlepas dengan siapa ia membagi ruangan bersama, ia tetap punya hak untuk menempatinya. Tanpa berniat menyapa atau sekedar menunjukkan basa basi, Laura justru masuk ke ruang ganti, tak sabar untuk melepaskan bukti kenakalannya yang masih membekas jelas bau alkohol.
Billy beranjak dari duduknya kemudian berjalan cepat menyusul langkah Laura. Tidak sulit untuk mengejarnya, ia menarik tangan Laura dari belakang hingga tak bisa lagi meneruskan langkah. Laura cukup terkejut namun tidak memberontak, ia bahkan enggan berpaling ke belakang, sebisa mungkin menghindari adu tatap dengan Billy.
“Habis dari mana kamu? Kamu nggak tahu ini jam berapa?” Billy berusaha sebisa mungkin menjaga intonasi suaranya tetap lembut, meskipun harus mengorbankan perasaannya yang tercabik melihat perbuatan istrinya yang mulai keterlaluan.
Laura membisu, masih terlalu berat hati untuk meladeni pertanyaan suaminya. Meskipun ia tahu sewajarnya pria itu khawatir bahkan memarahinya, namun hatinya tetap tidak terima. “Aku sudah dewasa, tidak perlu dihakimi apapun yang sudah aku lakukan.” Jawab Laura dengan posisi membelakangi Billy.
“Jangan lupa, kamu sudah berstatus istriku! Aku berhak tahu ke mana dan apa yang dilakukan istriku di luar sana.” Balas Billy tak kalah tegas.
Tangan Laura yang masih dalam cengkerama Billy pun meronta, perasaan risih menjalarinya sehingga merasa enggan disentuh oleh pria egois itu. Billy melepaskannya saat tahu kode wanita itu yang ingin melepaskan diri. Laura memutar posisi tubuhnya hingga berhadapan dengan Billy, mereka bersitatap dengan beberapa detik hinggi Billy mempertajam indera penciumannya dan mengendus di dekat pundak Laura. Sontak Laura mundur agar tidak menyenggol tubuh suaminya.
“Oh, habis dari tempat lamamu? Sama siapa, hmm?” Tanya Billy ketus, tidak perlu mendengar jawaban Laura lagi, ia sudah bisa menebak tempat pelarian wanita itu yang tak jauh dari dunia malam.
Laura mencebik, sedetik kemudian tawa seringainya terdengar seakan apa yang dikatakan suaminya adalah sebuah lelucon garing. “Kamu memang sangat cerdas, kalau sudah tahu untuk apa repot bertanya? Sudahlah, aku capek... Jangan ganggu aku dulu.” Ketus Laura kemudian membalikkan tubuhnya lagi, hendak meraih gaun tidur yang nyaman dan menikmati empuknya ranjang. Tetapi Billy tidak membiarkan angannya terwujud semudah itu, tangannya meraih pinggang ramping Laura ke dalam pelukannya.
Dagu runcing Billy bertumpu pada pundak tipis Laura. Sepasang tangan kekarnya melingkari perut Laura, mengunci tubuhnya agar tidak bergerak sedikitpun. Laura memejamkan matanya, menahan diri sejenak agar bisa sabar dengan kondisi ini. Ia sedang tidak ingin disentuh dan sikap Billy saat ini berpotensi menggiring mereka pada akhir yang tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Laura bersiap memberontak andai Billy beraksi menggodanya untuk bercinta. Sungguh ia tidak siap untuk saat ini.
“Aku minta maaf, tidak seharusnya aku seegois itu padamu. Kita bisa bicarakan in dari hati ke hati, aku perlu tahu apa yang membuatmu ragu untuk kita memiliki anak? Apa kamu masih tidak yakin dengan pernikahan kita?” Lirih Billy, masih dengan posisi bertumpu pada pundak Laura.
Laura menggeliat berusaha melepaskan pelukan itu. Usaha kerasnya tidak berhasil karena Billy tak bersedia melepaskannya sebelum mendengar jawaban apapun darinya. “Aku udah bilang kan, aku capek. Bisa nggak kamu biarkan aku istirahat? Aku nggak mood bahas masalah ini sekarang!”
Barulah tangan yang melingkar di perut Laura merenggang dan terlepas sepenuhnya. Billy tahu diri bahwa ini bukan saat yang tepat untuk memaksa Laura, meskipun ia berhak mengetahui apa keluh kesah istrinya. Tetapi sayangnya ketika berhadapan dengan wanita berkuasa itu, Billy tampak seperti butiran debu yang hanya menyakitkan mata.
“Aku ini....” Billy menggantung katanya, tersenyum getir sebelum melanjutkan semuanya. Berharap bisa mendapatkan perhatian Laura dengan kata-kata yang menimbulkan rasa penasaran, tapi nyata Laura malah sibuk menanggalkan pakaian yang dikenakannya.
“Sebenarnya aku ini siapa bagi kamu? Aku suamimu kan? Kenapa kamu bersikap seakan aku ini orang lain?”
Laura terpancing pertanyaan bernada pesimis itu, gaun malam yang masih di tangannya pun jadi pelampiasannya. Ia remas kain lembut itu sembari memikirkan jawaban yang sesuai hatinya, mencoba jujur pada dirinya sendiri sebelum jujur pada orang lain. Laura pun bingung dengan perasaannya, sebenarnya apa yang ia rasakan pada Billy? Kenapa hati ini seolah menciptakan jarak dengan pria itu? Padahal Laura berstatus resmi sebagai istrinya, namun mengapa sulit membalas ketulusan pria itu?
***
“Mario... Tunggu!”
Langkah Mario yang hampir sampai parkiran motor pun terpaksa berhenti saat mendengar suara yang ia kenali memanggilnya dengan nyaring. Brenda terlihat berlari kencang dengan satu tangan yang melambai, seperti hendak menggapainya. Terpaksa Mario harus meluangkan sedikit waktu demi wanita itu, meskipun ia bisa menebak apa yang hendak Brenda katakan padanya. Tetapi memberinya kesempatan untuk menyampaikan langsung dan bertatap muka dengannya kali ini, tentu tidak ada salahnya. Karena mungkin ini menjadi kali terakhir mereka bertemu.
“Atur nafasmu dulu baru bicara, Bren.” Ujar Mario saat Brenda berhenti tepat di hadapannya, tersengal-sengal dan hendak bersuara namun gagal saat mendengar komentar Mario.
Brenda menelan salivanya dengan susah payah, ia sudah mengekori Mario sejak pria itu keluar dari ruang administrasi. Dengan wajah memucat dan berkeringat, ia pun tak bisa menunggu lebih lama lagi, nekad bicara walau nafas tak beraturan. “Kamu serius mau cuti? Kenapa mendadak banget?”
Mario tersenyum tipis, tebakannya jitu seakan bisa membaca pikiran wanita itu. Sama halnya dengan intuisinya yang jelas menebak bahwa dalam beberapa menit kemudian, ia harus menghadapi tantangan besar di depan matanya. Bagi Mario lebih baik ia menghadapi sepuluh pria yang mengeroyokinya, beradu otot sekalipun, daripada disuruh meladeni seorang wanita yang menguji kesabaran hatinya yang tak sejalan dengan logika.
“Ya, begitulah Bren.”
“Tapi kenapa? Masa sih gara-gara diusir sama dosen kemarin, trus kamu ngambek dan mau cuti dua semester? Nanti pas udah masuk juga bakal ketemu dia lagi kok, kan itu mata kuliah wajib.” Tanya Brenda dengan raut wajah sedih, kecewa dan rasa tak percaya yang tak bisa ia tutupi.
Mario menatap Brenda tetapi hanya sesaat, tak sanggup melihat sinar mata wanita itu yang mulai berkaca-kaca. Ia cemas jika salah bicara maka akan membuat Brenda hujan air mata. Hanya saja ia tak habis pikir dengan cara berpikir Brenda yang sangat sempit, tak masuk akal jika hanya karena kesal dengan seorang dosen lalu ia memutuskan cuti. “Bukan karena itu kok, Bren. Ada urusan penting yang harus aku prioritaskan sekarang. Aku tidak bisa membagi waktu dengan kuliah jika mau fokus urusan itu.”
“Urusan apa? Kamu lagi ada masalah? Ceritain aja, apa kamu kurang dana? Ng... Kalau soal itu, aku....” Belum selesai Brenda menyelesaikan pembicaraannya, Mario sudah menginterupsinya.
“Bukan karena itu kok Bren, tenang saja. Ini urusan keluarga, aku tidak bisa terbuka sepenuhnya. Makasih ya selama ini kamu banyak bantu aku, jaga diri baik-baik ya.” Gumam Mario, hendak mempersingkat waktunya yang sudah mepet. Ia harus bergegas ke kantor jika tidak mau terlambat di hari pertama magangnya.
Raut wajah Brenda tampak kecewa, ia sadar diri tidak bisa berbuat apa-apa untuk menggagalkan niat Mario yang sudah mantap. “Kita masih bisa ketemu kan? Aku boleh kan hubungin kamu kalau lagi senggang?”
Mario mengangguk pelan, menampakkan senyum tipisnya yang cukup meyakinkan. “Tentu saja, Bren. Aku duluan ya, sorry aku lagi buru-buru.”
Brenda menatap lekat pada Mario, seperti tatapan yang tak rela melepas kekasihnya pergi jauh. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi selain mengikhlaskan pria tampan itu berjalan menjauh darinya. Ekor mata Brenda tetap mengikuti arah Mario berada, terus mengamati bahkan saat pria itu mengenakan helm full face-nya.
Mario melajukan motor sportnya dengan kencang, menembus celah di atas jalanan yang cukup renggang. Ia tak pernah bersemangat seperti saat ini, kesempatan yang sudah ia incar sekian lama tidak akan ia lepaskan begitu saja. Tak peduli harus mengorbankan pendidikannya saat ini, bagi Mario pekerjaan ini jauh lebih penting dari apapun.
“Ayah, ibu... Akan ku balaskan dendam kalian!”
***

Download APP, continue reading

Chapters

136