Bab 5 PERTEMUAN TAK TERDUGA

by Chantie Lee 12:07,Dec 04,2020
“Kita ke mana lagi nyonya?” Pak Udin memecah keheningan suasana di dalam mobil. Sejak keluar dari parkiran mall, mobil itu melaju tanpa tujuan jelas sehingga pak Udin yang ragu itu hanya mengemudikan dengan pelan. Berharap menunggu perintah dari majikannya, hendak ke mana mereka sekarang.

Laura baru tersadar dari pikirannya yang carut marut, saking serius memikirkan ulah suaminya, ia sampai lupa memberitahu supir. Padahal tujuan yang ingin ia datangi sudah jelas, tapi ia malah mengira telah menyampaikan pada pria tua itu. “Ke kantor tuan.” Jawab Laura singkat tanpa memandang ke arah supirnya.

Wanita itu memilih membuang pandangan ke luar, melihat jalanan yang mulai padat merayap. Memuakkan! Di saat Laura ingin segera sampai di tempat tujuan, ingin melihat langsung reaksi suaminya saat ia melayangkan protes, namun kondisi jalanan yang macet ini menguji kesabarannya. Tidak ada yang menyenangkan dari suasana saat ini, terjebak arus lalu lintas yang jalannya bahkan lebih pelan dari seekor kura-kura. Wanita itu menghela nafas berat, menghempaskan tekanan batin yang ia harap bisa sedikit melonggar dengan cara itu.

Aku tak menyangka kamu tidak jujur, apa hanya ini yang kamu tutupi dariku? Atau masih banyak rahasia lain? Huft... makin lama aku makin tidak mengerti kamu. Laura menyimpan pertanyaan itu dalam hatinya, ingin segera mencuatkan langsung di hadapan Billy. Setelah menjadi istrinya, Laura mengira ia sudah cukup mengenali pria itu. Rupanya tidak, pernikahan bukan jaminan untuk bisa mengenal pasangan secara luar dan dalam. Jika salah satu berlaku tidak jujur dan tertutup, kedekatan itu hanyalah sekedar status belaka.

Pria itu, ah... aku belum membalasnya. Semangat Laura kembali terkumpul saat mengingat pria muda yang tadi pagi ditabrak mobilnya. Tanpa ia sadari, senyumannya mengembang penuh dan ia meraih ponselnya lagi. Menyalakan layar ponsel pintar itu kemudian membuka pesan dari pria itu yang sudah terbaca. Ada sedikit rasa kecewa saat mendapati kenyataan bahwa tidak ada pesan terbaru dari Mario.

Mungkin aku sudah keterlaluan, bagaimana aku mengharapkan balasannya jika aku saja belum memberinya jawaban. Gumam Laura sembari tersenyum, tepatnya menertawakan ketamakannya yang berharap lebih. Ia merasa tidak tega membiarkan pria muda itu menunggu terlalu lama, bukan salah dia pula jika menyematkan panggilan yang sopan pada orang yang baru dikenal. Laura saja yang terlalu perasa dan memasang ekspektasi yang terlampau tinggi. Jemari Laura dengan lincah mengetikkan balasan, namun baru beberapa kata sudah ia hapus.

“Ah....” Gerutu Laura kesal lantaran bingung menentukan jawaban yang pas. Wajahnya terlihat mengkerut bahkan suara gerutuannya barusan memancing penasaran pak Udin.

“Ada apa nyonya?” Tanya pak Udin yang melirik Laura dari spion tengah. Ia takut jika wanita muda itu menggerutuinya lagi.

Laura baru menyadari bahwa ia keceplosan menggerutu dan disalah-artikan oleh supirnya. “Nggak apa-apa, fokus aja nyetirnya. Aku nggak mau sial lagi di jalan.” Ujar Laura ketus. Ia memutar otak demi merancang kata-kata balasan atas ajakan perkenalan dari Mario. Berulang kali dihapusnya lagi ketikan kata yang dirasa kurang sreg, Laura tiba-tiba kehilangan kemampuan berkomunikasinya hanya karena isi pesan singkat itu.

Aku tidak boleh terkesan murahan, tapi bagaimana cara membalasnya dengan elegan? Gumam Laura dalam hatinya yang penuh kebimbangan. Jemari Laura tertahan di atas layar sentuh ponselnya, ia mulai frustasi dan memilih diam sejenak. Membuang pandangan ke luar lagi, berharap bisa menemukan kata-kata yang dicarinya.

Laura terkesiap saat ponselnya bergetar, reflek ia mengarahkan ponsel itu di hadapannya. Sepasang mata lentiknya semakin membulat, air mukanya yang sejak tadi suram pun kembali cerah. Ternyata bukan hanya Laura yang merasa gusar, nyatanya pria muda itu lebih antusias dan tidak tahan dengan sikap diam Laura.

Hi, maaf kalau sebelumnya aku menyinggungmu. Tapi bolehkah kita berkenalan? Bagaimana semestinya aku memanggilmu?

Laura membaca pesan itu dalam hatinya, demi menahan histeris hatinya yang memekik girang, ia menggigit jari telunjuknya seraya tersenyum dan menampakkan sederet gigi rapinya. Dia cukup peka juga, bisa tahu kalau aku tidak senang dipanggil kakak.

Ajakan dari Mario yang menawarkan sebuah perkenalan untuk kedua kalinya, tidak bisa Laura abaikan lagi. Sama halnya dengan Laura yang menyimpan banyak pertanyaan dan rasa penasaran pada pria itu, tak ia sangka pria itupun berani menunjukkan ketertarikannya secara nyata. Seperti dua hati yang saling terkoneksi, Laura pun menyadari bahwa hatinya bergetar setiap kali membayangkan sosok Mario. Tak bisa dipungkiri bahwa ketertarikannya pada pria itu membangkitkan keberaniannya untuk menerima tawaran manis itu. Sebuah perkenalan yang akan berlanjut entah sejauh mana, dan Laura tidak peduli akan seperti apa hasilnya kelak. Yang pasti ia hanya menuruti kehendak hatinya saat ini.

Panggil aku Laura.

Jawaban singkat itu sukses terkirim, meskipun belum terbaca si penerima namun sudah cukup membuat Laura senang bukan kepalang. Ia mendekap erat ponselnya persis di depan dada, imajinasinya liar merayap dalam pikiran, membayangkan pria itulah yang didekapnya dengan erat.

***

“Tuan Billy, orang yang ingin anda temui sudah datang.” Ujar pengawal Gu yang menghadap dengan membawa Mario masuk ke ruangan presiden direktur perusahaan ini.

Billy mendorong laptopnya agar tidak menghalangi tatapannya. Sepasang matanya dengan jeli mengamati pria muda yang ia pilih, sorot tajam matanya pun disadari Mario yang hanya bisa menundukkan kepala sebagai bentuk hormat sekaligus sikap sopannya. Billy menyipitkan matanya, merasa ada yang kurang dengan penilaian fisik pada calon pengawalnya itu.

“Angkat wajahmu!” Ujar Billy dengan nada yang agak keras.

Mario mendengar perintah itu kemudian mendongakkan kepalanya, menatap lurus menghadap sang tuan yang sedang melakukan penilaian terhadap dirinya. Ia belum berani bersuara, menanti pertanyaan atau kesempatan yang diberikan bos muda itu untuk ia angkat bicara.

Tampan juga, hmm... Billy menyadari paras rupawan pria muda itu menjadi nilai plus yang bisa ia pertimbangkan. Kontras dengan penampilan pengawal Gu yang terkesan garang dari raut wajah serius dan rahang tegas pria itu. Wajah Mario lebih kalem, tampan dan terlihat seperti pria baik-baik yang tidak punya kemampuan khusus. Senyum Billy mengembang penuh, ia semakin mantap menjatuhkan pilihan kepada pria muda itu. Sesuai yang ia cari, orang yang terlihat biasa bahkan cenderung lemah namun menyimpan rahasia besar di balik keluguannya.

“Siapa namamu?”

Mario menahan senyumnya, pertanyaan yang tercetus barusan sudah membuka kesempatannya untuk bicara. Ia yakin penilaian luar sudah berakhir dan ia mendapatkan kesan pertama yang baik dari bos muda itu. “Mario Lim, tuan.” Jawab Mario dengan sedikit membungkukkan tubuhnya.

Billy tampak menganggukkan kepalanya, ia tentu sudah tahu nama pria itu namun hanya sekedar formalitas untuk menanyakan langsung di sesi perkenalan. Billy semakin yakin bahwa ia tidak salah menentukan pilihan, Mario tidak hanya terlihat menarik dari segi profil diri tetapi mempunyai nilai plus dari penampilan yang tidak mencolok.

“Hmm... kamu tahu kan melamar sebagai posisi apa di perusahaanku? Tepatnya kamu akan menjadi tangan kananku di sini.” Seru Billy.

Mario menarik seulas senyum tipis yang diperlihatkan pada orang yang tengah menginterogasinya. “Saya tahu itu tuan, dan saya siap bekerja untuk anda.” Jawab Mario tegas.

Billy tampak tersenyum puas, “Bagus... aku suka sikapmu. Kamu cukup pantas menjadi orang kepercayaanku, tapi aku tentu akan memberikanmu masa pelatihan sebelum memberikan seratus persen kepercayaanku. Selama tiga bulan kamu akan ku tempatkan sebagai pekerja magangku di kantor ini. Sekaligus bisa mengawasiku dari dekat. Jangan sampai penyamaranmu diketahui siapapun, aku tidak mau terang-terangan menambah bodyguard. Mengerti?” Ujar Billy dengan suara lantangnya.

“Mengerti tuan.” Jawab Mario dengan cepat. Hatinya sangat senang telah mendapatkan posisi yang ia inginkan, tentunya telah mengalahkan pesaingnya yang ia yakini cukup banyak. Lowongan pekerjaan yang diiklankan secara privat itu hanya bisa dilirik oleh kalangan tertentu dan pastinya banyak kadidat yang berkompeten di bidang beladiri yang melamar sebagai pengawal rahasia bos muda itu. Mario boleh berbangga hati dengan pencapaiannya sekarang meskipun harus mengikuti aturan main bosnya yang menempatkannya sebagai karyawan magang.

“Tenang saja selama magang, aku tetap membayarkan gajimu utuh seperti yang ku janjikan. Asalkan kerjamu bagus, aku tidak akan sungkan memberimu bonus.” Ujar Billy meniupkan angin segar pada pengawal barunya sehingga ia bisa melihat senyum sumingrah milik Mario.

“Terima kasih, tuan.” Ucap Mario sekali lagi, membungkukkan badannya secara penuh namun sepasang matanya terbuka lebar melihat apa yang ada di belakangnya.

Pintu masuk terbuka saat itu juga tanpa pemberitahuan dan tak bisa dicegah oleh siapapun. Si pemberani yang menerobos masuk ke dalam ruangan presdir itu punya kuasa penuh untuk keluar masuk perusahaan ini sesuka hatinya. Kehadirannya yang tidak terduga itu sontak mengejutkan orang yang ada dalam ruangan, termasuk Mario.

Dari celah kakinya yang sedikit terbuka, Mario bisa melihat sepasang kaki mulus yang mengenakan heels merah setinggi kisaran lima belas centimeter melenggang masuk ke dalam ruangan. Aroma parfum yang tercium kentara itu masih melekat dalam ingatan Mario, mengundang rasa penasarannya pada siapa yang masuk saat ini.

Wanginya seperti wangi parfum wanita itu. Mario berpendapat dalam hatinya, semacam dejavu yang muncul dan mengoyak keingin-tahuannya. Perlahan ia menegakkan posisi tubuhnya lagi, ingin melihat secara jelas siapa pemilik sepasang kaki jenjang dan parfum beraroma familiar itu.

“Sayang, kenapa datang mendadak? Apa terjadi sesuatu padamu?” Billy yang baru tersadar dari keterkejutannya pun langsung insiatif menyambut kedatangan istrinya dengan kedua tangan yang terbuka lebar seperti hendak memeluk.

Pandangan mata Laura begitu tajam tertuju hanya pada suaminya. Tak peduli ada pria lain yang mengenakan jas hitam yang ada dalam ruangan itu, tidak memancing minat Laura untuk mendelik ke arah mereka. Ia sudah cukup berpenat ria di jalanan, plus kesal karena tak kunjung mendapatkan balasan dari pria yang mengajaknya berkenalan.

“Aku perlu bicara empat mata denganmu, sekarang!” Perintah Laura dengan suara lantang nan tegas namun terdengar lembut mengesankan. Ia belum sadar di sebelahnya berdiri seorang pria yang terkejut melihat kehadirannya.

Suara Laura yang nyaring dan lembut itu menggetarkan hati Mario yang tak menyangka akan bertemu kembali dengan wanita yang membuat ia penasaran setengah mati itu. Hanya berselang beberapa jam dari pertemuan pertama mereka, kesempatan yang sangat kebetulan itu membuat mereka berada dalam satu tempat lagi. Tapi tunggu! Tadi pria itu memanggil dia sayang? Apa hubungan dia dengan kakak cantik ini? Hati kecil Mario merasa terganggu dengan panggilan mesra yang diserukan Billy, meskipun ia belum punya ikatan apapun dengan wanita itu, namun Mario merasa tidak suka saat mendengar pria lain memanggilnya demikian. Ia terus menatap lekat ke arah Laura, dari sisi samping saja wanita itu terlihat begitu menawan.

Laura melipat kedua tangannya di depan dada, wajah masamnya menegaskan bahwa ia ingin berlaku serius pada suaminya. Ia sama sekali belum menyadari sorot mata penuh tanda tanya yang berasal dari sebelahnya. Apa yang Laura inginkan sekarang hanyalah penjelasan sejujur-jujurnya dari pria yang berstatus suaminya itu.

Billy menghela nafas berat, kedatangan istrinya yang tak terduga ini untung saja tepat di saat ia sudah menyelesaikan pembicaraan seriusnya dengan Mario. Ia mengedarkan pandangan pada kedua anak buahnya, “Kalian keluarlah!” Perintah Billy tegas.

“Baik tuan, permisi.” Ujar Mario yang sengaja menjawab, padahal pengawal Gu di belakangnya hanya merespon dengan sikap membungkuk hormat. Mario ingin memancing perhatian wanita yang berjarak kurang lebih lima puluh centimeter di depannya. Jika benar dia adalah wanita yang ditemuinya tadi pagi, pasti wanita itu akan menyadari suaranya. Atau mungkin sekedar penasaran dengan suaranya, karena Mario sangat yakin pakaian yang wanita itu kenakan, suaranya, serta wajah dari samping, jelas merujuk pada sosok wanita yang ingin ia kenali lebih dalam. Mario perlu pembuktian, ia berharap wanita itu menoleh sebentar saja ke arahnya.

Deg! Jantung Laura terasa berdetak kencang. Suara itu.... lirihnya dalam hati dan reflek menoleh ke sumber suara. Bibir merah Laura sedikit terbuka saking kagetnya mendapati wajah pria yang ia yakini adalah Mario. Pria yang masih mengusik benaknya karena membuatnya menunggu jawaban setelah ia menyebutkan nama. Pria yang tadi pagi terlihan sangat tampan dalam balutan pakaian casual dan motor sportnya. Ternyata pria itu juga bisa terlihat jauh lebih menarik ketika mengenakan pakaian formal, Laura terhentak apalagi melihat senyuman tipis dari pria itu yang nyata disunggingkan untuknya sekilas.

Benar, dia pasti Mario. Apa ini alasannya dia belum membalas pesanku? Sejak tadi dia di ruangan ini bersama Billy? Tapi untuk apa ia kemari? Apa dia relasi bisnis Billy? Ah tidak, Billy barusan memintanya keluar, berarti dia... anak buah Billy? Pikiran Laura terus berkecamuk dengan segudang pertanyaan tentang Mario. Ia tidak bisa merespon senyuman tipis Mario yang ditujukan padanya. Kenyataan yang tak terduga ini masih sulit diterima akal sehat Laura, terlebih ia semakin penasaran dengan sosok pria tampan itu.

Ingin rasanya Mario bertahan beberapa menit lagi di dalam ruangan ini, tetapi ia tidak punya alasan untuk itu. Terpaksa ia pun harus membalikkan badannya mengikuti langkah pengawal Gu yang sudah beranjak lebih dulu. Ekor matanya masih berusaha menangkap wajah cantik Laura yang masih menyorotinya hingga ia tidak bisa lagi melirik dan harus meninggalkan ruangan dengan hati tak tenang. Siapa kamu sebenarnya?

***

Download APP, continue reading

Chapters

136