Bab 11 HADIAH KECIL YANG MENYUSAHKAN

by Chantie Lee 01:00,Dec 05,2020
Hingar bingar dunia malam yang begitu hidup ternyata cukup sukses menenggelamkan rasa kecewa Billy. Pasca gagal bercinta di saat ia sangat membutuhkan, Billy bersusah payah meredakan gejolak hasratnya. Meskipun sudah mandi namun siraman air dingin itu tampak sia-sia lantaran masih saja ia memendam kekesalan, kekecewaan pada sikap Laura yang keterlaluan.
“Apa salahnya memintamu? Kamu kan istriku, apa salahnya melayaniku!?” Geram Billy, menatap gelas sloki yang masih berisi setengah minuman Vodca. Sudah beberapa gelas yang ia teguk tak bersisa setiap kali pikiran jengkelnya mengkontaminasi hati.
“Satu botol lagi, bro!” Teriak Billy yang baru sadar botol minumannya sudah kering saat ia hendak menuangkannya. Bartender yang mendapat kode penambahan orderan itu pun segera merespon Billy. Tidak perlu menunggu lama lantaran Billy memang duduk di kursi yang menghadap area kerja bartender itu. Sengaja agar hanya fokus meneguk minuman dan bisa repead order secepatnya.
Satu tepukan di pundak Billy dari belakang membuat ia menoleh, tangan dengan kuku panjang berkutek merah serta kulit yang putih itu meyakinkan Billy bahwa itu adalah tangan seorang wanita. Billy menengadahkan kepala, mengikuti tangan yang masih bertengger di pundaknya itu hingga menemukan wajah pemiliknya. Layaknya mendapatkan jackpot, ia disambut dengan senyuman manis seorang wanita yang parasnya cukup cantik, bahkan bisa dibilang cukup untuk menyaingi kecantikan istrinya.
“Pasti nggak asyik minum sendiri.” Gumam wanita itu dengan suara manja, sarat makna menggoda. Tanpa dipersilahkan pun ia sudah menempati kursi kosong di sebelah Billy. Satu kakinya disilangkan sehingga memamerkan kulit pahanya yang mulus dan terekspos dalam balutan mini dress ketat.
Billy tetap bergeming tetapi sorot matanya terus memperhatikan gerak-gerik wanita itu. Pemilik paras cantik itu cukup agresif, berani ikut meminta gelas kosong pada bartender kemudian menuangkan minuman pesanan Billy dan meneguknya tanpa rasa sungkan.
“Bersulang?” Ajak wanita itu seraya mengangkat gelasnya, mendekatkan hingga posisinya mudah dijamah oleh Billy. Bibirnya menarik lekuk yang sempurna, menampakkan senyuman menggoda yang sanggup menakhlukkan pria manapun yang menjadi targetnya.
Billy berdecak, namun tetap saja ia menuruti kehendak si wanita. Tangannya yang sedari tadi memegangi gelas pun diangkatnya, perlahan menyentuh gelas yang menunggu sambutannya. Dua gelas yang saling bersentuhan, menciptakan bunyi bernada tinggi namun tersamarkan oleh suara musik bervolume kencang di sekitarnya.
Usai toas yang terjadi begitu saja, keduanya pun meneguk minuman masing-masing. Wanita itu terus menatap nakal pada Billy, ia hanya menyeruput sedikit minumannya. Bagaimanapun ia perlu kesadaran yang lebih prima dan harus menggiring targetnya agar dikuasai efek alkohol. Senyum tipisnya mengembang saat melihat betapa rakusnya Billy meneguk habis minuman keras itu layaknya tengah meneguk air putih.
“Minuman ini memang bisa menenggelamkan rasa sedih, tapi lebih efektif jika ada yang menemani. Aku bersedia mendengarkan, bila perlu kita bisa cari tempat yang lebih cocok.” Gumam wanita itu seraya menuangkan lagi minuman ke dalam gelas kosong di tangan Billy, senyumnya semakin lebar ketika melihat Billy yang tengah menatapnya lekat. Ia semakin menebarkan pesona kecantikannya.
Merasa pancingannya mulai mendapatkan umpan balik, wanita itupun makin agresif mencondongkan tubuhnya hingga sepasang buah dadanya menyenggol lengan Billy. Sengaja memberi rangsangan agar pria itu terbuai semakin dalam. “Kita bisa cari ruang yang lebih sepi, di sini terlalu berisik.” Bisik wanita itu tepat di daun telinga Billy, menimbulkan sensasi geli pada pria yang tengah sensitif itu.
Billy menarik diri, menciptakan jarak di antara wanita itu. Hatinya mulai merasa risih, namun tak bisa memungkiri bahwa godaan di sebelahnya memang bukan hal sepele. Ia harus setengah mati menahan diri agar tidak terbawa arus rayuan maut wanita itu. “Hmm... Aku mau di sini. Kalau kamu mau minum, silahkan saja aku tidak keberatan. Tapi jangan ganggu aku!” Tegas Billy, acuh dan mulai meneguk lagi minumannya.
Wanita itu tersenyum seringai, merasa terusir secara halus namun tidak akan menyurutkan tekadnya. Bukan hanya pria itu yang pertama bersikap jual mahal kepadanya, ia sudah terlatih dan tahu bagaimana cara menggoda hingga berhasil menuntun targetnya naik ke ranjang bersama. “Oh, baiklah, terima kasih sudah bermurah hati padaku. Aku bersedia kok mendengarkan, kadang ada beban yang tidak bisa hilang hanya dengan meneguk minuman. Beban di sini harus dikeluarkan dari sini biar lega.” Jemari telunjuk wanita itu menunjuk dada bidang Billy yang tercetak sempurna di balik kaos ketat yang ia kenakan, kemudian menjalar perlahan menuju bagian bibir Billy dan berakhir di sana. Sebuah isyarat yang disampaikan dengan cara yang begitu menggoda.
Billy meresapi sentuhan itu, bahkan mulai terpancing dengan kata-kata wanita itu yang memang ada benarnya. Ekor matanya menyoroti jari telunjuk yang masih menempel di bibirnya itu, kemudian pandangan Billy berpindah menatap wajah cantik yang memang nyaris terpahat sempurna. Ia menelan salivanya, hasratnya sebagai pria dewasa pun tergugah. Hasrat yang tidak tersalurkan pada orang yang tepat, yang membuatnya harus berakhir di sini sendirian.
Wanita itu melihat ada peluang yang mulai terbuka untuknya, bukan respon yang buruk yang ia terima, justru sebaliknya ia kian yakin bahwa jual mahal yang ditunjukkan pria itu mulai luntur. “Ceritalah, ada apa? Kenapa pria setampan kamu harus berakhir resah di sini?” Bisik wanita itu, kini ujung lidahnya pun ikut memainkan peran, sedikit memberi efek geli yang merangsang pada bagian telinga pria itu.
Billy menggelinjang saat bagian terlemahnya disentil, area sensitif yang selalu bisa meluluh lantakkan pertahanan dirinya itu kini telah dijamah si wanita. Seakan di luar kendalinya, tangan Billy pun merespon kode nakal wanita itu dengan cara yang tak kalah nakalnya. Tangan kekarnya mendarat tepat pada bokong indah wanita itu, meremasnya perlahan, mengeluarkan rasa gemasnya karena telah membangunkan juniornya.
Dari arah belakang, pengawal Gu yang berhasil menemukan keberadaan tuannya pun segera menghampiri. Ia melihat dengan jelas bahwa tuannya tidak sendiri, padahal sebelumnya bos mudanya itu mengatakan ia kesepian dalam percakapan via ponsel. Itulah sebabnya pengawal Gu datang tergesa-gesa agar tidak membuat Billy menunggu lama. Ternyata sekarang kedatangannya terancam sia-sia, mungkin saja Billy tidak memerlukan ia di sini. Atau bahkan ia dianggap pengganggu di tengah kemesraan yang tengah tercipta di antara Billy dan seorang wanita bar.
Pengawal Gu mengenyahkan pikiran buruknya, ia punya tujuan lain yang harus disampaikannya segera. Bukan hanya sekedar datang untuk menemani bosnya minum.
“Tuan, maaf membuat anda menunggu lama.” Ujar pengawal Gu seraya membungkuk hormat saat berdiri di samping Billy.
Billy menatap ke arah pengawalnya, sontak menarik tangannya yang sejak tadi mengelus paha mulus si wanita. Kehadiran pengawal Gu sedikit menyadarkannya pada realita, masih ada yang harus ia hadapi dan pria paruh baya itulah yang bisa ia andalkan. “Duduklah, laporkan apa yang kamu ketahui.” Perintah Billy.
Wanita di samping Billy seketika terabaikan, ia mendengkus kesal karena terancam gagal gara-gara kemunculan pria paruh baya itu. Meski demikian, ia tetap memutuskan menunggu sambil mencari celah lagi. Semangatnya kian terpacu ketika ia semakin yakin bahwa targetnya bukanlah orang biasa. Terbukti dengan penampilan pria tua di dekatnya yang tampak begitu tunduk kepadanya. “Hmm....” Desis wanita itu kian tertantang.
“Maaf tuan, saya belum berhasil menemukan di mana keberadaan nyonya. Tapi sampai sekarang anak buah kita masih meneruskan pencarian.” Ungkap pengawal Gu tampak menyesal.
Billy diam saja, tampak berpikir serius dengan kondisi kesadaran yang mulai menurun akibat pengaruh alkohol. Dalam kondisi seperti ini saja, ia masih bisa merasakan sakit yang nyata atas perbuatan Laura. “Hmm... Dia bukan hanya pintar membuatku kesal, tapi juga pandai bersembunyi.”
Pengawal Gu tertunduk sejenak, turut prihatin dengan nasib tuannya. Sekejap ia mengintip pada wanita cantik yang tengah bertopang dagu menatap Billy dengan serius, seperti tengah meminta perhatian. Bagaikan terkoneksi suara hati, pandangan wanita itu pun beralih ke arah pengawal Gu namun hanya beberapa detik, begitu tahu pengawal Gu tengah menatapnya, wanita itu justru mengalihkan pandangan.
“Tuan, saya punya kabar baik untuk anda. Tim IT kita sudah berhasil melacak lokasi si penelpon misterius.” Bisik pengawal Gu di dekat Billy, selain karena suasana yang kurang mendukung, keberadaan wanita di dekat mereka pun menambah risih pengawal Gu untuk membahas hal privasi kepada bosnya.
Kesadaran Billy tergugah saat mendengar kabar itu, tatapan tajam khasnya pun terlihat lagi, menunjukkan kharismatiknya sebagai seorang bos. Tak sia-sia ia mempekerjakan tenanga ahli dan mengupah mereka mahal, hasilnya pun bisa diketahui tanpa menunggu pergantian hari. “Di mana si pengacau itu sekarang?”
Pengawal Gu mencondongkan tubuhnya lalu membuat penghalang pada daun telinga bosnya saat hendak membisikkan kata-kata. “Menurut laporan orang kita, si penelpon misterius itu berada di Singapura. Lokasi saat dia menghubungi anda pagi tadi terlacak dari sana. Hanya saja kita tidak bisa melacak lagi setelah panggilan itu berakhir, tuan. Ada kemungkinan dia sudah berpindah, tapi setidaknya masih dalam kota yang sama.”
Dahi Billy mengernyit, “Singapura?” Seakan tak percaya dengan apa yang disampaikan pengawalnya, Billy pun bertanya ulang. Ia perlu lebih banyak kepastian untuk memperkuat kecurigaannya pada seseorang.
Pengawal Gu mengangguk mantap, “Benar tuan. Mereka sudah menyelidikinya dengan teliti, saya yakin hasil pelacakannya akurat.”
Billy manggut-manggut, walau kini kecurigaannya pada seseorang masih terbilang prematur. Selama belum ada bukti yang menjurus kepada orang itu, Billy belum bisa sembarang menuduh. “Baiklah, terima kasih atas kerja keras kalian, pengawal Gu. Kamu boleh pergi, istirahatlah!” Billy menyudahi waktunya yang tersita oleh pengawal pribadinya. Obrolan yang singkat dan sangat berbobot, setidaknya informasi yang disampaikan pengawal Gu bisa membuat Billy sedikit tenang. Masih ada kabar baik di tengah keburukan yang nyaris sepanjang hari menderanya.
“Baik tuan, selamat malam dan selamat bersenang-senang.” Ujar pengawal Gu seraya membungkukkan badan. Bukan tanpa alasan ia mengucapkan kata-kata itu, sebagai pria normal, ia bisa menebak ke mana akhir dari dua orang yang ada di sampingnya. Apalagi wajah wanita itu yang tampak agresif menggoda, bisa dipastikan bahwa kemesraan tuannya dan wanita itu akan berakhir di atas ranjang.
Billy menoleh ke arah wanita di sampingnya, melihat dia memainkan rambut panjangnya dengan jari telunjuk yang menggulung rambut bagian sampingnya. Pose yang cukup menggoda, wanita itu benar-benar terlatih untuk menjinakkan kesadaran pria. Ditambah dengan sentuhan lembut yang perlahan menjalari lengannya lalu berakhir tepat di bagian dada. Wanita itu mengukir pusaran abstrak di atas dada bidang Billy yang masih terhalang pakaian. Godaan yang sulit untuk dihindari, hasrat Billy mulai tergugah untuk bangkit sepenuhnya.
“Kamu serius banget tadi, hmm....” Bisik wanita itu menggoda.
Tangan Billy langsung merangkul pinggang ramping wanita itu, menarik tubuh itu agar merapat dalam dekapan. “Kamu mau lanjutkan di mana?” Tanya Billy, memberi kode panas bagi wanita itu.
Senyum penuh kemenangan si wanita terlihat jelas, perlahan ia berdiri dengan tangan yang menarik tangan Billy agar melakukan hal yang sama. “Aku akan membawamu ke taman cintaku, sayang.” Bisik wanita itu mesra kemudian tanpa rasa sungkan lagi langsung mendaratkan kecupan ringan di bibir Billy. Ia telah membangunkan harimau tidur dan minta diterkam di tempat. Billy tak kuasa menahan diri lagi, tangannya mendorong tubuh ramping wanita itu hingga mendarat dalam pelukan eratnya. Bibir Billy langsung menyasar pada bibir si wanita, memagutnya dengan lahap dan panas. Tak peduli menjadi tontonan umum, tempat itu memang sudah biasa menyuguhkan tontonan vulgar seperti ini.
***
Susah payah Mario memapah tubuh Laura yang tak kuat lagi berjalan normal. Kesadaran wanita itu masih separuh terjaga, hanya saja terlalu berat baginya untuk berjalan sendiri. Beberapa kali pula mereka nyaris menyenggol orang saat berpapasan, Mario sungguh kewalahan menuntun Laura hingga sampai dalam sebuah kamar yang nyaman dan terjamin privasinya.
Bruk! Tubuh Laura langsung direbahkan agak kasar oleh Mario yang mulai kehabisan tenaga. Nafas pria itu bahkan masih tersengal-sengal, ia berdiri sejenak seraya berkacak pinggang, membebaskan ototnya yang mulai kaku karena perjuangan memboyong Laura keluar dari bar hingga masuk ke dalam kamar hotel di lantai sembilan. Akhirnya mereka memang harus berakhir di sini, setelah berpikir panjang dan mempertimbangkan banyak hal, Mario tidak berani membawa Laura pulang ke kontrakannya. Selain akan rentan menjadi bahan pergunjingan, ia pun belum berani terlalu terbuka pada Laura tentang kondisinya.
“Ng... Aku mau tidur ha ha ha....” Laura mulai melantur lagi, padahal sepanjang perjalanan kemari ia cukup jinak. Entah harus bersyukur atau tidak, yang pasti Mario sangat bersyukur karena Laura tidak membuat ulah yang menyusahkannya saat kemari.
“Tidurlah, sebaiknya memang begitu.” Jawab Mario seraya menggelengkan kepala. Mimpi apa sampai dirinya harus mengurus wanita mabuk di malam larut ini. Bahkan ia saja belum sempat beristirahat, kini pekerjaannya bertambah dan terpaksa harus bergadang menjaganya.
Mario mengendus aroma yang sempat terlupakan olehnya saking sibuk tadi. Kini aroma tak sedap itu mengganggu indera penciumannya, bersumber dari lengan jaket yang ia kenakan. Dahi Mario seketika mengerut ketika melirik pada titik itu, Laura meninggalkan jejak penderitaan yang begitu merepotkan. Pandangan Mario beralih pada wajah teduh Laura, terlihat begitu tenang sehingga mengundang senyuman di bibir pria itu mengembang.
“Kamu yang beberapa saat lalu sok kuat, sekarang malah terbaring tak berdaya. Terima kasih atas hadiah kecilmu ini....” Gumam Mario berkata seolah Laura dapat mendengarnya. Ia pun bergegas menuju kamar mandi, tak sabar menghilangkan hadiah kecil yang dimuntahkan Laura itu dari jaketnya.
***

Download APP, continue reading

Chapters

136