Bab 4 PENASARAN

by Chantie Lee 12:06,Dec 04,2020
Dering ponsel Mario yang begitu nyaring sontak membuyarkan obrolan Brenda yang lagi seru-serunya. Gadis itu bungkam, terlebih saat melihat antusias Mario terhadap ponselnya. Sangat nampak bahwa pria itu sedang menunggu kabar seseorang dari alat komunikasi itu.

“Dari siapa tuh? Senang banget kayaknya.” Ujr Brenda dengan nada penasaran yang kentara.

Mario belum bisa menjawab pertanyaan gadis di sebelahnya, seluruh pikirannya tersita pada pesan singkat yang masuk di ponselnya. Senyumannya yang mengembang jelas itu ternyata hanya bertahan beberapa detik saja, saat tahu siapa yang mengirimkan pesan padanya bukanlah seseorang yang ia nantikan.

Apa dia sungguh marah padaku? Perasaan aku membalasnya dengan cepat dan tidak ada kata-kata yang salah, jadi kenapa dia harus marah? Mario menyimpan banyak pertanyaan dalam benaknya, semakin banyak dan semakin membuat ia tidak mengerti akan wanita itu. Tidak! Bukan pada wanita itu, tetapi pada dirinya sendiri yang mulai aneh sejak bertemu wanita itu.

Ada apa dengan diriku? Kenapa begitu penasaran padanya? Mario menggelengkan kepalanya dengan cepat, berharap bisa mengembalikan kesadarannya dalam sekejap. Bahkan isi pesan masuk yang sebenarnya cukup penting itu teralihkan hanya karena memikirkan wanita yang namanya saja belum Mario ketahui.

Tangan Brenda menepuk kencang di pundak Mario, menyusul suara berdecak yang sengaja digumamkan gadis itu. “Asyik bener ngelamunnya, sampai dipanggil aja nggak dengar.” Gerutu Brenda menatap sebal pada Mario.

“Sorry, kamu tadi nanya apa?” Ujar Mario cengar cengir, tidak sepenuhnya merasa bersalah telah mengabaikan gadis itu. Ia melirik sekilas pada Brenda yang masih memanyunkan bibir, terlihat imut.

Brenda kehilangan selera untuk melanjutkan lagi, percuma rasanya mengulang pertanyaan yang pastinya tidak akan dijawab secara gamblang. “Lupakan aja deh, skip bahas yang lain. Kamu nanti masuk kelas berikutnya kan? Bentar lagi masuk loh.”

Maria mengusap dagunya kemudian tampak berpikir keras. Pesan masuk barusan memang bukan dari orang yang ia harapkan, namun tetap saja membawa kabar baik baginya. Setidaknya ada hal baik yang bisa mengalihkan pikriannya yang tengah resah karena seorang wanita. “Aku kayaknya lanjut bolos deh, ada urusan penting yang harus aku kerjakan.” Uajr Mario segera berdiri dari tempat duduknya.

Brenda mendongak, menatapi pria itu dari posisi duduknya. “Serius nih? Nggak takut ngulang mata kuliah di semester depan?”

Mario tersenyum tipis, peringatan Brenda tidak berarti baginya. “Kalau harus ngulang, ya sudahlah biar tambah pintar. Aku duluan ya, tolong ijinin ke dosen. Minumannya aku yang traktir aja.” Gumam Mario kemudian melangkah pergi sambil melambaikan tangan. Tak peduli dengan respon Brenda yang belum puas mendengar penjelasannya.

***

Puas memborong apa yang diinginkannya, Laura dan Tania masih melanjutkan pertemuan mereka. Setelah menyerahkan puluhan paper bag pada supirnya, Laura mengajak Tania melanjutkan obrolan di sebuah kafe dalam mall itu. Pesanan mereka belum diantarkan, namun Tania sudah nyerocos sejak tadi. Banyak hal yang ia bincangkan, sayangnya tidak semuanya terserap dengan baik oleh Laura. Pikiran wanita itu menerawang pada sosok pria yang entah mengapa begitu menyita perhatiannya.

Laura mengetuk meja dengan dua jemarinya, menciptakan irama beraturan yang hanya bisa ia dengar, saking nyaringnya musik dalam kafe itu. Dia nggak hubungin aku lagi, apa perlu aku balas pesannya? Tapi... dia nanti malah panggil aku kakak lagi. Laura tampak gusar dari luar, berperang dengan pikirannya membuat batinnya lelah.

“Laura... Ra... kamu denger nggak sih aku ngomong apa?” Celetuk Tania sembari melambaikan tangan di depan wajah Laura. Reflek membuat Laura terkesiap dan sadar dari konflik batinnya.

“Ng, kenapa? Sorry aku agak ngantuk.” Ujar Laura sekenanya, padahal tidak ada rasa kantuk sedikitpun yang ia rasakan. Hanya rasa bimbang antara menuruti kata hati atau mengabaikannya.

Tania tampak tak senang telah diabaikan secara nyata, tapi ia tak bisa berbuat banyak selain menahan emosinya. Bagaimanapun ia harus bersikap baik dan mengipasi wanita berpengaruh itu. “Apa ceritaku membosankan sampai membuatmu ngantuk?” tanya Tania dengan wajah murung.

Laura menggeleng pelan, merasa sedikit bersalah sudah mengabaikan sahabatnya. “Nggak kok, aku aja yang kurang tidur semalam.” Ujar Laura beralasan.

“Wah... pasti habis bertempur hebat ya sampai begadang? Berapa ronde nih? Hi hi....” Ledek Tania, sepasang alisnya digerakkan naik turun demi menggoda sahabatnya.

Laura nyengir saja, enggan merespon pertanyaan yang menjebaknya membicarakan masalah pribadi. Apalagi Tania memang sering keceplosan bicara, susah mempercayakan rahasia di tangannya. “Apaan sih, malah bahas gituan.” Sergah Laura tampak malas.

Tania malah terkekeh, wanita periang itu tidak akan kehabisan bahan pembicaraan sekalipun lawan bicaranya menolak topik yang ia ajukan. “Eh Jeng, makasih banget loh buat suamimu yang udah dukung suamiku, berarti banget loh bantuan kalian. Pasti suamiku nggak akan ngecewain kalian.” Ujar Tania dengan wajah penuh sumingrah, padahal ekspresi wajah Laura tidak sebanding dengannya.

Hati Laura gusar seketika saat tahu kelakuan suaminya di belakang. Ada rasa kecewa menyelinap dalam lubuk hatinya, semestinya kabar ini disampaikan oleh Billy, justru Tania lah yang membocorkan kepadanya. Laura mengepalkan tangannya, menahan geram atas sikap Billy yang mengecewakan.

“Ng, Jeng... halo? Kamu dengerin kan yang tadi aku katakan? Tolong sampaikan terima kasihku ya buat mas Billy, soalnya kesempatan aku buat ketemu dia dan ngucapin langsung kan sulit. He he....” Tania masih saja meneruskan obrolannya, tidak peka pada perasaan Laura yang merasa jengah.

Laura menatap tajam ke arah Tania, rasa tidak senangnya mungkin begitu kentara terlihat lantaran ia tidak pandai menutupi perasaannya. Laura memasukkan kembali ponsel yang sejak tadi ia pegang ke dalam tas tangannya kemudian berdiri, hendak menyudahi bincang-bincang mereka padahal pesanan belum diantarkan semua.

Tania terkesiap melihat Laura yang tiba-tiba beranjak dari kursi, terlebih saat melihat air muka wanita itu yang tampak memendam kemarahan. “Mau ke mana, Jeng?” tanya Tania agak takut melihat wanita yang disapa dengan panggilan ‘Jeng’ itu bersiap diri untuk pergi dari hadapannya.

Laura menggertakkan gigi, wajahnya pasti terlihat kesal namun ia tak peduli. Suasana hatinya sudah berubah total dan ia tidak berniat berlama-lama dengan Tania lagi di sini. “Sorry, aku ada urusan penting sekarang. Kita udahan dulu ya hari ini. Biar aku yang bayar aja pesanannya, kamu makan sendiri nggak apa-apa ya.” Ujar Laura dengan raut wajah serius, tanpa mendengar jawaban Tania, ia sudah berlenggang menuju kasir.

“Ng... nggak apa-apa sih.... hati-hati ya, lain kali kita nongkrong bareng lagi.” Jawab Tania setengah berteriak agar didengar oleh Laura. Wanita itu sempat terdiam lantaran terkejut dengan sikap Laura yang tidak tertebak itu. Kini ia lebih cemas akan efek dari tingkahnya yang berniat baik berterima kasih, justru mengundang masalah baru untuk suaminya.

Apa Laura tidak tahu masalah ini? Apa jangan-jangan Billy sengaja merahasiakan dari Laura, dan aku membocorkannya? Gawat! Jangan sampai aku menghambat karier suamiku gara-gara ini. Tania menggigit bibir bawahnya, kecemasannya meningkat dan ia baru sadar tingkahnya barusan secara tidak langsung mencelakakan karier suaminya.

“Laura, tunggu!” Tania segera berdiri lalu berlari dengan gesit mengejar Laura yang sudah keluar dari kafe itu. Ia meraih tangan Laura dari belakang, membuat wanita itu terhentak lalu menoleh ke arahnya.

“Laura plis, dengerin aku dulu. Aku minta maaf kalau ada kataku yang nyinggung kamu. Jangan persoalkan omonganku tadi ya, plis. Aku cuman ngelantur kok. Kamu tahulah aku gimana, kalau ngomong suka nyemplak. Plis maafin ya, hukum aku deh nggak apa-apa.” Tania beritikat baik menunjukkan penyesalannya dengan menampar pipinya sendiri berulang kali.

Laura jengah melihat reaksi Tania yang berlebihan, ia memutar bola matanya pertanda malas melihat drama yang dimainkan wanita itu di hadapannya. “Tania, plis deh! Berhenti mempermalukan dirimu sendiri. Orang-orang yang melihat kita bisa mikir seakan aku lagi mengintimidasi kamu.”

Tania berhenti menampar wajahnya yang terasa hangat karena bekas tamparannya. Menatap penuh harap pada Laura yang tetap bersikap acuh, seolah hatinya tidak tergerak sama sekali oleh sikap Tania. Tetapi Tania tak kehilangan semangat, ia kembali memasang wajah memelas dan berusaha menggapai tangan Laura lagi untuk digenggam. “Laura, maafin aku ya! Anggap tadi aku nggak ngomong apa-apa, lagian semua itu nggak bener kok. Suamimu hanya ngucapin selamat dan beri dukungan moril aja buat suamiku, suwer deh! Nggak lebih dari itu.” Rengek Tania pantang menyerah.

Laura menarik nafas sebentar, mengatur mood-nya agar sanggup meladeni wanita itu sekali lagi. Dengan sangat berat hati, ia menarik seulas senyuman yang tetap terlihat jelas sedang dipaksakan. “Kamu nggak ada salah kok, nggak perlu juga minta maaf. Aku nggak masalahin soal kamu, dan urusanku juga nggak ada hubungannya sama kamu. Jadi tolong, jangan halangi aku ya. Aku benar-benar sedang buru-buru sekarang.”

Tania ternganga, penolakan halus nan tegas yang ia dengar barusan dalam sekejap membuat ia menyingkirkan tangannya dari lengan Laura. Air mukanya tampak kecewa sekaligus menahan malu yang tak bisa diungkapkan. “Ups, ya deh kalau gitu. Tapi janji ya lain kali kita nongkrong lagi.” Pinta Tania, masih berupaya mengakhiri pertemuan mereka dengan kesan yang baik.

Laura pun bersedia mengangguk pelan, yang penting ia bisa segera kabur dari hadapan Tania. Langkahnya kembali melenggang dengan elegan, secara penampilan fisik memang tidak ada mata yang meragukan pesona Laura. Ia meronggoh ponsel dalam tas tangannya, bersiap menghubungi seseorang yang pastinya siaga setiap saat.

“Aku sudah kelar, jemput di depan pintu basemen sekarang!” Perintah Laura dengan tegas pada supir pribadinya.

***

Mario melajukan motornya dengan kecepatan sedang, demi memenuhi panggilan wawancara di sebuah kantor, ia harus kembali ke kost sebentar untuk berganti pakaian. Penampilannya sangat diutamakan dalam posisi ini, setidaknya ia harus terlihat meyakinkan agar tidak kehilangan kesempatan menjadi tangan kanan bos perusahaan itu. Mario membuka lemari bajunya yang kecil, tidak banyak yang ia miliki sekarang namun untungnya masih menyisakan pakaian mahalnya untuk dikenakan. Hanya sebagian harta benda yang ia miliki, baju dengan merek malah, jam tangan ternama, satu-satunya motor yang juga bernilai mahal. Siapapun yang melihat Mario pasti menyangka ia adalah anak orang kaya, namun tak banyak yang tahu pula kehidupan pria itu yang sebenarnya.

Setelan jas formal berwarna hitam dan celana kain dengan warna senada dipilih Mario sebagai penunjang penampilannya. Jas itu disampirkan di gagang kursi kayu, pria itu melucuti satu persatu pakaiannya. Akan segera berganti rupa menjadi pribadi yang berbeda, bukan lagi Mario yang maskulin dengan penampilan gaulnya namun menjadi pria yang seutuhnya berkharisma dan bertenaga ekstra.

Mario mematut dirinya di depan cermin sekali lagi, mengamati jelas performanya yang sudah meyakinkan. Ia menarik seulas senyuman, mengusap kumis yang baru tumbuh dan sedikit kasar itu. Tidak ada waktu untuk melicinkan bagian itu, namun justru di situlah nilai plus Mario. Wajahnya yang tampan bahkan bisa dikategorikan sebagai cowok cantik, terlihat lebih macho dengan tampilan bulu halus itu. Setelah yakin dengan penampilannya, Mario meraih jas yang tergeletak di kursi kemudian menyampirkan di lengan berototnya.

“Dia masih belum membalasku?” Mario bergumam sendiri, penasaran dengan ponselnya yang benar-benar senyap. Sesibuk itukah wanita cantik itu sehingga hanya sanggup membaca pesannya tanpa sempat membalas sebentar.

Langkah Mario masih tertahan meskipun ia sudah berniat berangkat, hanya karena rasa penasarannya yang belum bisa dikalahkan oleh pikiran positif. Sekalipun ia mencoba berpikiran baik, tetap saja ada tanda tanya besar mengganjal di benaknya. Siapa wanita itu? Mengapa dia berniat bertukaran kontak namun dengan sekejap menghilang? Apa dia hanya muncul untuk mempermainkan perasaan pria itu? Membuatnya tertarik kemudian menghilang begitu saja.

Mario menggelengkan kepalanya dengan kencang, berharap semua prasangka yang mengungkung pikirannya bisa terhempas keluar dari kepalanya. Dibacanya sekali lagi pesan singkat yang wanita itu kirimkan, sekaligus balasan yang ia kirimkan dan telah dibaca oleh si penerima namun tidak ditanggapi hingga sekarang. “Apa dia tersinggung aku panggil ‘kak’?”

Mario mulai menebak-nebak masalah yang membuat wanita itu enggan bersuara lagi. Helaan nafas kasarnya pun dihembuskan dengan cepat, ia sepertinya bisa menebak di mana letak kesalahannya sekarang. Ada sebagian wanita yang memang sensitif dengan panggilan yang disematkan padanya. Sebagian besar dari kaum hawa itu enggan dianggap tua dan sangat riskan disinggung soal usia. Dan Mario mungkin telah menjadi salah satu pria yang salah langkah dalam mendekati wanita. Sekalipun benar wanita itu tampak berusia lebih dewasa ketimbang dirinya, tetap saja pria yang kurang peka itu berpotensi melukai perasaannya.

“Apa aku yang hubungi dia lagi? Ah, tapi untuk apa? Nanti salah ngomong lagi, repot.” Gumam Mario bingung, ia mengusap dagunya saat memacu pikirannya dengan keras.

Perlu beberapa menit untuk diam mempertimbangkan langkah yang akan ia tempuh, sampai akhirnya Mario bisa menarik seulas senyuman optimis. Ia membuka kembali chat wanita itu, menarikan jemarinya dengan lincah di atas layar sentuh ponselnya. Mario sudah yakin dengan apa yang akan ia sampaikan pada wanita itu. Menaruh harapan sekali lagi agar wanita yang sudah mengobrak-abrik perasaannya sepanjang siang ini memberikan ia balasan lagi.

Hi, maaf kalau sebelumnya aku menyinggungmu. Tapi bolehkah kita berkenalan? Bagaimana semestinya aku memanggilmu?

Dan pesan itupun terkirim seiring senyuman Mario yang mengembang sempurna. Kini ia bisa lega untuk mengalihkan sejenak rasa penasarannya dan fokus pada tujuan lain yang tak kalah penting.

***

Download APP, continue reading

Chapters

136