Bab 3 RESAH MENUNGGU

by Chantie Lee 12:05,Dec 04,2020
Billy memainkan pemantik api yang biasa ia pakai untuk merokok. Kebiasaan yang hanya bisa ia lakukan di kantor, karena Laura tak suka melihatnya menghisap rokok di rumah. Hatinya belum bisa tenang, suara pria misterius yang menelponnya tadi pagi masih terus terngiang. Baru kali ini Billy menerima ancaman teror mematikan, dan ia menaruh perhatian serius pada gertakan itu.

Suara pintu diketuk dari luar membuyarkan pikiran Billy yang kusut. Ia memang sedang menanti seseorang, dan kemungkinan orang yang ditunggunya telah datang. “Masuklah.” Pekiknya dari kursi kebesarannya, ia seorang bos besar dan malas baginya untuk membukakan pintu pada tamunya.

Pintu itu terbuka, menampilkan sosok seorang pria yang mengenakan setelan jas formal berwarna hitam. Pria itu melangkah masuk dengan gagah kemudian membungkuk hormat pada tuannya. “Selamat pagi, Tuan Billy.” Sapa pria itu singkat, masih dengan posisi yang sama.

“Sudah dapatkan apa yang aku inginkan?” Tanya Billy langsung pada inti permasalahan.

Pria itu menegakkan posisi tubuhnya, menatap pada lawan bicaranya yang bermimik serius. Di tangannya terdapat beberapa lembar kertas yang berisikan apa yang diminta bos muda itu. “Sesuai perintah anda, kami sudah mendapatkan beberapa pelamar yang kompeten. Basic ilmu bela diri mereka juga beragam, silahkan pilih yang sesuai kehendak anda, tuan.”

Billy mengerutkan dahinya saat melihat pengawal seniornya menyerahkan kertas itu di atas mejanya. Sudah lebih dari satu minggu, Billy meminta pengawalnya merekrut orang baru yang memiliki kemampuan bela diri lebih darinya. Kecemasan yang Billy rasakan sudah timbul sebelum teror tadi pagi ia terima. Bos muda itu sudah mewanti-wanti, keselamatannya sedang dipertaruhkan. Apalagi ia sudah memutuskan untuk terlibat dalam politik, menginvestasikan sedikit sahamnya untuk memodali salah satu kandidat politik yang kuat dan bagus pamornya.

“Banyak yang antusias melamar posisi ini, tapi saya sudah menyeleksinya sebelum memberikan kepada anda. Mereka menguasai kemampuan di bidang yang berbeda, tinggal anda yang menentukan mana yang cocok untuk anda pilih, tuan.” Timpal pengawal itu meskipun Billy masih terdiam.

Penjelasan singkat dari pengawal itu membangkitkan semangat Billy, diraihnya tumpukan kertas itu untuk menyeleksi satu di antara sekian kandidat terbaik. “Aku hanya perlu satu orang dan tidak terlihat mencolok sebagai body guard. Aku sudah punya kamu yang bisa ditunjukkan secara langsung, jika menambah satu orang lagi dan tampak mencolok, aku takut akan timbul persepsi buruk terhadapku. Tidak boleh ada kecurigaan dari pihak manapun kepadaku.” Jelas Billy, kini matanya sibuk mengamati foto pada CV para pelamar posisi penting ini.

Satu persatu kertas diremas oleh Billy, ia belum mendapatkan yang sesuai dengan hatinya. “Mencolok sekali penampilan mereka, aku tidak nyaman kalau ia berada di dekatku.” Seru Billy yang tak puas hati, kepalanya menggeleng beberapa kali dan terulang setiap ia tida sreg dengan profil pelamar yang ia periksa.

Pria pengawal Billy hanya bisa diam pasrah, ia merasa sudah menyeleksi dari sekian banyak yang melamar namun masih tidak bisa memenuhi apa yang tuannya inginkan. Billy menyuruhnya mencari personal baru dengan iming-iming gaji yang bernilai fantastis. Tetapi tidak semudah itu mendapatkan posisi itu, nyatanya satu persatu calon yang telah diseleksi awal pun berguguran di tangan sang penguasa.

“Tuan, kemampuan mereka tidak diragukan. Kalau masalah penampilan, mungkin masih bisa diubah sesuai permintaan anda. Mohon dipertimbangkan lagi.” Pengawal itu kembali berujar lantaran cemas melihat kelakuan tuannya yang menyeleksi dengan cepat hanya dengan melihat foto si pelamar. Jika diteruskan, maka bisa dipastikan tidak ada yang akan dipilihnya. Semua kertas itu hanya akan berakhir menjadi remukan.

Billy tidak mengindahkan saran pengawalnya, ia terus menyortir hingga tersisa beberapa lembar saja di tangannya. “Aku perlu pengawal yang tidak mencolok, sedangkan yang kau pilihkan rata-rata bertampang preman.” Kilah Billy tanpa menoleh kepada orang yang ia ajak bicara. Fokusnya masih tersita melihati kertas yang kian menipis.

“Hmm....” Billy bergumam saat menatap sebuah foto yang lain dari sebelumnya. Penampilan si pelamar yang tampak oke, masih muda dan terlihat seperti pria baik-baik. Billy membaca dengan seksama biodata pria yang menarik perhatiannya, terkejut membaca usia si kandidat yang masih muda. Agak ragu, Billy pun kembali memeriksa dua kertas yang tersisa. Barangkali ada yang lebih baik dari pria muda itu, baik secara fisik maupun penampilan.

Tetap saja penilaian tertinggi jatuh pada pria muda itu, dua kertas terakhir pun bernasib sama seperti yang lainnya. Diremas kemudian mendarat sempurna di dalam tong sampah. Tersisa satu kertas yang mau tidak mau harus dipertahankan, karena hanya dia yang paling layak di antara yang lainnya. “Untung saja masih ada satu yang layak, walaupun aku ragu dari segi usianya. Apakah dia sanggup mengemban misi berat ini?” Gumam Billy yang menujukan pertanyaan itu pada pengawalnya.

“Maaf tuan, siapa yang anda maksud?” Tanya pengawal pria itu penasaran, pada siapa Billy menjatuhkan pilihannya.

Billy menyodorkan formulir itu kembali pada pengawalnya, sekaligus ingin meminta penjelasan lebih tentang pria muda itu. “Pria ini, aku merasa sreg dengannya.”

Pengawal itu membaca sebentar kemudian mengangguk paham, “Pilihan tuan memang tidak diragukan. Pria ini memang masih muda tapi kemampuan beladirinya tidak perlu diragukan. Ia menguasai beberapa aliran beladiri, seperti Wing Chun dan karate.”

Billy manggut-manggut, setidaknya masukan pengawalnya menjadi bahan pertimbangan agar tidak meragukan kapasitas calon pengawalnya itu. “Hmm, baiklah. Atur segera agar dia bisa menemuiku. Aku ingin melihat langsung seperti apa orang aslinya. Oya, siapa namanya? Aku tidak membacanya tadi.”

Pengawal itu membaca lagi kertas yang kini di tangannya, ia pun belum mengingat betul nama pria beruntung itu. “Namanya Mario Lim, tuan.”

“Mario Lim? Dari klan Lim? Hmm... baiklah, segera hubungi dia dan suruh menghadap aku.” Ujar Billy sekaligus mengakhiri urusan dengan pengawalnya.

***

Ponsel canggih keluaran terbaru milik Mario tampak senyap dan tak berfungsi. Sedari tadi ia melirik alat komunikasi itu, tanpa disadari ia tampak tak tenang menunggu balasan dari seseorang. Rasa penasarannya terpancing wanita yang baru ia kenal beberapa jam lalu, wanita yang belum ia ketahui namanya namun sudah membuat Mario penasaran setengah mati.

Gusar hatinya memandangi ponsel yang terus membisu, padahal Mario sudah mengaktifkan suaranya bahkan dengan volume maksimal agar ia bisa segera mengetahui kalau ada balasan. “Apa aku melakukan kesalahan? Apa dia marah sampai nggak mau balas lagi?” Mario bertanya-tanya sendiri, beragam spekulasi muncul dari benaknya. Berpikir mengapa begitu sulit bagi wanita itu untuk memberikan balasan. Dengan malas, Mario mengaduk es tehnya yang sudah meleleh sebagian batu esnya.

“Hei, ngelamun aja nih. Mentang-mentang disuruh keluar kelas, eh mojok di kantin rupanya.” Suara lembut seorang gadis yang terdengar penuh semangat, sukses mengejutkan Mario yang memang hati dan pikirannya melayang entah ke mana. Spontan Mario menoleh ke samping, pasalnya sebuah tangan dengan enteng menempel di bahunya. Senyum pria itu mengembang saat melihat si pemilik tangan mulus yang juga tersenyum ke arahnya.

“Ngapain kamu ke sini?” tanya Mario heran, semestinya teman sekelasnya itu sedang belajar di kelas, namun malah datang ke kantin menyusulnya.

Gadis itu menarik kursi plastik kemudian duduk persis di sebelah Mario. “Emangnya hanya kamu doang yang boleh keluar kelas? Aku juga suntuk ngikutin pelajaran si galak itu. Nggak ada yang nyantol di otak, yang ada malah ngantuk. Ya udah deh, aku sengaja bikin ulah biar diusir kayak kamu.” Ujar gadis itu dengan penuh rasa bangga, posisi tubuhnya condong ke arah lengan kekar Mario seraya menopang dagu.

Mario tertawa kecil mendengar pengakuan penuh rasa bangga itu, “Bren, kamu emang terdebes (ter the best) deh. Orang niatnya belajar tapi diusir, eh kamu yang udah punya kesempatan belajar malah minta diusir. Nggak takut nih kalau dapat nilai E?”

Gadis bernama Brenda itu menggeleng kencang, senyumnya masih melekat di sana dan ia akan terus menebar senyuman selagi bersama pria incarannya. “Kamu juga nggak takut dikasih nilai E? Dosen yang satu itu kayaknya sentimen sama kamu deh, yang lainnya juga pernah telat tapi paling diceramahi, eh kamu malah nggak dikasih ampun sama sekali. Mungkin semacam rasa iri yang nggak berani diungkapkan deh, makanya setiap kamu bikin kesalahan kecil aja, udah jadi alasan buat mendupak kamu keluar kelas.” Celoteh Brenda.

Mario menggidikkan bahunya, “Apa sih yang mau diirikan dari aku?”

Brenda membulatkan sepasang matanya, terlihat sangat imut ketika ia melakukannya. “Lho, kamu nggak sadar kalau banyak cowok di kelas pada ngiri lihat bodymu? Mereka malah jahat loh mulutnya, bilang kalau itu hasil oplas. Ya kali dada dioplasin.” Gerutu Brenda ikut sebel.

“Seriusan mereka bilang gitu?” Mario tak percaya, tapi Brenda memang bukan tipikal gadis yang suka berbohong. Apalagi sekarang gadis itu sedang mengangguk dengan ekspresi wajah yang meyakinkan.

“Ya serius, tapi aku juga penasaran sih, kok bisa berotot gitu padahal kamu jarang fitness kan? Apa jangan-jangan kamu suntik botox?” kilah Brenda yang candaannya lebih garing lagi menurut Mario. Sepasang matanya tampak antusias mencari jawaban dari pria yang malah menghela nafas kasar di hadapannya.

“Bren, kamu sama aja kayak mereka. Asal nuduh saja ha ha... anggap saja otot kawat dan tulang besiku ini anugrah.” Jawab Mario dengan entengnya. Memamerkan sederet gigi putihnya dalam senyuman yang reflek menyegarkan mata Brenda.

Gadis itu terpukau, terlebih ia menyadari detak jantung yang kian cepat memompa. Menyadarkan bahwa ia begitu tertarik pada pria itu, namun sayangnya hanya bisa menyembunyikan perasaannya dalam kedok pertemanan. “Mario, kamu udah punya pacar belum sih? Aku masih punya harapan kan?” Tuding Brenda yang anti jaga image lagi. Ia menatap penuh harap-harap cemas pada Mario yang tampak diam dengan raut wajah serius.

Mario bungkam sejenak, bukan ia tidak tahu modus Brenda yang begitu kentara. Bukan hanya Brenda tapi masih ada sederet nama gadis yang terang-terangan mengincarnya di kampus. Sayangnya belum ada satupun yang bisa menggetarkan hati Mario. Di antara sekian banyak gadis cantik itu, Mario belum mendapatkan yang sesuai kriterianya.

“Pppfff... ha ha ha....” Tawa Mario pun pecah, sengaja agar bisa membuyarkan konsentrasi gadis yang tengah menunggu jawabannya.

Brenda yang sejak tadi memasang mimik serius, seketika manyun dan tampak sewot. “Apanya yang lucu sih? Nyebelin deh ketawanya!” Gerutu Brenda, ia membuang muka saking kesal dengan Mario yang menertawakannya. Terlebih ingin menyembunyikan rasa malunya karena tidak berhasil menggiring suasana menjadi romantis. Harapan Brenda mungkin terlalu muluk, berandai jika Mario pun memiliki rasa padanya dan momen ini bisa berakhir dengan status cinta baru di antara mereka.

Brian menghentikan tawanya namun ekspresi wajahnya masih terlihat murah senyum. “Sorry Bren, bukan bermaksud ngetawain kamu. Tapi tadi ada cicak jatuh hampir aja jatuh di pundakmu, untung meleset.” Seru Mario berbohong dengan seriusnya.

“Cicak? Mana?” Sontak Brenda merasa geli lalu berdiri, mengibas pundak dan pakaiannya. Memutar badan untuk melihat apakah hewan kecil itu menempel di belakang tubuhnya.

Mario yang melihat reaksi Brenda pun turun merasa bersalah, kebohongannya memang berhasil namun membuat gadis itu panik. “Udah jatuh Bren, palingan udah lari entah ke mana. Ya udah sih nggak usah panik lagi.”

Brenda berhenti bertingkah konyol, kini ia terdiam lalu menatap lekat pada Mario. Keberaniannya terlanjur terkumpul, pun sudah terlanjur malu dengan menunjukkan perasaannya. “Bro, soal tadi aku serius nanya loh."

Mario lagi-lagi bungkam namun pikirannya terus berputar mencari jawaban yang paling tepat tanpa menyakiti hati teman gadisnya itu. Ia menarik senyumannya walau agak terpaksa, “Bren, aku belum tertarik untuk terikat sama siapapun. Ngurus diri sendiri saja belum becus, apalagi disuruh ngurusin anak gadis orang.” Ujar Mario dengan ketenangan yang sudah terlatih. Senyuman manis masih melekat di bibirnya, berharap sikap rileksnya bisa menular pada gadis yang wajahnya terlihat menyembunyikan kekecewaan itu.

Brenda mengepalkan kedua tangannya, memilin jemari dalam genggamannya. “Hmm, apa kamu nggak kesepian? Kamu tinggal sendirian di kota ini kan? Tapi ya sudahlah, jika kamu sudah siap membuka hati, pertimbangkan lagi aku yang siap menemanimu.” Ujar Brenda yang secara halus menyatakan kesiapannya untuk menjadi kekasih Mario, kapanpun pria itu mau.

Mario tersenyum simpul, gadis itu memang sedikit mengetahui tentang dirinya. Namun hanya secuil informasi yang bisa Brenda dapatkan tentang diri Mario. Selebihnya masih tersimpan rapi, tanpa ada yang menyadari keistimewaan apa yang Mario miliki. “Thanks ya Bren, aku sangat menghargai niat baikmu. Hmm, kamu nggak mau makan atau pesan minum gitu?”

Brenda tersenyum, merasa ada sedikit harapan dari pria itu. “Iya ya, dari tadi ngomong terus nggak terasa udah haus. Boleh deh, pesenin es dong sama kayak kamu.” Pinta Brenda girang.

Mario pun bisa menghirup kelegaan, upayanya untuk menjaga perasaan gadis itu berhasil. Pembahasan selanjutnya hanya tentang topik yang ringan, seputar permasalahan kampus dan teman-teman sekelas mereka. Namun apapun yang Brenda bahas sampai terkekeh saking lucu menurut dia, tidak satupun yang menarik bagi Mario. Hati pria itu kembali gusar memikirkan rasa penasarannya yang belum mendapatkan jawaban.

Apa aku menyinggung dia? Sebaiknya aku hubungi dia lagi, tapi apa yang harus ku katakan? Hmm... siapa namamu? Tolong balaslah aku.... lirih Mario dalam hatinya. Kembali berharap mendengar suara ponselnya berbunyi, ia ingin tahu balasan dari wanita yang sudah merasuki hatinya. Membuat dirinya penasaran seperti ini.

Penantian tak berujung itu seakan terjawab saat suara ponsel yang ditunggu berbunyi. Mario menyunggingkan senyumannya.

Itu pasti dia!

***

Download APP, continue reading

Chapters

136