Bab 10 AKU MAU PULANG KE RUMAHMU!

by Chantie Lee 12:13,Dec 04,2020
Daun pintu model jepang itu bergeser dengan kencang, mengejutkan dua orang yang kini saling bertatapan. Laura terkesiap melihat pria yang berdiri di ambang pintu dengan satu tangan yang masih bertengger di daun pintu, tengah menatapnya dengan sorot penuh arti. Antara rasa cemas, lega dan bahagia saat menatapnya. Nafas pria itu masih tersengal, sepertinya perlu waktu untuk mengaturnya kembali normal.

“Kamu datang?” Tanya Laura, terdengar konyol memang, karena pria itu jelas sudah menampakkan diri di hadapannya.

Mario tidak menjawab apapun, ia justru segera masuk ke dalam ruangan privat itu lalu menutup kembali pintu. Memastikannya berada dalam keadaan yang aman dari jangkauan orang luar. Setelah itu ia memperlebar langkah kakinya mendekati tempat wanita itu meringkukkan tubuh.

“Kamu nggak apa-apa?” Mario tak bisa menampik bahwa dirinya cemas. Pandangannya mengedar ke sekeliling, terutama di atas meja yang berserakan botol kosong dan yang masih berisi utuh. Kecemasan yang kian menjadi saat mendapati respon wanita itu yang meyakinkan dirinya bahwa kesadaran Laura sudah lemah.

Laura terkekeh, tertawa tidak jelas saat melihat sorot kecemasan pada sepasang mata Mario. Tangannya terjulur satu, seolah hendak menarik pria itu agar duduk bersama.

“Kamu mabuk.” Ujar Mario yang masih berdiri sedikit membungkuk agar bisa menjangkau lawan bicaranya. Entah keberanian dari mana sehingga ia berani menyentuh dahi Laura. Menempel pelan pada bagian atas wajah mulus seorang wanita yang belum satu hari ia kenal.

Laura menepis tangan dingin itu dari jidatnya, risih dengan sensasi sedingin es itu. Ia melirik Mario seraya tertawa kecil, benar-benar mulai tak sadar terhadap apa yang ia lakukan. “Aku nggak mabuk, kamu yang mabuk ha ha ha....” Ucap Laura, berbicara melantur.

Mario menggelengkan kepalanya, harus bersabar menghadapi tingkah wanita yang sudah dikendalikan alkohol. Ia menempatkan diri persis di sebelah Laura, membuat wanita itu sedikit menggeser kaki saat bersentuhan dengan lututnya. “Di mana rumahmu? Aku antar kamu pulang sekarang.” Tanya Mario.

Botol kosong yang berserakan di lantai pun tanpa sengaja tersenggol saat Mario menggerakkan kakinya. Baru beberapa saat duduk, ia kembali berdiri lalu bersiap memapah tubuh Laura. Di luar prediksi, Laura justru memberontak, menyibakkan terus tangannya agar tidak terjamah oleh Mario.

“Jangan sentuh aku! Kamu hanya mau tubuhku, ha ha ha.... Jangan coba-coba menyentuhku!” Ceracau Laura, tak ketinggalan tawanya yang justru terdengar sangat menyesakkan hati. Sepasang mata lentik wanita itu mulai berkaca-kaca, kontras dengan tawa yang terdengar renyah barusan, isyarat mata itu lebih sarat kejujuran bahwa dirinya sedang dalam keadaan tidak baik.

Mario terkesiap, pengakuan Laura barusan sangat mengejutkannya. Meskipun diucapkan oleh seseorang yang mabuk, namun terkadang pengakuan saat dalam kondisi setengah sadar itulah yang lebih bisa dipercaya. Apapun yang ada dalam hati dan pikirannya akan terlontar jujur saat itu. Mario tak bisa menampik hatinya yang merasa iba mendengar perkataan Laura barusan, ia semakin menatap ke dalam manik mata wanita itu. Tersirat kepedihan yang teramat dalam dari sinar matanya, entah masalah apa yang terjadi padanya sehingga berakhir dengan pelarian seperti ini.

“Ceritakan saja, aku bersedia mendengar.” Gumam Mario yang mengurungkan niatnya untuk menarik tangan Laura. Ia justru ikut nimbrung duduk di sebelahnya, bersiap memasang telinga dan hati agar bisa menjadi pendengar yang baik.

Laura justru diam, bibirnya menarik lekuk senyuman yang sulit ditafsirkan artinya. Pandangannya mengedar ke sekeliling lalu berakhir dengan menatap sepasang mata teduh yang sedari tadi menyorotinya. Wajah Mario yang terlihat sedikit cemas dalam diam, tampak begitu menggoda untuk disentuh. Reflek sepasang tangan Laura mendarat di kedua sisi pipi pria itu, sensasi sentuhan pada kulit wajah Mario yang agak dingin membuatnya merasa senang dan kembali tersenyum. Kali ini senyuman Laura tidak diimbangi dengan tawa keras seperti beberapa menit lalu.

Sepasang alis Mario berkerut saat tangan Laura mendarat di pipinya. Seluruh tubuh Mario masih menyisakan rasa dingin sehingga membuat kulitnya bagaikan bongkahan es yang perlu dicairkan. Kehangatan yang menjalarinya dari tangan Laura, membuatnya merasa nyaman, benar-benar nyaris mencairkan kebekuannya. Saking terburu-buru datang menemui Laura, ia mengabaikan dirinya sendiri hingga keliru mengenakan jaket. Harusnya ia memakai penutup tubuh yang lebih tebal untuk melindungi tubuhnya dari udara yang cukup sejuk malam ini.

Sejenak keduanya terbuai dalam diam dan tatapan yang saling menelisik masuk, seakan ada kata-kata yang terpampang di jidat masing-masing, atau mungkin mereka bisa membaca bahasa dari makna sorot mata. Sayangnya justru Mario yang tidak tahan berlama-lama saling bersitatap. Paras cantik wanita itu terlihat sangat menggoda, terutama bagian bibirnya. Ia takut tak sanggup mengontrol diri sehingga lancang mengecap sesuatu yang belum menjadi miliknya. Bagaimanapun ia hanyalah seorang pria normal yang bisa tergoda oleh pesona wanita yang menggetarkan hati serta didukung kesempatan yang tepat, seperti saat ini hanya berdua dalam ruangan tertutup.

“Apa kamu demam? Badanmu dingin sekali?” Gumam Laura yang kini tangannya berpindah meraba dahi Mario.

Kekhawatiran yang terlihat lucu itu membuat Mario tidak bisa menahan diri lagi, tawa kecilnya pecah, namun masih membiarkan Laura leluasa menjamah bagian wajahnya dengan sentuhan yang berpindah-pindah. Ketika tangan mulus itu nyaris menyentuh bibir, Mario segera menangkap tangan Laura. Tak mengijinkannya menjamah bagian sensitif itu. Penolakan Mario membuat Laura meliriknya heran, seakan bertanya mengapa baru sekarang ia dicegat?

“Aku tidak demam, mungkin kamu yang demam karena badanmu panas.” Jawab Mario seraya menurunkan tangan Laura, menjauhkan dari dirinya.

“Oh... Badanku panas?” Tanya Laura polos seraya meraba dahinya. Tak lama kemudian ia menggelengkan kepalanya, merasa dirinya baik-baik saja.

“Ah ini bukan demam, ini hanya... Ha ha ha... Grogi karena ada kamu di sini.” Timpal Laura, tak masuk akal. Khas orang yang dipengaruhi alkohol, ia kembal tertawa setelah sempat terlihat menyedihkan. Suasana hati yang tidak bisa ditebak dari orang mabuk, bisa tertawa, menangis, marah bahkan kadang terlihat seperti normal dalam satu waktu bersamaan.

Mario menghela nafas, menenangkan dirinya agar tetap netral menjadi pendengar sekaligus pelindung. Bagaimanapun tetap lebih aman bagi seorang wanita mabuk, bisa didampingi oleh orang yang waras tanpa pengaruh minuman keras. Dan untuk itulah Mario harus menahan diri agar tidak ikut mencicipi minuman itu. Walau sebenarnya ia merasa memerlukannya barang seteguk demi menghangatkan tubuh.

“Kalau kamu sudah bisa ingat rumahmu, katakan alamatnya. Aku akan mengantarkanmu pulang.” Ujar Mario, tetap berusaha mendapatkan informasi penting itu. Tidak lucu jika membiarkan wanita itu menghabiskan malam di sini, bertemankan banyak minuman keras yang masih utuh. Bisa saja semakin lama di sini, Laura tergoda untuk lanjut minum. Mario tak habis pikir, mengapa Laura begitu nekad memesan minuman sebanyak ini untuk dikonsumsi sendirian?

Laura menggeleng dengan cepat, mendengar kata rumah membuatnya tampak frustasi. Ia benci kata itu, ia mau melenyapkan kata itu dalam benaknya. “Aku tak punya rumah, jangan sebut itu lagi! Heum....” Laura menundukkan kepala, menghindari tatapan heran dari Mario yang terus terarah padanya.

“Baiklah, aku tidak akan bertanya soal itu lagi. Tapi kamu bisa cerita padaku kalau kamu mau. Kenapa kamu sampai begini? Dan kenapa kamu menghubungiku?” Selidik Mario, meskipun ia merasa senang karena dicari dalam kondisi rapuhnya hati wanita itu, tetap saja ia tergelitik untuk bertanya. Sekedar keisengan yang barangkali bisa berbuah manis, barangkali ada kejujuran yang diutarakan dari kondisi mabuk ini. Dan setidaknya Mario tahu sepenting apa dirinya bagi wanita itu.

Laura menelengkan kepalanya, menatap lekat wajah Mario dengan ekspresi tak percaya. Bibir merahnya yang tidak luntur meskipun berulangkali minum, terbuka sedikit dan terlihat menggemaskan. Ia tentu tak sadar bahwa ada sepasang mata dan satu hati yang tergoda karenanya. Laura mendekatkan wajahnya, mempertipis jarak di antara wajah lawan jenisnya itu. Gerakan mendadak itu nyaris membuat bibir mereka saling bertabrakan andai Mario tidak gesit menghindar dengan memundurkan posisi punggungnya. Ciuman nyasar itu pasti tak terelakkan.

Mario mendorong bahu Laura dengan dua tangannya, namun Laura justru bereaksi agresif. Tangan kekar itu disentuhnya, erat seakan tak boleh terlepas darinya. Mario terdiam, membiarkan sejenak Laura bertindak, namun tetap ia kontrol sejauh mana keagresifannya agar tak melampaui batas.

“Ah... Aku ingat, aku menghubungimu kan? Hmm... Aku hanya perlu teman untuk menghabiskan semua minuman ini. Perutku bisa meledak kalau aku minum sendiri sebanyak itu. Ha ha ha....” Lagi-lagi tawa receh Laura terdengar, ia menggerakkan jari telunjuknya ke arah botol-botol yang berserakan itu.

Mario menggelengkan kepalanya, niat Laura menghubunginya ternyata tak lebih karena butuh teman. Hanya saja yang agak menggelitik hatinya, kenapa harus dirinya? Seharusnya dengan status sosial Laura yang ia nilai cukup berada itu, tentu saja ia punya pergaulan dari kalangan yang setara. Tetapi nampaknya ia begitu kesepian dan kekurangan teman yang bisa menampung kelemahan dirinya seperti sekarang. Laura yang sekarang ada di hadapannya, sangat berbeda dengan pribadi Laura yang terkesan elegan, sedikit angkuh seperti yang ia temui tadi siang.

“Tapi aku tidak bisa minum.” Tolak Mario seraya menjauhkan botol minuman yang masih utuh itu dari jangkauan tangan Laura. Antisipasi jika wanita itu bertindak nekad memaksanya minum.

“Kenapa? Kamu sudah cukup umur kan?” Selidik Laura seraya memincingkan matanya, bahkan ia mengedipkan mata lentik itu dengan ekspresi yang terlihat sedikit nakal hingga membuat Mario berpaling dari tatapannya.

“Kok diam? Jangan-jangan kamu masih di bawah umur? Pantas wajahmu imut. Eh... tapi gawat kalau begitu. Mana mungkin kamu mau sama tante-tante seperti aku kalau usiamu terlalu jauh dari aku.” Cerocos Laura, melantur.

Deg! Hati Mario merasakan getaran aneh, desiran yang tak bisa ia tafsirkan maknanya. Entah mengapa ada rasa senang menyelinap dalam perasaannya saat mendengar pengakuan itu. Meskipun pernyataan itu mungkin tidak bisa dipertanggung jawabkan ketika kesadaran wanita itu sudah kembali. Tetap saja, curahan hati di kala mabuk begini saja sudah membuat Mario sedikit gede rasa.

“Siapa yang mau denganmu?” Gumam Mario yang sebenarnya bertentangan dengan hati kecilnya.

Laura mendengar itu, tapi tidak kuasa menimpali lagi. Raut wajahnya kembali terlihat sedih, seolah banyak tekanan yang harus diledakkan. “Ya... Kamu benar, siapa yang mau denganku? Siapa yang bisa tulus mendekatiku? Ha ha ha....”

Mario tercengang mendengar jawaban itu terlontar dari bibir Laura, detik itu pula ia merasa bersalah karena telah menambah daftar sedih wanita itu. Seharusnya ia tidak perlu berucap begitu, ini bukan waktu yang pas baginya untuk bersuara. Laura lebih perlu didengarkan ketimbang mendengarkan kemunafikan Mario.

Tangan Laura terjulur hendak meraih botol yang agak jauh dari jangkauannya hingga ia perlu menggeser posisi tubuh ke ujung sofa yang ia duduki. Saat nyaris berhasil menggapai, Laura tercengang karena kalah cepat dengan Mario yang sudah mengangkat botol itu. Kepala Laura menengadah, melirik sebal ke arah Mario yang juga menatapnya.

“Berikan padaku! Aku haus!” Perintah Laura terdengar kesal.

“Kamu haus? Aku pesankan air mineral saja, tapi jangan sentuh ini lagi!” Jawab Mario, bernegosiasi.

“Aku mau ini saja, aku mau minum ini!” Pekik Laura, menunjukkan sisi egoisnya. Ia langsung berdiri namun sedikit terhuyung karena tubuh yang tak siap dengan gerakan mendadak di saat ia tengah limbung karena alkohol.

Tubuh langsing Laura nyaris terhuyung mendarat di atas meja jika saja Mario telat menangkapnya. Untung saja kekuatan pria itu cukup mumpuni sehingga tak kesulitan menahan berat tubuh wanita itu dengan satu tangan. Pandangan mereka kembali beradu namun tetap membiarkan keheningan menguasai keadaan. Tidak ada satupun dari mereka yang berinsiatif buka suara ataupun sekedar saling melepaskan diri. Waktu seakan berhenti bergulir, menyulap mereka menjadi patung yang terpahat dalam posisi yang dekat, meski tak bisa disebut romantis.

“Tampan... Kamu sangat tampan.” Ujar Laura dengan suara yang setengah berbisik saking pelannya.

Wajah Mario terasa menghangat saat mendengar pujian itu, rasa hangat yang menjalar pada daun telinganya sehingga memberi efek blush on di sana, bersemu merah. Ia sering mendengar pujian itu namun efeknya tidak seperti ketika mendengar langsung dari wanita dalam kuasa tangannya itu. Bukannya menanggapi, Mario justru tersadar masih bertahan dengan pose yang mendebarkan saking dekatnya jarak tubuh mereka. Ia pun mulai bergerak, menyimpan botol dalam genggaman tangannya ke atas meja kemudian hendak menuntun tubuh Laura untuk duduk kembali.

“Berhenti minum atau kamu bisa mati overdosis! Aku akan menunggumu di sini sampai kamu sadar, jika memang kamu tidak mau menyebutkan di mana aku harus membawamu pulang.” Ujar Mario dengan suara lantangnya, memberi ketegasan pada wanita itu.

Laura menggeliat saat punggungnya menempel pada sofa, terasa plong karena bisa menahan berat tubuhnya. Ia memincingkan mata indahnya ke arah Mario, hendak merespon apa yang pria itu katakan. “Rumahmu... Aku mau pulang ke rumahmu.” Desis Laura dengan tatapan serius yang ditujukan pada Mario yang sudah mengambil posisi duduk di sebelahnya.

Jawaban itu membuat Mario terhentak, ingin mempercayainya sebagai pernyataan yang bisa dipertanggung jawabkan, terlebih sinar mata Laura yang memancarkan kepolosan, kejujuran dari kata-kata yang ia lontarkan. Tetapi akal sehat Mario terus mengingatkan bahwa ia tidak punya rumah untuk menampung wanita itu. Yang ia tempati hanyalah sepetak kontrakan, bukan sebuah tempat yang layak ditinggali wanita sekelas Laura, meskipun hanya satu malam.

“Aku tak punya rumah.” Jawab Mario pelan, menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan kerisauan hatinya ketika membahas soal rumah. Tanpa ia sadari sikap Laura yang duduk di sampingnya mulai berubah, bergerak gelisah dengan wajah memucat, gejolak dalam perutnya yang terasa seperti sensasi diaduk-aduk, dan detik berikutnya....

“Huek....”

***

Download APP, continue reading

Chapters

136