Bab 7 KEBOHONGAN LAURA

by Chantie Lee 12:11,Dec 04,2020
Pertanyaan yang merusak suasana itu masih dibiarkan menggantung oleh Laura. Suasana hatinya yang tengah baik, mendadak runtuh karena keingin-tahuan pria muda itu yang terlalu jauh. Namun membiarkan waktu berjalan dengan suasana yang tidak nyaman ini pun bukan harapan Laura. Ia sudah nekad menerima ajakan pertemuan di ruang tertutup bersama seorang pria, jika bukan karena ketertarikannya yang besar, tidak mungkin Laura bersedia menurunkan gengsinya.

Mario merasa serba salah, ia cukup peka dan tahu diri bahwa sikap ‘kepo’nya barusan sudah membuat wanita cantik itu kurang nyaman. Dari jarak duduk mereka saat ini yang begitu berdekatan, Mario bisa leluasa memandangi paras cantik Laura yang begitu memesona. Kulit putih mulusnya seakan bercahaya, saking mulus dan terawatnya. Riasan wajah yang terlihat natural, bulumata lentik, hidung kecil dan bangir, serta bibir yang sedikit tebal, menambah kesan seksi si pemiliknya.

“Maaf membuatmu tidak nyaman, ng....” Ucap Mario namun terhenti lantaran ia bingung harus memanggil apa kepada wanita yang jauh lebih dewasa darinya, namun enggan dipanggil dengan sebutan yang lebih tua.

“Laura, panggil namaku saja.” Tegas Laura, seakan bisa membaca kegelisahan hati Mario menghadapinya. Tak lupa pula menyunggingkan seulas senyum tipis namun terlihat manis, menggoda.

“Ah, baiklah... Laura. Pertanyaanku tadi abaikan saja.” Ujar Mario walau masih terasa canggung menyebut nama wanita itu.

Bibir merah Laura menyunggingkan senyuman tipis, ia sudah menimbang-nimbang perkataan yang akan ia lontarkan segera. Setelah beberapa menit berpikir, menurutnya inilah jawaban yang terbaik. “Aku akan menjawabnya. Dia bukan siapa-siapaku.” Tutur Laura sangat meyakinkan.

Mario merasa sedikit lega, namun di satu sisi tetap merasa kurang yakin dengan apa yang dilontarkan Laura. Dari pancaran sepasang mata Laura saja, bisa terlihat seperti tengah menyembunyikan sesuatu. Mario memang sedikit peka membawa raut wajah seseorang, kelebihan yang membuatnya bisa berprofesi sebagai mata-mata bahkan bodyguard profesional.

“Dia memang dekat denganku, tapi bukan siapa-siapaku.” Timpal Laura kembali bersuara, berharap Mario percaya apa yang ia katakan.

Tidak lucu, mengatakan kalau dia itu suamiku, padahal aku masih merasa tertarik dengan pria muda ini. Aku tidak mau membuat dia segan dan berlalu dariku. Gumam Laura dalam batinnya.

“Oh begitu. Baguslah.” Mario tak menyadari kepolosannya berucap, sangat terlihat pula dari ekspresi wajahnya yang senang. Dan semua itu tak luput dari perhatian Laura, membuat bibir merah wanita itu menyunggingkan senyuman.

“Hmm... apa yang bagus?” Tanya Laura, sedikit menggodanya.

Maria bergegas menggelengkan kepalanya, sedikit canggung karena kepolosan sikapnya yang tidak pada waktu yang tepat.

Laura tak menggubrisnya lagi, ia sibuk melihat kuku jemari lentingnya seraya bertanya. “Kamu melamar jadi pegawai magang di sana? Kenapa tidak minta di posisi pegawai tetap saja?”

Mario membetulkan posisi duduknya, sedikit menegakkan punggung yang bersandar di kursi. “Aku masih kuliah, jadi hanya bisa melamar di bagian itu untuk mencari pengalaman.”

Pintu dibuka dari luar, tampak dua orang pelayan masuk membawa nampan berisi pesanan mereka. Perhatian keduanya pun beralih sejenak pada pelayan yang menghidangkan satu persatu makanan di meja mereka. Kesempatan inipula dimanfaatkan Mario untuk melihat Laura dari sudut pandang yang berbeda. Kekagumannya kian menjadi-jadi, wanita itu terlihat cantik dari sisi manapun.

Aksesoris yang dikenakan mulai dari kalung, cincin yang tersemat di jarinya Laura, semua bernilai tinggi. Meskipun tidak memiliki benda berharga itu, tapi Mario mengenali betul perhiasan mahal yang bisa mentaksir harganya hanya dengan sekali melihat.

Ah... jari manisnya masih polos, mungkin memang dia benar. Pria itu bukan siapa-siapanya. Gumam Mario, kepercayaan dirinya kian meningkat untuk mendekati Laura karena yakin wanita itu belum terikat status dengan pria manapun.

“Silahkan dinikmati, nona... tuan.” Ucap para pelayan itu menunjukkan keramahannya, kemudian membungkukkan badan sejenak sebelum beranjak pergi.

Laura menuang wine ke dalam gelas slokinya. Bersikap cuek, seakan sedang melakukan pelayanan terhadap diri sendiri tanpa memerdulikan temannya. Ia melirik Mario sekilas sebelum meneguk minuman beralkohol itu. “Aku lagi diet ya, jadi jangan menawarkanku makanan itu. Aku tolak dulu sebelum kamu meminta aku mencicipinya.”

Tawa Mario lepas saat itu juga, tidak menyangka bahwa wanita itu memiliki selera humor yang bagus. “Itulah yang tidak aku mengerti dari wanita. Sudah mempunyai tubuh yang proporsional tetapi tetap terobsesi dengan diet. Baiklah, aku akan menghargai niatmu.” Jawab Mario setelah menyudahi tawanya.

Laura hanya tersenyum kecil, sulit untuk membangkitkan selera humornya. Sekalipun orang di sekitarnya tertawa, ia tidak akan mudah terpancing. Wine dalam gelasnya kembali ia isi setengah, kemudian meneguknya seperti meminum air putih. Mario yang melihatnya merasa dahaganya ikut terhidrasi oleh Laura. Begitu rakusnya ia meneguk minuman yang bisa memabukkan itu dengan santai dan ekspresi wajah datar, tampak sudah terlatih.

“Oya, kamu masih kuliah? Hmm... kalau nanti tidak cocok dengan perusahaan yang sekarang, kamu bisa mencoba perusahaan ayahku. Itupun kalau kamu mau.” Ujar Laura melanjutkan pembicaraan yang sempat terjeda karena kedatangan pelayan.

Mario menaikkan satu alisnya, tawaran yang menggiurkan jika ia di posisi pencari kerja yang mengejar keuntungan. Jelas ia akan memilih tawaran tertinggi. “Terima kasih atas tawarannya, aku akan mempertimbangkannya kelak.”

Laura hanya memberi senyuman tipis sebagai responnya, kembali menuangkan minuman anggur merah itu ke dalam gelasnya. Membuat Mario yang melihatnya merasa ikut kenyang oleh air. Sulit bagi Mario untuk mempercayai apa yang sedang ia lakukan sekarang, menikmati makan siang di temani seorang wanita cantik dan terlihat memiliki ketertarikan kepadanya. Hanya saja, janggal rasanya bila seorang wanita yang usianya sudah matang, cantik, tidak kekurangan apapun, dan masih berstatus lajang. Minimal ia pasti mempunyai pacar, tapi mengapa ia mau menerima ajakan Mario untuk bertemu, andai memang sudah memiliki kekasih?

“Kamu sendiri bagaimana?” Tanya Mario yang merasa perlu tahu lebih tentang Laura.

Laura melirik Mario dari gelas transparannya, tersenyum sekilas kemudian meletakkan gelas itu di meja. “Aku? Seperti inilah, tidak ada kerjaan yang menyitaku. Aku bebas.” Jawab Laura tenang.

Sejenak keduanya diam, menikmati apa yang menjadi pesanan mereka masing-masing. Saling menilai satu sama lain dalam hati. Laura tak mengerti gejolak perasaannya, ia merasakan debaran yang menggetarkan setiap kali Mario menatapnya. Namun akal sehatnya berusaha menepis semua itu, terlebih ia sudah mengawali perkenalan ini dengan sebuah kebohongan besar.

Aku harus menutup mulutnya, jangan sampai Billy tahu pertemuan ini darinya. Laura baru saja terpikir tentang resiko ini, ia bisa saja mengunci mulut supirnya, tapi pria muda ini perlu diyakinkan juga untuk diam.

“Ehem... Mario... aku minta pertemuan ini cukup kita saja yang tahu.” Pinta Laura setelah berdehem, mencari kata-kata yang pas untuk meminta pria itu diam, namun hasilnya tetap terdengar blak-blakan.

Mario tertegun sejenak, berpikir keras tentang permintaan Laura yang terkesan mendesak. Sangat misterius. “Hmm... baiklah, ini hanya antara kita.” Jawabnya menyanggupi permohonan itu dan berusaha untuk tidak bertanya lagi kendati ia penasaran.

Laura mengacungkan tangannya, meminta pelayan datang membawakannya tagihan. Mario belum menyelesaikan makannya, namun tak bisa mencegah wanita itu untuk menyudahi pembayaran lebih cepat. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawakan nampan kecil berisi nota tagihan. Laura meraih tasnya kemudian meronggoh dompet dari dalam, nyatanya ia kalah cepat dengan Mario yang lebih dulu menaruh kartu kreditnya di nampan itu. Dengan mata memincing penuh heran serta kartu kredit yang ditempel di ujung bibirnya, Laura menatap Mario yang tengah tersenyum bangga.

“Aku yang mengajakmu bertemu, sudah sewajarnya aku yang menaktirmu.” Ujar Mario yang paham makna tatapan penuh selidik dari Laura. Bukannya berpuas hati mendengar jawaban itu, Laura malah membalasnya.

“Tapi aku yang menentukan tempat ini, jadi aku yang akan membayarnya.” Seru Laura dengan angkuhnya, ia menaruh kartu kreditnya di nampan pelayan yang belum pergi itu kemudian mengambil milik Mario. Senyum tipisnya mengembang, lewat ujung jari telunjuknya ia mendorong kartu pipih itu kembali pada sang tuan.

Mario hanya bisa tersenyum getir, wanita itu begitu kuat untuk menundukkan lawannya. Tipikal wanita yang gemar memimpin dan egois, namun tetap saja Mario tertarik padanya. Mungkin aku mulai gila! Gumam Mario merutuki diri sendiri dalam hatinya.

***

“Itu salah anda sendiri, kenapa tidak bisa mengajari istri anda untuk menjaga mulutnya.” Billy masih terlibat pembicaraan serius via telpon. Permintaannya untuk membatalkan kerjasama secara sepihak dan tiba-tiba, sontak membuat relasinya ketar-ketir. Segala daya upaya dilontarkan oleh pihak di seberang sana, namun tak sanggup menggoyahkan hati Billy yang sudah terlanjur membatu.

“Sudahlah pak, hargai keputusan saya. Ini mutlak dan saya tunggu pengembalian dananya. Terserah dengan cara apa, asalkan sesuai dengan nominal yang saya sebutkan.” Tegas Billy. Ia beranjak dari kursi direkturnya kemudian berjalan menuju jendela, menatap pemandangan kota dari ketinggian.

Pintu diketuk pelan namun masih terdengar oleh Billy, ia mengalihkan pandangannya dari luar menuju pintu masuk. Ponsel yang mash ditempel di telinganya pun segera ia singkirkan, sekaligus mengakhiri pembicaraan yang belum berujung itu. Billy enggan ambil pusing lagi, keputusannya tetap bulat seberapa kuatnya bujukan dari pihak sana. Ia tak mau mengambil resiko kehilangan kepercayaan dari Laura, terutama ayah mertuanya.

“Bagaimana? Sudah ada hasil?” Sorot mata tajam Billy memandangi pengawal Gu yang tengah membungkuk hormat di hadapannya. CEO muda itu kembali duduk di kursi kebesarannya.

“Belum ada tuan. Pelacakan dari tim rahasia kita tidak bisa menembus pemilik nomor itu. Sepertinya penelpon itu merupakan hacker handal yang sanggup menyembunyikan jejak dengan rapi.” Ujar pengawal Gu sedikit takut karena ia yakin tuannya akan marah mengetahui hasilnya.

Billy mengepalkan tangannya, geram sekaligus kesal karena musuh yang ia hadapi rupanya lebih kuat dari yang ia perkirakan. “Hmm... hanya itu saja?”

Pengawal Gu tampak berpikir kemudian air mukanya berubah sedikit cerah, “Ah iya tuan, menurut tim IT kita, mereka masih sanggup meneruskan pekerjaan ini. Hanya saja meminta kesabaran anda karena mungkin akan makan waktu sedikit lama. Mereka juga menyarankan agar anda menggunakan perekam percakapan jika menerima panggilan seperti itu lagi.”

Billy terdiam, memikirkan kata-kata pengawalnya. Setidaknya masih ada harapan untuk mengungkap identitas si peneror itu. “Ya, tidak ada yang mustahil. Apalagi ini hanya masalah teknologi. Bila perlu rekrut anggota IT baru yang lebih handal untuk membantu tim yang ada sekarang.”

“Siap, tuan.” Jawab pengawal Gu patuh. Setelah laporannya selesai, pengawal itu pun diminta undur diri dari ruangan itu.

Tinggallah Billy seorang di dalam ruang kantornya yang bergaya minimalis. Perhatiannya tertuju pada sebuah foto yang dibingkai rapi di atas meja. Foto pernikahan yang tampak begitu bahagia, senyumnya pun melebar seolah tertular senyum manis pengantin wanitanya.

“Hmm... lebih baik aku segera pulang untuk bermain lagi bersamamu.” Gumam Billy seraya mengelus wajah Laura di foto itu.

***

“Kita mau ke mana lagi nyonya?” Pak Udin menunggu instruksi selanjutnya dari Laura yang baru duduk mapan di jok belakang. Setelah hampir tiga jam disuruh menunggu pertemuan rahasia nyonyanya dengan pria muda itu, pak Udin pun sudah puas tidur hingga dibangunkan oleh ketukan kaca mobil oleh sang majikan.

Laura belum menjawab, tampak berpikir ke mana lagi ia akan pergi setelah ini. “Hmm... pulang saja pak.” Jawabnya pelan.

Suasana hatinya agak kacau dan sulit untuk ia pahami. Usai pertemuan yang lama namun terasa singkat saking menyenangkan, nyatanya semakin membuat Laura dirundung dilema. Dilihatnya Mario menyusul keluar dari pelataran parkir kafe dengan sepeda motor sportnya. Tanpa Laura sadari, senyumnya mengembang saat melihat pria muda itu lagi. Sorot mata yang masih melekat pada Mario itu tak luput dari intaian pak Udin. Gerak-gerik Laura yang begitu agresif itu bisa membuat siapapun yang melihatnya menarik kesimpulan bahwa ia tengah jatuh cinta.

Motor Mario berbelok ke arah kiri, tak searah dengan mobil Laura yang mengambil jalur kanan. Di saat itulah Laura berhenti membuntuti bayang Mario lewat tatapan. Ia pun baru sadar harus segera mengenakan lagi cincin nikah yang ia lepas sejenak. Tangannya menyambar tas yang ditaruh di sebelah, mengorek isinya demi mendapatkan perhiasan kecil itu. Segera Laura sematkan cincin berlian itu di jari manisnya, ia pandangi sejenak dengan wajah datar. Hatinya terasa sesak harus menerima kenyataan bahwa ia sudah diikat pernikahan.

Semua sudah terlambat, semua ada batasnya sekarang. Lirih Laura kecewa dalam hati.

***

Billy sampai di rumah dan tidak mendapati Laura di sana. Tidak ia sangka niatnya untuk pulang awal agar bisa melanjutkan kemesraan tadi pagi yang tertunda, justru kembali tertunda karena wanita itu belum pulang sampai sekarang. Berulang kali ia mencoba menghubungi ponselnya namun tidak aktif. Membuat Billy gusar kemudian mencoba menghubungi nomor supirnya, sembari merutuki dirinya yang telat berpikir. “Kenapa tidak dari tadi aku telpon pak Udin!?”

Baru saja nada panggilan terdengar, suara mesin mobil yang memasuki halaman rumah langung mengalihkan perhatian Billy. Ia menutup telponnya sebelum tersambung, tidak memerlukannya lagi karena orang yang ditunggu telah kembali. Billy menunggu dengan melebarkan kedua tangan, berharap Laura akan memeluknya dengan girang karena merasa disambut.

Pintu kamar terbuka dari luar, perlahan sepasang kaki jenjang yang mengenakan heels itu melenggang masuk. Si pemilik kaki jenjang itu tidak terkejut dengan kehadiran Billy di dalam kamar, ia sudah tahu pria itu ada di rumah.

“Kamu baru pulang? Dari mana saja sayang?” Tanya Billy seraya menghampiri Laura, masih dengan tangan yang terbuka lebar.

Laura risih melihat kode keras Billy yang menagih pelukan darinya. Hatinya seperti menyuarakan penolakan yang reflek membuat Laura menghindari dengan berpura-pura sibuk melepas sepatu. Penolakan itu membuat senyum Billy meredup, gagal memeluk istrinya yang langsung menunduk.

“Habis jalan-jalan aja. Kamu kok tumben pulang awal?” Tanya Laura sambil menyusun sepatunya di lemari yang memajang sejumlah koleksi sepatunya.

Billy berjalan mendekati Laura, kemudian mendekapnya dari belakang. Tangannya mulai nakal merayap ke area dada Laura yang membusung indah dari luar, mencoba mencari celah agar bisa menelisik ke dalam. Laura menengadahkan kepalanya, memejamkan mata sejenak dengan perasaan jengah. Sungguh ia tidak menikmati pemanasan yang akan menggiringnya menuju permainan ranjang.

“Karena aku menginginkanmu sayang. Ayo kita lakukan tugas membuat anak sekarang.” Bisik Billy mesra, kemudian menjilati daun telinga Laura.

***



Download APP, continue reading

Chapters

136