Bab 15 TEMUI AKU, AKU PERLU KAMU!

by Chantie Lee 00:00,Dec 09,2020
Bentakan keras dari Roberto Mu masih membekas dalam hati Laura. Ia begitu tercabik di dalam sana, sayatan luka yang baru ditorehkan ayahnya pun berkeping-keping menusuk tajam. Layaknya serpihan kaca pecah yang partikelnya sanggup melukai mesti halus bagai debu. Laura menatap lekat pada ayahnya tanpa berkedip, ia mengenal betul watak ayahnya yang jika marah hingga menyebut nama panjangnya, itu berarti pria paruh baya itu tak berkenan toleransi lagi.
“Kenapa papa? Kenapa memilih di pihak pria itu dibanding aku yang jelas-jelas putrimu!” Pekik Laura yang enggan mengkondisikan volume suaranya. Ia tahu dengan siapa ia berhadapan namun hati kecilnya tetap kalah dengan provokasi dari pikirannya yang terlanjur kusut.
Roberto menghubuskan tatapan tajam pada Laura, tetap bersikukuh menunjukkan egonya sebagai orangtua. Ia merasa berhak mengatur kehidupan putrinya selama masih ada ikatan di antara mereka. “Kamu sudah menikah, kamu sudah dewasa dan cukup tahu apa kewajiban orang yang sudah menikah. Masa perlu papa ingatkan terus tentang kewajibanmu sebagai seorang istri? Sadar dirilah, umurmu sudah lebih dari cukup untuk jadi seorang ibu. Papa sudah cukup bersabar membiarkanmu melajang penuh kebebasan, tapi setelah menikah kamu tidak boleh merasa seperti wanita lajang. Kamu sudah terikat pernikahan, ingat itu!”
“Cukup pa! Laura muak dengan ocehan papa!” Ketus Laura menginterupsi, jika tidak ia lakukan maka Roberto pasti akan melanjutkan ceramah menusuk batinnya.
“Papa akan diam kalau kamu jadi anak yang nurut!”
Laura menatap tajam ayahnya dengan sepasang mata yang berkaca-kaca. Butiran bening yang masih menggantung pada muaranya itu tinggal menunggu waktu untuk jebol dari bendungannya. Selama ini ia tidak salah menilai, di dunia ini belum ada yang mengerti dirinya. Bahkan satu-satunya orang yang memiliki ikatan darah dengannya pun tidak memiliki ikatan batin yang kuat kepadanya. Laura semakin pesimis dengan kehidupannya, jauh dari kebahagiaan, meskipun sekujur tubuhnya dihiasi dengan benda berlabel mahal, tabungannya mungkin tidak habis digunakan hingga beberapa keturunan meskipun ia tidak bekerja, namun ia tetap merasa miskin. Hatinya tidak punya apapun yang bisa dibanggakan, tak ada cinta yang tulus untuknya sekalipun itu dari dua pria yang merasa memilikinya – ayah dan suaminya.
“Apa memang sesulit itu untuk jadi anak kesayangan papa? Apa harus ada syarat mutlak? Bahkan sampai usiaku sekarang, aku masih merasa seperti bocah di hadapanmu, pa! Kapan papa bisa mempercayai aku untuk mengambil segala keputusan dalam hidupku? Tidak cukupkah pengorbananku dengan menuruti pria pilihan papa sebagai suamiku? Hah? Pernahkah papa bertanya, apa aku bahagia dengan pernikahan ini? Aku tidak bahagia pa!” Pekik Laura kencang, ia tak peduli lagi harus bersimbah air mata yang hampir merata di permukaan kulit wajahnya.
Roberto tercengang dengan pengakuan mengejutkan putrinya. Ia tidak pernah menyangka tujuan baiknya memilihkan calon pria terbaik yang ia percaya bisa membuat Laura bahagia, justru menjadi sumber penderitaan hidup wanita itu. “Bukankah Billy pria yang baik? Dia memperlakukanmu dengan baik kan? Apa lagi yang kurang dari dia? Masa depanmu akan cerah bersama pengusaha yang bisa sukses di usia muda itu.” Ujar Roberto masih menyangkal dari keputusannya yang telah menjerumuskan Laura dalam ketidak bahagiaan.
Laura kian berang dan nanar menghadapi ayahnya. Sikap pria itu yang menjaga harga dirinya terkesan sangat memuakkan. Mengapa terlampau sulit bagi ayahnya menanggalkan sedikit ego dirinya, mengakui bahwa ia pernah melakukan kesalahan besar yang mengakibatkan hidup Laura menderita?
“Apa papa pikir hanya bermodal baik saja sudah cukup untuk menikahi seseorang? Apa pernah papa berpikir, kebaikan seperti apa yang dia lakukan? Aku perlu modal yang lebih dari sekedar baik, aku perlu cinta pa! Cinta!” Balas Laura, jika ayahnya bersikukuh dengan ego, maka ia pun akan berlaku sama.
Roberto mengangkat satu alisnya, menelaan kata ‘cinta’ yang dikeluhkan putrinya. Senyum tipisnya pun mengembang, sebagai orang yang jauh lebih berpengalaman, ia cukup optimis bahwa cinta akan datang seiring waktu dan kebiasaan. Laura hanya perlu sedikit bersabar, kelak ia pasti akan mendapatkan cinta yang dicarinya dari sosok suaminya sekarang – Billy.
“Itu lumrah, banyak pasangan yang menikah karena perjodohan yang akhirnya bisa saling menerima dan mencintai seiring waktu. Kamu hanya perlu bersabar dan sedikit membuka hatimu. Biarkan Billy membuatmu jatuh cinta, kalau kamu terus mangkir dari perhatian yang dia berikan, kapan kalian baru bisa sepaham dan sehati?” Lanjut Roberto dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya, mencoba membujuk hati Laura.
Laura tersenyum seringai, percuma rasanya menghabiskan waktu di sini. Semakin lama tuntutan ayahnya membuat ia setengah gila, sebelum kewarasannya sampai pada titik terendah. “Apa hanya itu tujuan papa memanggilku kemari? Kalau sudah tidak ada hal lain yang perlu dibahas, aku pergi dulu. Jaga kesehatanmu!”
Roberto diam, mengawasi gerak-gerik Laura yang sudah membalikkan tubuh. Berjalan cepat dan meninggalkan suara hak sepatunya yang semakin menjauh. Pria tua itu menghela nafas kasar saat tak mendapati jejak bayangan Laura di pelupuk matanya. Ia perlahan menduduki sofa lagi, bersandar seraya menatap langit-langit ruang tamu.
“Apa benar aku yang salah?”
***
Nyaris lima belas menit sudah Mario berdiri sebagai pendengar pasif di dalam ruangan Billy. Kehadirannya bagaikan tidak terlihat sehingga bos pemilik perusahaan ini serta tangan kanan intinya sibuk dalam percakapan dua arah. Mario sesekali menyunggingkan senyum sinis yang pastinya tidak diketahui oleh dua orang itu, perhatian mereka tidak tertuju padanya untuk saat ini dan kondisi itu jelas sangat menguntungkan bagi Mario.
‘Baguslah, aku bisa leluasa mendengar tanpa repot dimintai pendapat.’ Gumam Mario bersorak senang dalam hatinya.
“Lalu bagaimana dengan pengiriman senjata dari Rusia oleh rekan kita?” Tanya Billy seraya mengatupkan dua tangannya dan bertumpu di atas meja. Tatapannya tajam bagai pedang bermata dua yang bisa melukai dari dua sisi, mungkin saja bisa melukai siapapun yang beradu tatap dengannya.
Pengawal Gu berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan rahasia itu, pasalnya di tengah mereka ada kehadiran Mario yang benar-benar awam masalah bisnis sampingan Billy yang satu ini. Lirikan mata pengawal Gu disoroti oleh Billy yang rupanya cukup peka mengartikan isyarat itu. Suasana hening sekejap, lirikan dua pasang mata itupun beralih menatap Mario yang sejak tadi hanya mematung. Billy menatap lekat pada Mario, melakukan penilaian subjektif yang didasari dengan instingnya saja.
“Jangan hiraukan dia, aku yakin dia anak buah yang tahu diri.” Ujar Billy menjawab keresahan pengawal Gu yang tidak terucap kata namun bisa ditafsirkan dengan isyarat mata.
Pengawal Gu langsung membungkuk hormat dan patuh, “Baik tuan. Rekan Jack sudah mengonfirmasi bahwa kiriman itu akan tiba dalam bulan ini. Pihak mereka juga menuntut kita untuk menyiapkan pembayaran melalui pria yang terhubung (seorang rekan) yang mereka kirimkan kemari nantinya.”
Billy manggut-manggut seraya tersenyum sinis, “Bukan masalah besar soal itu. Mario, tugasmu di sini adalah membuat laporan keuangan palsu untuk menutupi kas pembelian senjata kita. Ambil dana dari perusahaan dan bikin laporan palsu, anggap saja ini untuk membeli bahan baku perusahaan. Mengerti?” Titah Billy tegas.
Mario yang akhirnya mendapatkan peran penting dari transaksi ilegal ini langsung mendongak dan berwajah serius. Badan atletisnya sedikit membungkuk dan terpaksa harus berpaling sejenak dari pengamatannya terhadap mimik wajah Billy. “Siap pak!” Jawab Mario lantang.
‘Pria ini tidak hanya licik, tapi pandai bersandiwara. Ekspresinya begitu mudah berubah seperti orang yang punya dua kepribadian. Dia benar-benar terlatih dalam bersikap, layaknya memakai topeng.’ Gumam Mario yang semakin mengenali sosok bos muda yang tengah ia hadapi itu.
Billy tersenyum seringai, menatap penuh kepuasan pada Mario. “Bagus, kamu pasti bisa diandalkan. Ingat, jangan sampai karyawan lain terutama bagian keuangan perusahaan curiga dengan laporan yang kamu buat. Harus masuk akal, mengerti?”
Lagi-lagi penekanan dengan kata ‘mengerti’ itu terlontar dari bibir Billy, terdengar semakin mengesalkan Mario. Namun sekesal apapun ia saat ini kepada pria itu, Mario hanya bisa memendam perasaannya dan mengikuti alur yang ada.
“Mengerti tuan.”
Mario kembali melirik ke arah Billy saat dirinya sudah tidak disoroti lagi. Sepasang tangan Mario mengepal kencang, betapa geram ia pada pria muda itu. ‘Pria berotak licik, ternyata terjun ke dunia mafia juga. Cih....” Umpat Mario, menggeram dalam hatinya.
Getaran yang terasa jelas mengusik di bagian pahanya membuat Mario sedikit bergerak risih. Ponselnya yang disetel senyap dan bergetar itu tengah beraksi, menandakan ada panggilan masuk yang mendesak untuk segera direspon. Mario menempelkan tangannya di bagian saku tempat menyimpan benda pipih itu, berharap cengkeraman tangannya bisa mengurangi efek getaran itu. Entah siapa yang mencarinya, padahal ia tidak banyak memiliki kontak pertemanan di nomor pribadinya.
“Ya sudah. Kembali ke posisi kalian masing-masing, jika ada perkembangan apapun segera laporkan.” Ujar Billy yang mengibaskan tangannya ke udara sebagai kode bahwa pertemuan pribadi mereka bertiga sudah berakhir dan ia ingin kembali sendiri.
Pengawal Gu dan Mario serentak membungkuk hormat kemudian meninggalkan ruangan itu. Ketika membalikkan badan, Mario bernafas lega karena ia bisa segera memeriksa siapa yang sejak tad tidak berhenti meneror ponselnya. Panggilan itu terus mendesak untuk ditanggapi, jika dibiarkan lebih lama lagi mungkin getaran itu akan membuat kaki Mario kram sebelah.
“Ada apa?” Tanya pengawal Gu yang melihat raut wajah Mario yang mengerut.
Mario tersenyum kikuh sembari merogoh ke dalam saku celananya, mengeluarkan benda yang jadi sumber masalah sejak tadi. “Tidak apa-apa tuan, hanya ada panggilan masuk saja. Saya permisi dulu untuk menerima panggilan ini.” Ujar Mario kemudian mengangguk sebentar pada pria yang lebih tua darinya itu lalu berlari kecil untuk mencari tempat yang lebih privasi.
Suara decak Mario terdengar nyata saat membaca nama kontak yang tertera di layar ponselnya. Si pengacau kecil itu rupanya sudah bangun dan mengusiknya, setelah hampir setengah hari tidak berurusan dengannya. Bahkan Mario pun sengaja diam, enggan menghubunginya walau ada rasa penasaran dan khawatir tentang keadaan wanita itu. Tapi ternyata si pengacau kecil itulah yang lebih tak tahan didiamkan dan mulai merusuhi dirinya.
Getaran ponsel di tangannya membuat kesadaran Mario terkumpul lagi. Sedari tadi ia malah menjadikan nama Laura sebagai objek lamunan. Mario menggeser tombol telpon hijau pada layar ponselnya lalu menempelkan benda pipih itu di telinganya.
“Satu kali lagi aku menghubungimu dan tidak diangkat juga, aku hampir saja akan naik mencarimu sendiri!” Gerutu suara Laura dari seberang.
Mario mengerutkan dahinya, berusaha menahan diri agar tidak menimbulkan suara tawa kecil. “Ada apa? Memangnya kamu ada di mana?”
“Di tempat parkir kantormu! Datang dan temui aku sekarang!”
Mario tersentak lalu reflek menoleh ke sekeliling seakan hendak mengecek situasi, kemudian setengah berbisik membalas wanita itu. “Untuk apa datang? Jangan mengganggu aku sedang kerja, ini hari pertamaku magang. Aku tidak mau bikin ulah.”
“Aku tidak peduli, kalau kamu mengabaikanku maka aku akan naik ke atas sekarang.” Ancam Laura terdengar serius.
Mario memijit pelipisnya, heran dengan sikap wanita itu yang selalu mau menang sendiri dan semaunya. “Aku masih kerja, nggak bisa temui kamu dulu.” Rayu Mario mencoba mendapatkan pengertian dari Laura.
“Temui sekarang atau aku yang naik ke atas sekarang juga!?” Kecam Laura tak kenal kata menyerah untuk memenangkan adu egois ini. Ia harus menang dan pasti menang, tidak peduli siapapun yang ia hadapi saat ini.
Mario menghela nafas kasar, memutar otak dengan cepat agar bisa mendapatkan win-win solution. “Aku tidak akan datang, kalau kamu mau menunggu silahkan hubungi lagi pada jam empat siang. Jam saat aku pulang kerja, paham!” Ujar Mario mengecam balik, ia pun bisa menunjukkan keegoisannya.
Tawa kecil Laura terdengar menggelitik gendang telinga Mario, jelas-jelas ia sudah bersuara tegas namun mengapa malah dianggap seperti lawakan. “Jadi kamu udah pintar bernegosiasi sekarang? Baru kerja satu hari tapi sudah jago menggertak lawan, hebat juga kamu cepat belajarnya. Baiklah aku terpaksa setuju, tapi tidak semudah itu. Ada syaratnya!”
“Apa?” Tanya Mario dengan cepat sebelum mendengar embel-embel lagi dari wanita itu.
“Traktir aku makan! Aku belum makan dari pagi, siang hanya karena nungguin kamu. Nanti jatah makanku akan dijadikan satu, aku mau makan enak dan kamu yang harus mentraktirku!”
Suara manja Laura terdengar melenakan Mario, ada rasa tidak tega saat mengetahui wanita itu membiarkan perutnya kosong nyaris seharian. Padahal tadi malam wanita itu sakit dan memuntahkan isi perutnya. “Baiklah, tapi aku juga punya syarat!”
“Hei, kamu berani mengancamku? Kenapa ikut-ikutan mengajukan syarat? Dasar tidak kreatif!” Pekik Laura kesal.
Mario mengulum senyumnya, tetap menjaga gengsi diri agar dinilai tegas oleh wanita itu. “Kamu harus cari makan sekarang juga, jangan cari penyakit lain. Aku hanya mentraktirmu makan malam, bukan makan yang porsinya dirangkap.”
“Terserah aku dong, pokoknya aku tunggu kamu tepat jam empat di parkiran! Kamu harus ikut denganku titik!” Ancam Laura kemudian memutuskan panggilan secara sepihak.
Mario berdecak, senyum yang sempat ia sembunyikan pun akhirnya bisa ia tunjukkan meskipun hanya dirinya yang tahu karena di sekitarnya tidak ada siapapun. Mario berjalan kembali ke ruangannya sembari menggenggam ponsel di tangan, hati kecilnya bersenandung girang. Merasa hari ini benar-benar sangat mujur baginya. Getaran pada ponselnya terasa lagi, Mario berdecak lantaran mengira ini pasti perbuatan Laura.
Ternyata tebakannya keliru begitu melihat si pemanggil yang tertera di layar adalah pengawal Gu. “Ya tuan?”
“Mario, berkas bos ketinggalan di ruangannya. Cepat masuk ke sana dan ambil berkas bermap biru di atas meja. Antarkan ke lobby sekarang juga!”
“Baik tuan.” Jawaban Mario terlambat beberapa detik karena panggilan sudah diputus. Sepertinya memang tidak memerlukan jawaban, pengawal Gu hanya memberinya perintah, bukan memberinya kesempatan bicara.
Mario mengacuhkan sikap atasannya yang memang terkesan nge-bossy. Ia mempercepat langkah untuk kembali ke ruangan yang barusan ditinggalkannya. Lebih cepat lebih baik daripad terus ditunggu oleh seseorang. ‘Tapi aku sengaja membiarkan wanita itu menunggu? Maafkan aku....’ Gumam Mario dalam hati saat teringat posisi Laura yang juga sedang menunggunya namun harus ia abaikan.
Pintu ruangan itu terbuka begitu Mario meraih gagangnya, tanpa menutupnya lagi, Mario pun segera menghampiri meja saat melihat berkas yang dicari tergeletak di sana. Tangannya terjulur dan hanya berfokus pada benda itu saja, namun tanpa sengaja lututnya menyenggol ujung meja hingga ia meringis merasakan perih. Tubuh Mario sedikit membungkuk dan mengusap pelan bagian lututnya yang nyeri, begitu ia hendak meluruskan tubuhnya lagi, pandangan matanya tanpa sengaja menangkap sebuah foto berukuran kurang lebih 5R yang terbingkai manis di atas meja. Mario mempertajam penglihatannya, hatinya mulai terusik dengan potret itu, terutama pada model wanita yang mengenakan gaun pengantin.
Rasa penasaran Mario sudah mengalahkan etika yang ia ketahui, diabaikannya semua itu demi menjawab keingin tahuannya tentang dugaan dalam benaknya kini. Ia perlu memastikan siapa wanita yang wajahnya seperti tidak asing itu? Bingkai foto itu sudah berada dalam pegangannya, sepasang mata Mario membulat sempurna saat yakin bahwa ia sangat mengenali pengantin wanita itu. Rahangnya mengeras, ia sama sekali tidak senang dengan kejutan ini. Perasaannya terus berkecamuk dan terus menatap lekat pada foto wanita yang memamerkan sederet gigi putihnya, seakan tengah mengejek kebodohannya.
***

Author note :
Hi guys, terima kasih atas kesetiaan kamu mengikuti cerita ini. Mohon dukungannya kepada author ya agar semakin semangat menambah bab baru. Berikan like serta komentar kalian ya, author tunggu. Sukses terus buat kita semua dan nantikan update berikutnya.

Download APP, continue reading

Chapters

136