Bab 2 ALASAN

by Chantie Lee 12:04,Dec 04,2020
Laura masih terkesiap melihat pria muda dan tampan yang menjadi korban tabrakan mobilnya. Hal yang sama pun dirasakan oleh pria muda itu, ia tertegun sejenak karena menyadari orang yang menyebabkan ia jatuh dan berantakan seperti ini ternyata seorang wanita cantik dan seksi. Kesan pertama yang begitu menggoda itu akhirnya mengurungkan niat pria itu untuk marah.



"Kamu terluka? Mana yang sakit?" Tanya Laura menatap cemas pada pria yang belum ia ketahui namanya.



"Ng... Nggak ada yang luka kok." Ujar pria itu tampak tenang dan tatapan mata yang tak bisa dibohongi bahwa ia sedang terpana.



Laura menghela nafas lega mengetahui tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari korban itu. Namun otaknya tengah berpikir keras, jika tidak ada alasan yang kuat, ia akan gagal mendapatkan informasi tentang pria tampan itu. Laura penasaran, siapa namanya, apa pekerjaannya, dan apa status dari pria itu. Hanya saja, ia tidak bisa menjatuhkan gengsinya dengan blak-blakan bertanya. Laura tengah memikirkan cara yang lebih elegan.



Belum sempat terlintas ide apapun, pak Udin malah menyusul nyonya muda itu dengan penuh rasa takut. "Nggak ada yang luka kan? Nggak perlu ganti rugi apa-apa kan? Maaf ya dik, tadi aku menyetir tidak hati-hati." Ucap pak Udin yang ikut campur urusan Laura dan pria itu.



Laura mendelik pada supirnya, kehadiran pak Udin bukan harapan baginya. Apalagi setelah itu, pria muda itu tersenyum dan mengangguk pelan. Ia meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.



Wow... dia tampan, muda, baik hati pula. Hmmm... menarik. Gumam Laura dalam hatinya.



"Nggak apa-apa pak, udah nggak perlu diperpanjang lagi. Aku duluan ya." Pamit pria muda itu, suara maskulinnya menggetarkan hati Laura. Sekaligus membuat wanita itu sadar bahwa ia akan kehilangan kesempatan jika terus diam begini.



"Tunggu!" Seru Laura dengan suara manja dan lembut yang khas banget. Suara itu berhasil menghentikan langkah pria muda yang sudah menjamah motornya, hendak pergi dari sana.



Laura berjalan mendekati pria muda itu, pandangan mereka saling bertatapan dan disaksikan oleh warga sekitar yang tadi menolong. Laura menyunggingkan senyuman, ketika jarak dengan pria itu tinggal dua langkah ke depan.



"Ada apa, kak?" Tanya pria itu sopan.



Alis Laura mengerut, panggilan itu membuat dia merasa harus sadar usia. Dia manggil aku kak? Yang benar saja dia brondong? Tapi... penampilannya cukup gentle dan dewasa. Tanya Laura dalam batin lagi.



"Aku mau pastikan saja kamu benaran baik-baik saja. Di sini banyak saksi yang tahu masalah ini, lagipula tetap salahku sebagai pemilik mobil yang menabrakmu. Sebagai bentuk tanggung jawab, berikan nomor ponselmu, aku perlu memastikan dua puluh empat jam pertama, kalau kamu kenapa-kenapa, berarti itu tanggung jawabku." Laura menyodorkan ponsel mahalnya dengan seri keluaran terbaru, jemari lentiknya mengapit ponsel itu dan berharap segera diambil.



Pria itu menuruti permintaan Laura, ia mengambil ponsel itu lalu mulai mengetik nomor ponselnya ke dalam daftar kontak. "Sudah kak, perlu apa lagi?" Tanya pria itu menyodorkan kembali gadget itu.



Laura tersenyum tipis, ia mengintip sekilas dari kontak yang masih terbuka itu, ada nama dan nomor yang tertera. Demi menjaga imagenya, Laura bersikap seolah tidak peduli, padahal ia sangat penasaran.



"Hmmm... Hanya itu saja, aku pergi dulu." Ucap Laura lalu membalikkan badannya dan melenggang dengan anggun kembali ke dalam mobil. Misinya berhasil, ia tidak akan membiarkan pria itu yang inisiatif pergi dulu. Laura sedang memainkan triknya demi citra diri yang berkesan di hati pria itu.



"Maaf nyonya, saya tidak akan mengulangi lagi." Ujar pak Udin penuh sesal.



Laura duduk menyilangkan kaki lagi, ia acuh terhadap supirnya. Meskipun ia kesal pada supir tua itu namun ada hikmahnya juga dengan kelalaian supir itu. Tetap saja, Laura harus memberi efek jera pada pak Udin. "Aku sih nggak apa-apa, tapi tetap harus aku bilang ke suamiku, biar dia saja yang putuskan harus mengambil sikap tegas seperti apa padamu." Ujar Laura terdengar angkuh.



Pak Udin menelan ludah, wajahnya pun memucat mendengar perkataan Laura. Ia pastikan tuannya akan memberinya sanksi tegas, atau bahkan memecatnya.



Laura sudah menantikan kesempatan ini, menghilangkan penasarannya pada pria yang sudah menggetarkan hatinya.



Mario.... Lirih Laura dalam hati, membaca nama pria dan melihat kontak di daftar ponselnya. Ia segera membuka aplikasi WhatsApp, memastikan nomor itu terhubung dengan aplikasi itu. Senyumannya mengembang, setelah didapatkan apa yang ia inginkan. Laura melihat foto profil Mario yang cukup bagus anglenya. Meskipun dipotret dari samping dan seolah candid, tetapi menimbulkan kesan misterius dan macho bagi Laura.



Motor sport Mario baru saja mendahului mobil Laura. Membuat sepasang mata wanita muda itu bergelora mengekori jejaknya. Namun kekaguman dan rasa senangnya pun ia tutupi dengan sempurna, tinggal menjalankan sedikit misinya, maka ia akan mengenal pria itu tanpa terlihat agresif.



***



Mario segera memarkirkan motornya, ia sudah cukup telat meskipun ngebut ke kampus. Langkahnya dipercepat agar segara masuk ke dalam kelas, dosen mata kuliah kali ini cukup killer dan tidak menyukai mahasiswa yang tidak disiplin waktu. Tapi tidak ada salahnya mencoba, barangkali dengan alasan kecelakaan motor saat berangkat tadi bisa membuat dosen itu memberinya dispensasi.



"Permisi, pak maaf saya terlambat." Sapa Mario sopan, saat mengetuk pintu kelasnya dan mendapatkan delikan dari pria tua yang jadi dosennya.



"Hmm... Sudah tahu telat, masih berani muncul di kelasku?" Jawab dosen itu lantang.



"Maaf pak, ini bukan mau saya. Tadi saat perjalanan ke kampus, motor saya ditabrak oleh mobil. Saya tidak apa-apa tapi jadi telat walaupun saya sudah ngebut." Jelas Mario.



Dosen itu melirik Mario sambil membetulkan kacamatanya. Mario tampak baik-baik saja, tidak seperti orang yang habis kecelakaan.

"Saya tidak mau dengar alasan apapun, silahkan keluar dari kelas ini." Tolak Dosen itu tegas.



Mario menghela nafas dengan kecewa, menyayangkan dosen yang hatinya sekeras batu. Ia terpaksa harus bolos mata kuliah itu lagi dan terancam akan mengulang di semester berikutnya jika dosen itu memberinya nilai E. Langkah Mario lesu menuju kantin, Lebih baik menghabiskan waktu di sana untuk menunggu mata kuliah selanjutnya.



Tiba-tiba ia teringat lagi insiden yang membuat ia terlambat ke kampus, mengingat senyuman wanita seksi dan cantik yang meminta kontaknya. Mario tersenyum sendiri, ia tak bisa merutuki kejadian tadi jika karena terlalu manis pertemuan itu. Dironggohnya ponsel dalam saku jaketnya, ia sediki menaruh harapan agar wanita itu segera menghubunginya. Sayangnya harapan itu belum terkabul, belum ada apa-apa dari notif ponselnya.



"Mungkin dia hanya basa basi, buat apa wanita seperti dia mau menghubungi aku." Gumam Mario kemudian kembali realistis pada kenyataan. Hingga sebuah getaran dari ponselnya mematahkan pikirannya yang sempat pesimisi.



Sebuah pesan WhatsApp dari nomor tidak dikenal masuk dan terbaca oleh Mario, seketika itu senyum lebar Mario mengembang.



***

"Kamu nggak apa-apa kan sayang? Ada yang luka?"

Billy langsung meminta waktu sejenak di tengah meeting dengan karyawannya ketika mendapatkan chat dari istrinya yang mengadu tentang kelalaian supir mereka. Alhasil, Billy dilanda panik berlebihan gara-gara mencemaskan Laura. Ia memilih menelpon agar bisa tahu langsung kondisi Laura, padahal Laura hanya mengabarinya bia chat.

"Aku nggak apa-apa sih, jangan khawatir ya! Aku cuma mau kasih tahu aja kelakuan supirmu." Ujar Laura sambil melirik ke arah pak Udin yang sudah pucat pasi.



Pria tua itu ketakutan, ia tak menyangka keisengannya cuci mata pada keseksian sang nyonya muda bisa berimbas sefatal itu. Kini pak Udin sibuk berdoa agar tidak dipecat oleh Billy.

Terdengar helaan nafas berat Billy di telpon, "Benar ya kamu nggak apa-apa, nggak perlu periksa dulu ke dokter pribadi kita?"

"Iya, sayang." Jawab Laura singkat.

"Hmmm... ya sudah, soal pak Udin nanti aku urus. Kamu tenang aja ya, sekarang kamu mau ngapain lagi sayang?" Tanya Billy penuh perhatian.

Laura masih menempelkan ponsel di telinganya sambil mengamati kuku lentiknya yang cantik dengan nail art. "Aku tetap mau ke mall, udah janjian sama Tania. Kamu sibuk-sibuk aja dulu, aku nggak mau gangguin." Seru Laura dengan suara seksinya.

"Nggak ganggu kok, sayang. Ya udah kamu hati-hati ya. Kalau ada apa-apa langsung bilang sama aku." Ucap Billy lembut dan di ujung percakapan mereka, terselip kecupan mesra darinya yang berbalas pula dari Laura.

Usai menelpon, Laura melirik ke arah pak Udin yang diam seribu bahasa. Ia sangat yakin pria itu pasti ketakutan, Laura jelas punya maksud tertentu. Jika tidak, ia tidak mau repot-repot mengadu pada Billy di hadapan supir itu. Laura sengaja ingin mengintimidasi pak Udin agar menguntungkannya di kemudian hari.

"Udah dengar kan pak, tuan akan ambil sikap pada pak Udin." Ujar Laura santai.

Pak Udin gelagapan, ia makin takut setelah mendengar suara Laura. "Nyonya, maafkan saya... Saya tidak akan mengulangi lagi, tolong jangan pecat saya. Masih banyak anak dan tanggungan saya, pekerjaan ini sangat berarti bagi saya." Melas pak Udin sungguh-sungguh.

Laura tersenyum menyeringai, menyenangkan sekali melihat pak Udin sedang memohon padanya. "Hmm... gimana ya... aku sih nggak yakin tuan bakal kasih sanksi apa, mungkin juga bisa di rumahkan."

"Jangan nyonya, saya mohon!" Pinta pak Udin ketakutan, ia mengintip nyonyanya lewat spion depan.

Laura tersenyum tipis, "Aku bisa sih membujuk tuan agar tidak mengambil tindakan itu, tapi tidak segampang itu. Aku tetap perlu melihat keseriusanmu." Gumam Laura mulai licik.

"Apa yang nyonya inginkan, saya pasti akan menurutinya asalkan saya jangan dipecat." Jawab pak Udin dengan cepat.

Laura mengetuk bibir dengan jari telunjuknya, bertingkah seakan sedang berpikir serius. "Ya, akan kita lihat kesungguhanmu nantinya. Untuk saat ini aku hanya ingin kamu patuh padaku dan bisa menyimpan rahasia dari tuan. Selagi kamu bisa melakukannya, aku pastikan posisimu aman. Kamu juga akan mendapatkan bayaran dariku setiap bulannya tanpa boleh tuan ketahui. Bagaimana? Kau sanggup?"

Pak Udin tampak hening, ia memikirkan tawaran dari Laura yang menggiurkan namun rasanya agak beresiko.

Laura masih menunggu jawaban supirnya, sesekali ia mengecek notifikasi dari ponselnya agar terlihat seperti tidak memerlukan respon dari pak Udin.

"Baik nyonya, saya sanggup melakukannya." Jawab pak Udin mantap.

Laura tersenyum tipis, dalam hati ia sangat kegirangan tetapi ia tak akan menunjukkan perasaan sesungguhnya pada pria tua itu. "Baguslah, tunggu perintah ku selanjutnya." Gumam Laura puas.



***



Satu setengah jam perjalanan akhirnya Laura sampai di mall, sayangnya Tania belum juga muncul di tempat yang mereka janjikan. Laura berdiri dengan kesal karena tak suka menunggu, teman wanitanya itu memang kurang bisa menghargai waktu. Lebih banyak terlambat ketimbang datang tepat pada waktu yang disepakati.

"Selamat datang, nyonya. Kami punya koleksi terbaru yang cocok dengan anda." Sapa seorang pelayan toko yang tersenyum ramah menyambut Laura.

Laura langsung mengambil tempat duduk di ruang VVIP toko itu. Ia termasuk salah satu member VVIP yang selalu disambut ramah setiap kali datang berkunjung.

"Hmmm nanti saja dulu, temanku belum datang." Jawab Laura cuek.

"Baik nyonya, silahkan nikmati dulu tehnya." Ujar pelayan itu, setelah melayani Laura dengan suguhan ringan, pelayan itu pun meninggalkan Laura sendirian di ruangan.

Di saat itulah Laura kepikiran pada Mario, rasa ingin tahunya sangat besar terhadap pria yang belum satu jam ia kenal itu.

"Sedang apa dia?" Laura bertanya sendiri sambil senyam-senyum. Ia menyalakan ponsel lalu mencari kontak Mario di sana. Saat sudah membuka aplikasi WhatsApp dan masuk dalam chat kontak pria itu, Laura berpikir sejenak apa yang harus ia katakan sebagai pembuka obrolan. Berkali-kali ia mengetik namun dihapusnya lagi ketikan itu, terlalu mainstream kata-katanya.

Hi, nggak merasa gegar otak kan?

Pesan itu terkirim. Tiba-tiba Laura merutuki dirinya, dari sekian banyak pertanyaan mengapa ia justru mengirim pesan seperti itu? Laura bergegas ingin menghapus pesannya tetapi terlambat, centang biru sudah muncul pertanda si penerima sudah membacanya.

Laura menggigit jarinya saking panik, bagaimana tidak, Mario sedang mengetik pesan balasan untuknya. Jantung Laura berdetak kencang, ia penasaran sekaligus takut apa yang dibalas oleh pria muda itu. Laura segera close chat, seakan menunjukkan bahwa ia tidak sedang membuka chat itu.

Bunyi pesan balasan itu terdengar, Laura langsung membacanya dari luar. Kegugupannya sedari tadi pun menciut, berganti rasa janggal dan tak puas dalam dirinya.

Hi, kak. Aku baik-baik aja nih.

"Huft... kakak lagi, siapa yang kakakmu." Gerutu Laura kesal. Ia sengaja tidak membuka chat itu, bahkan berniat tidak lagi membalasnya. Ponsel itu dimasukkan kembali dalam tasnya, Laura pun mulai bosan menunggu Tania yang belum juga muncul. Ia kemudian berdiri dan berencana melihat koleksi baju yang ditawarkan padanya tanpa ditemani Tania.

"Hai say... Sorry macet banget tadi, you know lah jalan ibukota." Tania muncul tepat saat Laura hendak membuka pintu.

Laura memutar bola matanya dengan malas, jelas ia tahu jalanan ibukota, itulah sebabnya ia berangkat lebih awal. Tetapi percuma rasanya harus meladeni Tania, yang penting ia sudah di sini.

"Ya udah ayo, udah ditungguin mereka dari tadi." Ujar Laura kemudian melangkah lebih dulu. Tania menyusulnya tanpa ada perasaan bersalah dan tak peka bahwa Laura tengah kesal padanya.

Beberapa pelayan pun mendekat lalu menunjukkan koleksi terbaru, Tania tampak girang dan cocok dengan beberapa yang ditunjukkan oleh pelayan. Sementara Laura tampak kurang berminat, saat ia sedang membolak-balik pakaian lainnya, ia merasakan getaran ponselnya di dalam tas.

Laura meronggoh alat komunikasi nya dengan malas, ia mengira Billy lah yang mengirim pesan dan mencemaskannya. Namun dugaannya meleset, matanya membulat nyaris tidak percaya dengan apa yang ia baca. Sebuah pesan singkat dari Mario yang ia baca dari luar cukup mengagetkannya.

Kakak lagi ngapain? Boleh kenalan?

Laura bingung namun senang, sekarang ia berpikir apakah harus membalas pesan itu dengan cepat atau membiarkan pria itu menunggu sebentar lagi. Laura sungguh tak menyangka bahwa Mario akan mengirimkan pesan lagi padahal yang sebelumnya saja belum dibalas.

Apa mungkin dia penasaran? Atau jangan-jangan dia juga tertarik padaku? hmm...

Batin Laura dengan perasaan senang, ia senyum senyum sendiri hingga membuat Tania heran melihatnya.

***

Download APP, continue reading

Chapters

136